Oleh : Aricha Syachia Kurin
KITA tidak pernah benar-benar pulang bukan? Kemana kita akan pulang? Rumah? Aku tidak yakin rumah adalah tempat untukku pulang. Aku tak pernah benar-benar pulang. Terkurung dalam kata jauh rasa untuk pulang seolah lenyap. Hilang tak berbekas. Satu-satunya rasa yang tertinggal hanya rindu. Aku rindu pulang.
Langit telah basah. Hujan akan turun sebentar lagi, aku bisa merasakannya. Di dadaku sebuah balon gas mengembang. Mendesak dadaku hingga terasa sesak. Aku cemas. Sementara langit semakin basah, air akan tumpah. Dulu saat kaki-tangan ini masih kecil, aku melangkahkan kaki ini ke hamparan rumput. Menunggu air tumpah dari langit. Bermain tak peduli meski petir menyambar udara di angkasa. Ahh..hujan selalu mendatangkan kenangan, seperti saat ini.
Ketika menginjakkan kaki di rumah ini hatiku seolah tercabik. Pelupuk mata basah dengan air mata. Mana bisa kutahan. Aku pulang namun tidak pernah benar-benar pulang. Aku sedih tak terkira. Aku terlambat. Kini aku di rumah. Namun, untuk pertama kali aku merasa seperti bukan di rumah. Semua tak sama, semua berubah. Waktu telah merubah semuanya, ia memang tuan tanah tak berbelas kasih. Tega sekali.
Langit akan tumpah. Sebentar lagi. Kami menunggu. Tangan kecilnya menggenggam tanganku erat. Senyumnya begitu manis, menenangkan hati. Langit tumpah, air turun dengan deras. Aku menikmati guyurun air di tubuhku. Ia berjingkrak girang di sampingku, antusias. Hamparan rumput ini taman bermain kami sekarang. Ia mengusap wajahnya, menari-nari riang. Tarian hujan ini membawa keceriaan tak ternilai. Aku tersenyum sambil memegang kedua tangannya. Menari-nari bersamanya, bersenda gurau bersama. Dadaku sedikit lapang sekarang.
Saat aku masih seorang anak, disini ibu bemain air bersamaku. Ketika langit mengguyur kami dengan airnya yang seolah tak ada habisnya, kami mulai tertawa, bermain, bercandaria. Hingga kini aku telah beranak. Semua seolah sama, seolah-olah kenangan itu terulang. Aku ingin membagi ini dengannya. Membaginya dengan belahan jantungku, agar ia rasakan bahagia, sama seperti yang bundanya dulu rasakan.
Hujan bersahabat hari ini. Tak ada guruh, tak ada angin ribut. Sempurna sudah kebahagiaan kami hari ini.
“Bunda..bunda!”
“Iya, sayang?”
“Baju Tio basah, Tio buka boleh?”
“Iya,” aku mengusap wajahku yang basah. “Sini bunda bantu!”
Kubuka bajunya. Semuanya. Tubuh bulatnya sempurna terguyur hujan. Ia tertawa-tawa, menganga mencoba meminum air hujan. Kuletakkan bajunya di teras belakang. Lalu kembali padanya. Menemaninya menikmati mandi hujan pertamanya. Dulu saat aku masih seorang anak. Ayah akan marah sekali. Menebasku dengan penggaris atau sapu lidi. Kini saat aku seorang bunda aku tidak akan melakukannya. Tidak akan! Lagi pula ia akan selalu aman bersamaku, tak perlu takut dengan sosok laki-laki sangar yang akan memukulnya dengan sapu ataupun penggaris. Karena anakku berbeda, anakku special. Ia sepenuhnya milikku.
Ini hujan pertama kami. Kami belum pernah seperti ini. Entah kenapa rasa ingin mengenang masa lalu itu muncul. Aku mencoba mengingat sejarahku, sekaligus membuat sejarah yang baru. Sejarah hidup yang akan aku lukis di jiwa anakku. Ya, ia sepenuhnya milikku. Dan untuk pertama kalinya aku merasa di rumah. Bahagia sekali. Aku bersimpuh. Kupeluk tubuhnya, kucium wajahnya, kuelus punggungnya yang lembut. Sekarang aku tahu mengapa aku tak pernah benar-benar pulang. Karena akulah tempat untuk berpulang. Bukan rumah yang menjadi tempat untuk kita berpulang. Tapi, cinta dari orang yang kita sayang adalah rumah bagi jiwa kita untuk pulang. Bukan kepulangan raga yang menciptakan kenyamanan. Tapi kepulangan jiwa yang telah gersang ke pelukan orang tercinta, sejatinya adalah tempat untuk kita berpulang. Kini teranglah sudah semua itu. Banyak orang yang tak sudi pulang meski rumahnya megah bak istana. Namun, disisi lain ada orang-orang yang sudi bergulat dengan maut untuk kembali pulang. Pulang ke rumah, tak perduli meski bentuknya mirip dengan gubuk di sawah. Jawaban dari itu semua adalah ketenangan jiwa. Sayangnya aku terlambat, aku benar-benar terlambat!
Di bawah langit ini aku menemukan kembali makna hidupku. Menyadari akan eksistensi diriku. Aku adalah rumah itu, rumah untuk anakku pulang. Di bawah langit ini aku menyadari, tak perduli di bumi mana rumah itu berdiri. Selama ada pelukkan kasih dari seseorang yang kau sayang maka itu adalah rumahmu. Aku tak perlu pulang. Akulah tempat untuk pulang. Saat belahan jantungku telah rindu untuk berpulang, maka dekapanku akan selamanya menjadi rumah bagi jiwanya untuk pulang.
Segenap Rindu untuk Ibuku.
Tamat