Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

KPK Mulai Soroti Korupsi di Sektor Swasta

lt56af2dfe6688eJAKARTA, PB - Selama ini publik menilai bahwa persoalan korupsi yang semakin merajalela hanya terjadi di lingkungan pemerintah atau sektor publik, padahal, korupsi di sektor swasta atau bisnis jauh lebih dahsyat dan mengkhawatirkan.

Hal itu terungkap dari hasil survei Global Corruption Report (GCR) yang dirilis Transparency International (TI) belum lama ini, bahwa dunia usaha lebih rentan dengan prilaku korupsi. Yang sering terjadi adalah praktek suap (bribery), pengelakan pajak (tax evasion), atau juga pencucian uang (money laundering).

Semua praktek tersebut lazim terjadi di Indonesia dimana perusahaan memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum. Karena itu, penyalahgunaan perusahaan berbadan hukum (corporate entities) untuk melakukan tindakan kriminal, menjadi perhatian para pembuat kebijakan dan otoritas, khususnya KPK.

Bahkan, Transparency International (TI) telah melakukan penelitian mengenai kepatuhan Indonesia terhadap transparansi beneficial ownership. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia baru patuh pada satu prinsip di antara sepuluh prinsip, yakni prinsip mengenai bearer shares dan nominee shareholders dan directors, yang sudah dilarang dalam hukum Indonesia.

Meski diakui bahwa perusahaan tersebut telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi meningkatnya kesejahteraan di berbagai negara. Sayangnya, di sisi lain, terdapat fenomena penyalahgunaan perusahaan berbadan hukum tersebut untuk tujuan melanggar hukum (kriminal).

"Banyak contoh, seperti pencucian uang, suap dan korupsi, menyembunyikan aset dari kreditur, dan aktivitas-aktivitas terlarang lainnya,” ungkap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang dalam diskusi dengan Organization for Economic Co¬operation and Development (OECD), di Jakarta baru-baru ini.

KPK mengakui bila praktek korupsi di sektor swasta sulit terungkap karena ketiadaan beneficial ownership yang transparan sehingga sulit menyelidiki aliran dana korupsi atau pencucian uang sampai menemukan orang yang mendapat manfaat terbesar (beneficial owner) dari uang tersebut.

Salah satu penyebabnya, kata Saut, adalah karena adanya pengaturan yang menyebabkan badan hukum dapat dipergunakan sebagai upaya untuk mengaburkan jejak. “Untuk mengurangi penyalahgunaan tersebut, berarti struktur kepemilikan dari badan hukum harus lebih jelas dan transparan,” kata Saut.

Dalam diskusi tersebut, KPK yang tengah melakukan kajian terkait beneficial ownership (BO) mengundang pakar hukum OECD, Christine Uriarte, untuk mendapatkan sejumlah masukan. Dalam pertemuan itu, kedua pihak membahas sejumlah topik, seperti pentingnya reformasi BO bagi Indonesia dan dunia internasional, membahas standar-standar internasional yang sudah ada, serta bagaimana agar standar-standar tersebut dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan di Indonesia.

Meski sebelumnya KPK bersama OECD juga telah melakukan kerja sama terkait isu lain, namun kajian beneficial ownership juga tak kalah penting. “Sebagaimana diketahui, kita juga bisa mempunyai kewajiban di UNCAC (The United Nations Convention against Corruption) kaitannya dengan sektor swasta. Dan meningkatkan transparansi itu persoalan besar. Karena selama itu tidak ada maka akan ada kecurigaan-kecurigaan dari dunia internasional,” ujar Saut.

Sementara itu, menurut Christine Uriarte, kurangnya keterbukaan tentang beneficial ownership (BO) dalam korporasi, berpotensi menjadi celah tindak pidana korupsi. “Tentu, karena pengendali utama adalah penerima manfaat langsung dari berbagai usaha yang dijalankan sehingga dianggap pihak yang bertanggung jawab atas segala permasalahan yang terjadi dalam perusahaan,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Christine juga memberi masukan mengenai permasalahan dalam pengumpulan dan pengelolaan informasi BO melalui badan hukum (legal persons) pengaturan hukum (legal arrangments); serta praktik-praktik penggunaan keduanya di Indonesia, termasuk kemungkinan digunakan dalam tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Christine menambahkan, kerja sama di antara parapemangku kepentingan, menjadi salah satu rencana strategis bagi Indonesia mengingat banyaknya jumlah korporasi serta adanya cakupan sektor bisnis yang luas di Indonesia. “Juga ada karakteristik tersendiri dari perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia, misalnya adalah perusahaan BUMN,” ujarnya.

Diketahui, Pemerintah juga memberikan otoritas (poewer to access) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mendapatkan akses elektronik terkiat dengan kejahatan koruosi kelas berat. Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 2/2016 diharapkan bisa menjadi amunisi penegak hukum dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan keuangan kelas kakap di tanah air. (RPHS)