[caption id="attachment_34167" align="alignleft" width="300"] Ilustrasi[/caption]
Jika di desa, penguasaan teknologi dan sumberdaya manusia jadi masalah utama untuk memenuhi kebutuhan pangan, maka di kawasan perkotaan permasalahan utamanya berada pada keterbatasan lahan. Banyak lahan-lahan produktif yang kemudian beralih fungsi, padahal kebutuhan pangan di masyarakat perkotaan semakin meningkat seiring pertumbuhan masyarakatnya.
Perlu ada cara khusus agar masyarakat perkotaan bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Bisa dengan memanfaatkan pekarangan, bisa juga memanfaatkan dalam ruangan.
Oleh karena itu, sebanyak 100 orang perwakilan Badan Ketahanan Pangan seluruh Indonesia mendapatkan kesempatan untuk belajar teknologi pertanian khusus kawasan perkotaan secara langsung di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) DKI Jakarta, baru-baru ini.
Didampingi oleh Kepala Badan Ketahanan Pangan, Gardjita Budi saat kunjungan lapang, para perwakilan badan ketahanan pangan daerah terlihat sangat antusias mendengarkan dan melihat secara langsung aneka ragam usahatani perkotaan yang dipaparkan staff BPTP DKI Jakarta.
Kepala BPTP DKI Jakarta, Etty Herawati menuturkan ada empat subsistem pertanian perkotaan yang dikembangkan oleh BPTP DKI Jakarta. Antara lain subsistem peternakan, subsistem budidaya pertanian, subsistem pengkomposan, dan subsistem pasca panen.
"Kalau kita di perkotaan dengan isu alih fungsi lahan (kekurangan lahan) dengan adanya subsistem ini masih bisa mengusahakan pertanian. Kegiatan pertanian bukan saja dilakukan di lahan, tetapi di ruang2 pun bisa dilakukan. Contohnya di indoor kami masih bisa melakukan budidaya sistem hidroponik indoor," ungkapnya.
Salah satu teknologi yang menarik minat peserta adalah integrasi budidaya ternak kelinci dan sayuran. "Kelinci bukan hanya menghasilkan daging dan kulit, tetapi juga feses dan urin yang berguna untuk diolah menjadi kompos untuk pupuk tanaman," jelas Etty.
Dipilihnya kelinci sebagai komoditi peternakan karena wilayah perkotaan yang padat pemukiman dilarang untuk memelihara unggas. "Sedangkan ruminansia (sapi, kerbau) membutuhkan ruang atau lahan yang lebih besar. Akan banyak pakan yang dibutuhkan juga," ungkapnya.
Salah satu peserta dari Kota Bogor, Firdaus mengaku tertarik untuk bisa mengembangkan teknologi ini karena wilayah kota Bogor dikenal juga sebagai penghasil kelinci lokal.
Seperti dikutip dari Sinar Tani, Etty menambahkan BPTP DKI Jakarta juga tengah mengembangkan budidaya bawang merah dan cabai dengan sistem vertikultur.
Tak hanya teknologi budidaya, teknologi pasca panen atau pengolahan juga menjadi andalan dari BPTP DKI Jakarta. "Produk olahan yang dihasilkan pun banyak, tak hanya kompos tetapi juga olahan sayuran seperti puding kelor, bayam merah dan bayam hijau, smoothies, cake dan sebagainya," ungkap Etty.
Diseminasi teknologi dari BPTP DKI Jakarta pun sudah dilakukan di dua daerah percontohan "Ada di Yonif 201(Batalyon Infanteri Mekanis 201/Jaya Yudha, Jakrta Timur) dan Rusun Marunda," tuturnya.
Bertani di wilayah perkotaan pun sebenarnya bisa menguntungkan. BPTP DKI JAKARTA sudah pernah melakukan studi mengenai peningkatan pendapatan masyarakat. Ada tambahan pemasukan sekitar Rp 700 ribu.
"Itu dari pemasukan budidaya tanaman saja (sistem hidroponik). Rumah tangga pun bisa menekan pengeluaran karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli sayur mayur," jelasnya.
Kegiatan kunjungan ini dari kepala balai ketahanan pangan sebenarnya baru kali ini diadakan. Namun BPTP DKI Jakarta sering menerima kunjungan lapang,magang dan pelatihan dari beberapa elemen masyarakat seperti mahasiswa hingga kelompok warga yang memang ingin mengembangkan usahatani perkotaan.
"Kita juga mengharapkan bentuk kerjasama transfer iptek. Jika ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai teknologi, dipersilahkan untuk mengikuti pelatihan/magang disini atau BPTP setempat yang akan bekerjasama dengan DKI Jakarta," tutupnya. (Gsh/Yn)