Oleh: Rudi Hartono*
[caption id="attachment_33221" align="alignleft" width="300"] Reformasi[/caption]
Pemuda sering diukur dari usia perkembagan biologis. Kriteria usia pemuda versi UNESCO adalah 15-24 tahun. Itu standar global. Sedangkan menurut UU nomor 40/2009, yang disebut pemuda adalah mereka yang berusia 16-30 tahun.
Itu adalah usia perkembangan menuju pematangan. Bukan saja perkembangan struktur biologis/fisik, tetapi juga perkembangan mental dan kesadaran. Jadi, di rentang usia itu, seseorang diharapkan bisa lebih merdeka (mandiri) atas dirinya sendiri dan bisa bermasyarakat.
Nah, ada yang bilang, “age is just number”. Jadi, muda itu bukan hanya soal usia, tetapi juga soal mental dan kesadaran. Banyak anak yang berusia muda, tetapi berpikir seperti orang tua. Sebaliknya, ada orang yang usianya terbilang tua, tetapi corak berpikirnya masih seperti orang muda.
Kenapa harus berperan?
Pertama, pemuda bagian dari bangsa. Menurut data BPS (2014), jumlah pemuda di Indonesia mencapai 61,83 juta jiwa atau 24,53 persen dari total 252,04 juta jiwa penduduk Indonesia. Dari jumlah itu, mereka sebetulnya adalah kekuatan potensial dalam mengggerakkan perubahan sosial.
Kedua, pemuda punya peran historis dalam melahirkan bangsa ini. Kalau kita lihat dalam sejarah, pemuda-pemuda yang melahirkan Boedi Oetomo itu rata-rata di bawah 30 tahun. Hanya Dr Wahidin yang sudah tua. Rata-rata tokoh pergerakan yang melandasi kebangkitan nasional masih sangat muda: Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara (19 tahun), Dr Soetomo (20 tahun), Tirto Adhi Surjo (28 tahun), dan Tjipto Mangunkusumo (22 tahun). Sukarno mendirikan dan memimpin PNI di usia 26 tahun. Tan Malaka menulis Menuju Indonesia Merdeka di usia 28 tahun. Sukarno menulis pidato terkenal, Indonesia Menggugat, pada usia 29 tahun. Sedangkan Mohammad Hatta menulis “Indonesia Merdeka” (Indonesia Vrij) di usia 26 tahun.
Pemuda merupakan aktor terpenting dalam beberapa momentum vital yang melahirkan bangsa ini, mulai dari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan hingga Revolusi Nasional 1945.
Ketiga, pemuda adalah kelompok sosial terdidik. Menurut data BPS tahun 2014, sebanyak43,78 persen pemuda Indonesia mengenyam pendidikan menengah ke atas. Dan hanya 4,67 persen yang tidak/belum tamat SD.
Kaum muda terdidik ini adalah pemegang obor peradaban bangsanya. Baik dan buruknya bangsa ini ada di tangan mereka. Karena itu, pemuda harus memegang posisi sebagai “kekuatan kritis” dalam kehidupan berbangsa.
Selain itu, pemuda adalah tenaga pembangun bangsa. Sukarno menyebut pemuda sebagai “investment of human skill”. Tetapi pengetahuan dan keahlian saja tidak cukup. Negeri ini punya banyak ahli dan kaum terdidik, tetapi sangat sedikit yang mengabdi kepada bangsanya. Karena itu, kata Sukarno, pemuda juga harus punya mental investment, yakni kesediaan berjuang dan mengabdi untuk bangsa.
Keempat, pemuda itu sejatinya progressif-revolusioner. Presiden Chile yang berhaluan sosialis di tahun 1970-an, Salvador Allende, pernah bilang, “menjadi pemuda dan tidak revolusioner adalah kontradiksi biologis.” Maksudnya, secara usia biologis, pemuda itu seharusnya selalu berpikir maju, anti-kemapanan, radikal dan punya mimpi/cita-cita yang setinggi langit. Jadi, kalau ada pemuda yang tidak progressif-revolusioner, maka dia melawan kodrat biologisnya.
Dengan karakter progressif-revolusionernya itu, pemuda bisa tampil sebagai agen pembaharu. Dia selalu mendobrak kegelapan dan konservatisme. Dia selalu mendorong inovasi dan penemuan-penemuan baru.
Sukarno sendiri mengajak pemuda bercita-cita tinggi. “Pemuda yang tidak bercita-cita buka pemuda, tetapi pemuda yang sudah mati sebelum mati,” katanya. Kenapa bercita-cita penting? Sebab, cita-cita itulah yang menggerakkan orang untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar.
Tantangan pemuda saat ini
Sekarang kita hidup di era yang berbeda dengan era Sukarno dan kawan-kawan seangkatannya.
Pertama, kita tidak lagi berhadapan dengan kolonialisme fisik. Namun, kita berhadapan dengan kolonialisme daam bentuk yang halus, atau sering disebut Sukarno sebagai neo-kolonialisme, yakni sebuah bentuk penjajahan melalui ekonomi, politik dan sosial-budaya.
Kolonialisme baru ini tampil dalam bentuk dominasi ekonomi. Seperti terjadi saat ini, hampir semua aset dan kekayaan alam kita dikuasai oleh korporasi asing. Kolonialisme juga bisa hadir melalui politik, yakni penciptaan rezim boneka yang mengabdi kepada kepentingan kolonisator. Dan tentu saja, kolonialisme juga bisa hadir melalui budaya, baik pemikiran, kesenian, sastra, film, gaya hidup (individualisme dan konsumerisme) dan lain-lain.
Kedua, kita hidup di tengah dunia yang makin ter-globalisasi. Dengan globalisasi, dunia terasa makin kecil. Orang-orang sering menyebutnya ‘global village’ atau kampung global, yang yang menyatukan umat manusia, bisnis, modal, teknologi, informasi, dan pengetahuan yang terus tersebar tanpa batas bangsa-bangsa.
Di bawah globalisasi ini, konsep negara bangsa meredup. Nasionalisme sebagai gagasan maupun konsepsi politik dihakimi sebagai sesuatu yang usang. Lokal dan nasional takluk pada segala yang global. Termasuk bahasa. Tidak keren kalau tidak pake bahasa Inggris.
Tetapi globalisasi ini bukan globalisasi sungguhan, yang mana semua umat manusia dari semua bangsa hidup bersama. Ini globalisasi kapitalisme barat, yang menghendaki kebebasan kapital, barang/jasa dan tenaga kerja.
Ketiga, kita hidup di abad revolusi teknologi, terutama teknologi informasi. Teknologi telah menyatukan manusia dari berbagai bangsa dalam satu jagad maya.
Jejaring sosial menjelma menjadi dunia baru. Jumlah pengguna twitter di Indonesia 50 juta orang. Sedangkan pengguna facebook sudah mencapai 80 juta orang. Lalu pengguna smartphone sudah melebihi 100 juta orang. Mereka ini, seharusnya, adalah manusia-manusia yang kenyang informasi—smartphone dan medsos menyiapkan informasi yang melimpah.
Tetapi perkembangan teknologi-informasi juga membawa dampak negatif: relasi dalam dunia nyata makin berkurang, tergantikan oleh relasi dunia maya.
Disamping itu, melimpahnya informasi tidak tidak membuka pikiran dan wawasan kita. Banyak yang memanfaatkan kemajuan teknologi untuk menyebar pornografi, fitnah, hoax, proganda kebencian (SARA) dan lain sebagainya.
Keeempat, lembaga dan orientasi pendidikan sudah berubah. Sejak kapitalisme, atau tepatnya neoliberalisme, mulai merangsek masuk ke sektor pendidikan, maka penyelenggaraan dan orientasi pendidikan kita juga bergeser. Sekarang, segala-galanya bergantung dan beriorientasi pada kapital dan pasar.
Di kampus, kita hidup dibawah tirani disiplin pasar; dipaksa tunduk pada kaidah-kaidah dan tuntutan pasar. Tidak hanya itu, kurikulum dan orientasi pendidikan juga diabdikan pada kapital dan pasar. Kita bukan lagi peserta didik, melainkan konsumen pendidikan.
Situasi ini juga mendorong pergeseran kelas sosial di dalam kampus. Dulu, karena biaya pendidikan masih relatif murah, orang miskin bisa menginjakkan kaki di kampus. Sekarang, karena biaya pendidikan makin membumbung tinggi seiring komersialisasi pendidikan, orang miskin makin susah mengenyam pendidikan tinggi. Akibatnya, kampus hanya berisi kelas menengah ke atas.
Tetapi, apakah klas menengah ke atas tidak punya empati kepada rakyat atau bangsa? Tentu saja ada. Bung Hatta melalui risalahnya yang terkenal di Daulat Ra’jat, tahun 1933, Pemuda Dalam Krisis, bercerita tentang pemuda-pemuda dari keluarga atas, bahkan bangsawan (priayi), yang meninggalkan kehidupan enaknya dan memilih berjuang untuk bangsanya.
Peran yang bisa dimainkan pemuda
Di tangan kita, kaum muda, terpikul sebuah tugas sejarah yang besar: melanjutkan dan memujudkan cita-cita para pendiri bangsa kita, yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Karena itu, kita tidak boleh berpangku tangan.
Ada beberapa peran yang bisa kita mainkan.
Pertama, belajar segiat-giatnya dan mengabdikan pengetahuan kita kepada kepentingan umum/rakyat. Ingat, pengetahuan yang kita dapat di bangku kuliah bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk kepentingan bangsa dan negara. Kaum muda adalah investment of human skill untuk pembangunan dan kemajuan Indonesia di masa mendatang.
Kaum muda bisa menyumbang gagasan untuk kemajuan bangsa. Disamping itu, melalui riset atau penelitan, kaum muda bisa menyumbang pengetahuan yang memperkaya pengetahuan para pengambil kebijakan dan rakyat banyak. Kaum muda juga bisa mendorong inovasi dan penemuan teknologi baru untuk kepentingan rakyat banyak.
Kedua, menjadi kekuatan kritis, yang mengawal jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Bilamana penyelenggaraan negara menyimpang dari dua itu, maka tugas pemuda untuk mengoreksinya.
Kaum muda harus di garda depan melawan korupsi. Kaum muda juga harus di garda depan melawan berbagai kebijakan politik yang merugikan rakyat banyak. Dan yang terpenting, kaum muda harus membela negeri ini dari proyek neo-kolonialisme.
Ketiga, membela kepentingan umum/rakyat banyak. Ini bagian dari mewujudkan tri-dharma perguruan tinggi yang ketiga, yakni pengabdian masyarakat.
Kaum muda, dalam hal ini mahasiswa, harus tampil membela kepentingan rakyat banyak yang tertindas. Ini bisa dilakukan dalam bentuk advokasi terhadap persoalan-persoalan rakyat.
Keempat, membantu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini, kaum muda bisa ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk memajukan pendidikan rakyat, seperti memberikan pengajaran gratis kepada masyarakat miskin, mendirikan perpustakaan gratis, menyelenggarakan kursus pemberantasan buta-huruf (Ingat, di Indonesia masih ada sekitar 6 juta orang yang buta-huruf), dan lain sebagainya.
Begitulah, kaum muda adalah tumpuan harapan bangsa. Seperti kata Sukarno: “seribu orang tua hanya bisa bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia.”
*) Pemred Berdikari Online