Aku sampai di sebuah tebing. Mataku menatap ke arah lembah di bawah. Kabut tipis perlahan menghilang di telan uap panas. Cahaya matahari menusuk dari celah langit. Burung-burung berterbangan di atap-atap pepohonan. Sebuah cahaya bersinar dari celah lembah berwarna putih itu. Aku melihat sebuah kubah, kubah yang sangat besar. Bersinar seperti terbuat dari kaca atau permata. Disana aku bisa melihat bangunan-bangunan yang tertata rapi. Asap-asap membumbung dari celah cerobong asap rumah mereka. Aku terdiam menyaksikan keindahan kota itu. Kota terindah yang pernah kulihat seumur hidupku.
***
Aku membaca naskah tulisan itu dengan seksama. Naskah itu sudah tua sekali. Kertasnya sudah berubah kuning. Pinggiran kertas berlubang-lubang seperti sudah di santap rayap. Tulisannya pun sudah mulai memudar. Kubuka lembar demi lembar naskah tulisan itu dengan hati-hati. Aku takut salah perlakuan sedikit saja, maka rusaklah naskah itu. Jerih payah kakek selama bertahun-tahun. Kakek sudah bekerja keras untuk menulis cerita ini. Mungkin ia sudah menghabiskan waktunya selama belasan tahun. Belasan tahun hanya untuk cerita yang kupegang ini.
Kutumpuk kertas itu menjadi satu. Kurekatkan dengan penjepit kertas. Kemudian kumasukkan ke dalam amplop coklat dan kumasukkan ke dalam laci meja kerja. Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan. Aku menyahut “Masuk tidak dikunci” lalu pintu terbuka.
“Kak Robert, kakek ingin bertemu kakak”
“Baiklah”
Aku turun, menuruni anak tangga ke lantai bawah. Sosok gadis remaja membimbingku ke sebuah kamar. Jalan ke kamar dihubungkan oleh sebuah lorong. Di lorong itu dapat kulihat puluhan bingkai foto yang menggantung, mungkin hampir sepertiga peristiwa hidup kakek di abadikan disana. Ada pula koleksi kapak, pedang, parang hingga tongkat komando. Semakin masuk ke dalam lorong semakin kental suasana historis yang kurasakan.
Aku sampai di kamar kakek. Suasana sederhana terasa sekali. Bau minyak yang terasa menusuk hidung tersebar. Mungkin ini bau minyak urut yang digunakan untuk memijat tubuh kakek. Aku duduk di tepian kasur. Tangan kakek bergetar, kugenggam kuat telapak tangannya. Kelopak matanya mulai terbuka. Matanya menatap ke arahku. Aku menatap ke arah Agnes yang berdiri di samping ku. Ia hanya tersenyum sambil mengangguk halus. Kutatap kembali paras kakek yang senja itu.
“Su-sudahkah kau baca cerita itu?” tanyanya lirih.
“Iya kek, sudah kubaca”
“Sejauh mana sudah kau baca?”
“Sampai dimana Hans menemukan sebuah kota, di lembah Arandel”
“Kau baru membaca awal dari petualangan Hans..” ucapnya lirih.
Aku duduk semakin dekat dengan kakek. Takut melewatkan satu patah kata yang ia ucapkan.
“Bagaimana menurutmu tentang cerita yang kutulis?”
“Cerita kakek bagus sekali, bahasanya juga indah”
“Begitu kah menurutmu?”
“Iya, Kek” aku mengangguk. “Tapi kenapa kakek menulis cerita fantasi?” tanyaku.
Kakek terdiam, matanya terpejam. Aku masih menggenggam tangannya dengan rasa was-was. Kemudian matanya menatapku. Tatapan yang begitu tenang. “Kakek ingin mewujudkan sebuah dunia, dunia kakek sendiri. Kakek suka sekali menulis. Disela kegiatan kakek dulu selalu kakek sempatkan untuk menulis. Meski hanya sepuluh menit” ia tersenyum haru. Aku membalas senyumnya. “Kakek ingin menciptakan sebuah dunia tanpa perang, dunia yang indah. Jauh dari pertikaian. Yang ada hanyalah kedamaian dan ketentraman” sambung kakek. “Kakek selama hidup sudah melihat banyak sekali kekacauan, pertikaian, peperangan dan kehancuran. Kakek ingin lepas dari mimpi buruk itu. Itu alasan mengapa kakek menulis” aku mengangguk setuju. Kakek memang sudah melihat bagaimana kelamnya neraka dunia. Pastilah batinnya begitu tersiksa. Menulis telah menyelamatkan kakek. Membuatnya terbebas dari bayang-bayang kelam peperangan.
Aku tidak tahu seperti apa tekanan psikis yang sudah kakek terima. Tapi dari tatapannya saja aku seolah bisa merasakan penderitaan yang amat dalam. Di masa kakek teknologi belum semaju sekarang. Menulis bukanlah perkara yang efisien di zamannya. Mesin ketik adalah alat tulis yang merepotkan. Belum lagi papan keyboard yang rentan macet. Belum lagi bila ada satu huruf yang salah. Melihat kakek bisa menyelesaikan naskah ceritanya dengan kondisi serba terbatas, di tengah kondisi negara yang sedang dilanda perang seperti itu, membuatku angkat topi. Aku mengakui kegigihannya.
Kakek menatapku lirih. Ia menarik tanganku lembut.
Aku maju mendekat. “Robert.. kakek punya satu keinginan. Mau kah kamu mengabulkannya?” aku menggenggam tangan kakek lebih erat. “Apa kek? Katakan saja” kakek tersenyum mendengar jawabanku. “Robert.. kakek ingin kau menulis ulang cerita Arandel. Lanjutkan cerita itu lalu bukukan!” Aku mengangguk setuju. “Selama ini kakek sudah menelantarkan cerita itu. Sekarang semuanya sudah terlambat. Cerita itu bukan lagi milik kakek. Cerita itu sekarang sepenuhnya milikmu” ucapnya lirih. “Tulislah cerita itu, selesaikan apa yang sudah kakek mulai. Lalu sebarkan cerita Arandel kepada setiap orang! Dengan begitu usaha kita tidak akan sia-sia” kakek terdiam. “Jangan menyerah Robert, tekunlah dalam menulis! Ingatlah, menulis ibarat menapaki anak tangga keabadian. Apa yang kau tulis akan tercetak dalam buku. Karyamu akan abadi. Sepanjang karyamu abadi namamu juga akan abadi. Itulah jalan untuk mencapai keabadian” aku mengangguk untuk kesekian kalinya. “Iya, kakek benar” kucium telapak tangannya dengan rasa haru yang meluap.
***
Aku berjalan dengan langkah kecilku. Kupeluk punggung lelaki tua itu. Suara desingan mesin ketik beradu seperti desingan peluru. Kakek lalu terdiam. Ia mematikan rokoknya. Menekan sisi rokok yang terbakar ke permukaan asbak.
Lelaki tua itu membelai kepalaku halus, dengan tubuh masih menghadap mesin ketiknya. Aku mengubah posisi. Duduk dipangkuannya. Namun, dasar anak ingusan. Rasa ingin tahuku membuatku menekan papan keyboard mesin tua itu sembarang. Tulisan menjadi acak. Kakek menjewer telingaku. Aku pikir dia marah, aku mendongak menatap wajahnya. Ia menatapku tenang. Tersenyum hangat.
***
Sekarang sudah tengah malam, mataku terasa berat. Sinar dari layar laptop terasa perih menusuk mata. Bangkit dari meja kerja, kutinggalkan laptop lalu berbaring di sofa. Kutindih mataku dengan punggung tangan. Aku butuh istirahat. Menulis bukanlah perkara yang mudah. Tapi cerita Arandel seolah membiusku, membuatku terbang ke dunia fantasi bertabur salju itu. Perumahan, aksen, agama, dinamika masyarakat hingga mahkluk fantasi tersaji dengan begitu epic. Kakek membangun dunia Arandel dengan gaya penulisannya yang sangat luar biasa.
Tapi ada sesuatu yang mengganjal. Apa itu? Setelah merenung sekitar lima hingga tujuh menit aku menyadari sesuatu. Tidak ada tokoh antagonis! Iya, tak ada tokoh antagonis di dunia rekaan kakek. Dalam suatu cerita pastilah ada tokoh baik dan jahat bukan? Sebuah cerita yang tidak menyertakan karakter antagonis adalah cerita yang pincang. Itu sama buruknya dengan sayur oseng tanpa dibumbuhi garam. Hambar.
Sebuah cerita sempurna tanpa pertikaian adalah Utopia. Utopia adalah khayalan. Kesempurnaan sejatinya hadir dari ketidaksempurnaan yang saling melengkapi. Bukan dari eksistensi satu hal yang mampu berdiri sendiri. Kesempurnaan dalam cerita adalah sebuah kisah yang terjalin runtun lewat pengenalan, konflik, penyelesaian masalah dan akhir. Sebuah cerita yang tidak menghadirkan konflik akan berakhir membosankan. Bila kisah Arandel tetap dipertahankan, bukan tidak mungkin pembaca akan meninggalkannya. Dalam kasus ini cerita timun mas masih lebih unggul dari sisi konflik antar tokoh. Bukankah daya magis sebuah cerita terletak pada para tokohnya?
Aku menerjang alam khayalan. Mencari solusi terbaik untuk masalah ini. Haruskah aku menciptakan iblis yang akan mengusik Arandel? Atau tetap mempertahankan Arandel apa adanya? Entah kenapa aku merasa pertanyaan pertama lebih logis untuk kurealisasikan. Menciptakan sosok antagonis akan membuka sebuah konflik, dengan begitu roda cerita akan berputar. Itu akan menjadi nyawa untuk Arandel. Tiba-tiba aku teringat ucapan kakek “Cerita itu bukan lagi milik kakek. Cerita itu sekarang sepenuhnya milikmu.” Sekarang tugas mengolah semesta Arandel ada padaku. Sekarang aku akan menciptakan Chaos, akan kuciptakan sesosok iblis. Antagonis terkuat di dunia Arandel.
***
Lamia, siapa yang tak kenal sosok jelita itu. Sosok putri dari kerajaan Telvian yang hancur oleh peperangan dimasa lalu. Lamia, begitu orang-orang mendengar namanya saja tubuhnya akan gentar. Lamia bukan wanita biasa. Dia memiliki kekuatan magis luar biasa. Kemampuan bertarungnya bahkan bisa mengalahkan ratusan pria dewasa dengan mudah. Ia adalah perempuan yang haus darah.
Lamia memiliki ribuan pengikut yang setia. Mereka selalu menebarkan kekacauan ke seluruh negri. Bila mereka mati, maka dengan kekuatannya Lamia mampu membangkitkan kembali pasukaannya. Lamia adalah iblis yang akan menguji seisi dunia Arandel dengan terror dan darah.
***
Sebegitu kuatnya Lamia hingga begitu sulit untuk ditaklukkan. Aku sudah menciptakan iblis yang sempurna untuk menggerakkan roda cerita Arandel. Aksi dan reaksi akan terjadi. Lelah dengan aktifitas menulis, aku menyeruput secangkir teh panas. Berusaha menjaga api kreatifitas tetap menyala. Sudah tiga ratus halaman aku menulis, mungkin aku sudah setengah jalan. Akan kuselesaikan kisah Arandel ini sebaik mungkin.
Sudah mencapai bulan ketujuh. Cerita Arandel telah melesat maju. Tokoh utama kini sedang terlibat konflik dengan Lamia. Perang besar akan segera terjadi. Disini konflik besar akan meruncing ke titik puncaknya. Oh tuhan, aku sudah merubah Arandel terlalu jauh. Kulihat daftar karakter dan kerangka cerita. Aku sudah membunuh banyak sekali karakter baik antagonis maupun protagonis. Semua rata-rata adalah tokoh ciptaan kakek. Iya, tokoh yang secara kejam kubantai satu persatu dalam cerita Arandel. Apa tidak apa-apa seperti ini?
***
Hari ini adalah hari berkabung. Kakek telah pergi meninggalkan kami. Aku bahkan belum menyelesaikan kisah Arandel. Kini aku berdiri bersama sanak-saudara, menghantar kakek ke peristirahatan terakhir. Di langit awan menjadi kelam seolah ikut bersedih, turut mengucapkan bela sungkawa kepada kami. Manusia di bumi.
Satu persatu pelayat pergi. Keluarga juga pergi satu persatu. Aku meninggalkan makan kakek dengan rasa sedih yang mendalam. Kesedihan yang bercampur-campur. Kutinggalkan makam kakek. Saat berjalan menyusuri jalan, aku teringat kata-kata kakek “Jangan menyerah Robert, tekunlah dalam menulis! Ingatlah, menulis ibarat menapaki anak tangga ke abadian. Apa yang kau tulis akan tercetak dalam buku. Karyamu akan abadi. Sepanjang karyamu abadi namamu juga akan abadi. Itulah jalan untuk mencapai keabadian” aku terkesima. Seolah ada kakek disampingku yang membisikiku. Kata-katanya menggema jelas dalam benakku. Aku harus bergegas, menyelesaikan cerita Kakek.
“Robert istirahatlah, lihatlah kondisimu kini!”
“Tidak usah khawatir. Aku tidak apa-apa kok”
“Tidak apa-apa bagaimana? Lihatlah wajahmu itu! Pucat dengan kantung mata menggantung itu” ia menepis kata-kataku.
“Kau harus istirahat! Tidak lucu jika kau sampai sekarat gara-gara novelmu itu” sambungnya.
“Iya, aku akan istirahat sebentar lagi” anggukku paham.
Geo tampaknya menghawatirkan kondisiku. Semenjak aku kembali dari rumah kakek aku memang tenggelam dalam rutinitas baruku. Menulis. Geovani bahkan selalu meledekiku dengan title “penulis ceking” karena lebih suka menulis dari pada makan. Makanya tubuhku kurus kering begini. Aduh, saudara kok nggak ada rasa simpatinya gitu ya sama keluarga sendiri. Tega sekali memberikan gelar seperti itu.
Oh ya, sekarang sudah melesat dua belas bulan sejak aku menulis kisah Arandel. Tokoh utama meraih kemenangan meski banyak mengalami penderitaan di akhir. Tapi biarlah, penderitaan itu akan membuatnya semakin kuat. Aku kasihan pada tokoh fiktif itu namun demi menciptakan sosok tokoh yang berkarakter dan ksatria hal ini harus kulakukan. Semua itu demi dunia Arandel yang lebih baik.
Aku menyelesaikan paragraf terakhir novel kakek. Mataku terasa berat dan berair, dadaku dipenuhi rasa haru. Setelah sekian lama akhirnya novel itu berakhir. Semua kerja keras kakek dan sumbangsiku akhirnya tuntas. Seakan-akan hutang milyaran yang tak terbayar telah lunas. Aku mengakhiri novel dengan akhir yang happy ending. Aku begitu lelah hingga akhirnya tertidur.
***
Aku berjalan melewati taman-taman bunga. Musim semi telah datang. Ia, aku lah yang mendatangkan musim semi ini. Peperangan pasukkan Arandel dan pasukkan Lamia yang berdarah-darah itu akhirnya mengakhiri musim dingin di negri salju abadi, Arandel. Aku bisa merasakan kehangatan dan suka cita yang terpompa di dalam tubuhku. Semua orang bersuka-cita, tua, muda, anak-anak hingga orang tua larut bersamaku dalam suka cita. Musim dingin telah berlalu. Arandel telah menemui musim semi. Setelah berratus-ratus tahun terkurung dalam musim dingin.
Sosok pria yang gagah berjalan dari pohon ke pohon. Pakaian ksatrianya yang gagah bersinar di terangi cahaya matahari. Aku tahu siapa dia. Dia adalah Hans, karakter utama, pusat dari semesta Arandel. Tanpa dia tidak akan ada negri salju Arandel.
Dia duduk pada sebuah pohon Ek yang mulai berdaun lagi. Wajahnya amat cerah, sungguh luar biasa. Penderitaan yang ia alami telah menempanya menjadi ksatria yang tangguh dan seolah-olah tidak memiliki penyesalan dalam hidupnya. Mengingatkanku pada kakek, pencipta dunia ini. Angin musim semi menerbangkan dedaunan. Kesatria itu tidur, bersandar pada tubuh sang pohon. Ia tersenyum dalam tidurnya. Tenggelam dalam kedamaian. Tidak ada lagi penderitaan untuk tokoh utama ini. Tugasnya sudah tuntas, saatnya baginya untuk kembali. Begitu pula denganku. Kembali dalam kedamaian. Meninggalkan Arandel dalam balutan musim semi yang akan mengawali babak baru.
Saat aku terbangun dari mimpiku, mataku basah. Aku bahagia, Hans bahagia dan aku yakin kakek pun demikian. [Aricha Syachia Kurin]