Pertimbangkan Kondisi Obyektif Anak, Hargai Keragaman Daerah
JAKARTA, PB - Setelah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan sinyal dukungan terhadap program Full Day School atau Sekolah Sehari Penuh, berbagai reaksi penolakan dari publik pun muncul, pasalnya program tersebut dinilai membebani anak didik, salah satunya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dalam press release-nya, Ketua KPAI Asrorun Ni'am Sholeh menyampaikan sembilan poin. Berikut poinnya:
- Wacana belajar sehari penuh di sekolah atau dikenal fullday school yang diwacanakan Mendikbud Muhadjir Effendy, implementasinya harus didahului kajian yang utuh. KPAI menilai Menteri baru tidak harus membuat kebijakan baru, apalagi tanpa didahului kajian yang matang. Akibatnya justru akan merugikan anak.
- Kebijakan pendidikan apalagi yang bersifat nasional tidak bisa didasarkan pengalaman orang perorang. Pengambilan kebijakan nasional tidak boleh parsial. Tidak boleh hanya berdasar kepada pengalaman pribadi. "jangan sampai tiba masa tiba akal. kebijakan yang diambil akan berdampak sangat luas, jadi butuh kajian utuh".
- Masing2 siswa memiliki kondisi yang berbeda2. Siswa yang satu dengan yang lainnya tidak bisa disamaratakan. Menghabiskan waktu dengan durasi panjang di sekolah dapat mengganggu intensitas interaksi anak.
- Anak-anak butuh interaksi dengan teman sebaya di sekolah, teman di lingkungan tempat tinggal, dan dengan keluarga di rumah. Dg kebijakan fullday school, pasti intensitas pertemuan anak dan orang tua juga pasti akan berkurang. Apalagi, tidak semua ortu bekerja keluar rumah. Ini akan berpengaruh dalam proses tumbuh kembang anak.
- Masing-masing keluarga itu memiliki kondisi yang berbeda, tidak bisa digeneralisasikan bahwa fullday school itu menyelesaikan semua masalah anak. "Tidak semua orang tua (siswa) itu bekerja. Artinya jangan dibayangkan kondisi seluruh orang tua di Indonesia hanya seperti yang dialami oleh Mendikbud. Kebijakan nasional harus didasarkan kepada kajian yang utuh".
- Soal Waktu belajar, KPAI melihat tidak banyak menjadi masalah. Karena seiring dg keragaman kondisi anak, orang tua, dan masyarakat, sudah terfasilitasi dg model pembelajaran yang beragam, ada yg normal dan ada yg fullday school. Sehingga orang tua diberikan keleluasaan untuk memilih. "Bahkan, dalam kondisi tertentu, anak jangan lama2 di sekolah, agar cepat berinteraksi dg orang tua. apalgi yang kelas 1 SD"
- Untuk menjawab permasalahan anak, perbaikan kebijakan harus berporos pada anak. "membaca pertimbangan mendikbud dalam mengusulkan kebijakan ini, lbh karena faktor menyesuaikan dg ortu yang bekerja, sehingga jadwal anak diubah. Dari sisi paradigma sdah bermasalah. Penerapan suatu program harus diikuti dengan perbaikan yang memadai. Tidak hanya dengan "mengandangkan" anak di sekolah semata. Tanpa ada perbaikan sistem pendidikan dg spirit menjadikan lingkungan sekolah yang ramah bagi anak, maka memanjangkan waktu sekolah malah akan menyebabkan potensi timbulnya kekerasan di lingkungan sekolah.
- Ada hal yg perlu dipertimbangkan dalam wacana fullday school; (i) penambahan beban guru; (ii) penambahan biaya u kegiatan (iii) penyesuaian kegiatan anak n ortu yg sudah ada (iv) ortu yg tidak bekerja (v) anak yg harus membantu orang tua (vi) keragaman kondisi sosial di bernagai daerah...
- KPAI siap memberi maukan dan segera akan bertemu dg Mendikbud. Niat baik harus dilakukan dg cara yg baik, dan meminimalisir dampak buruk yg ditimbulkan.
Terpisah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy yang mengaku telah mendapatkan persetujuan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) terkait usulan sistem belajar satu hari penuh di sekolah (Full Day School/FDS) bagi siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Muhadjir mengatakan untuk tahap awal diperlukan pilot project dahulu sebelum diberlakukan secara serentak di seluruh Indonesia. Adapun saat ini FDS sudah diberlakukan di beberapa sekolah swasta. Dengan sistem FDS, diharapkan siswa SD dan SMP mendapat banyak pelajaran terkait pembentukan karakter dan etika di sekolah.
Untuk itu, pemerintah bakal memberikan kompensasi hari libur dimana para siswa kemungkinan akan diberikan libur dua hari dalam seminggu, yaitu Sabtu dan Minggu. Hal itu mengingat menimnya tanggungjawab keluarga dalam pendidikan anak.
Ide FDS ini, sambungnya, untuk menghindari penyimpangan karena banyaknya waktu kosong tanpa pengawasan orang tua dan guru. Selain itu, diharapkan kemampuan siswa akan meningkat karena sekolah menambah ektrakurikuler, seperti bahasa asing atau mengaji.
Dalam pelaksanaannya, akan diberikan biaya tambahan dalam bentuk iuran rutin atau sumbangan sehingga sekolah tidak sepenuhnya gratis, sebagaimana program pemerintah selama ini. Dengan konsekuensi, lanjutnya, komite sekolah akan diperkuat sehingga mampu menyaring murid yang layak mendapat bantuan biaya sekolah atau subsidi dari pemerintah. (Rinjani Wirdania)
*Diolah dari berbagai sumber.