JAKARTA, PB - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menilai langkah Presiden Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2016 telah keliru. Pemotongan anggaran kementerian dan lembaga seharusnya dilakukan melalui revisi Undang-Undang (UU) APBN.
“Dalam hal pembuatan UU, setelah amandemen, posisi DPR lebih tinggi, sehingga setiap rupiah harus diregulasi dan mendapatkan persetujuan dewan. Tidak boleh dipotong sembarangan,” tegas Fahri.
Menurutnya, pemangkasan anggaran seharusnya mutlak menjadi persetujuan antara DPR dan Pemerintah, karena APBN disahkan berdasarkan UU. Begitupun, pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) yang tidak terpisahkan dari APBN.
“Inpres itu imbauan. Kalau mengimbau jangan ditentukan jumlahnya dari sekarang. Itu adalah pos yang tidak boleh dipotong sembarangan. DAU itu enggak boleh dipotong dari pusat, sebab rumusnya masuk ke dalam UU No. 32 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Enggak boleh sembarangan dipotong pakai Inpres. Harus pakai UU atau instrumen setingkat UU,” tandasnya.
Di sinilah, sambung Fahri, kekeliruan Presiden dalam memotong anggaran yang sudah disahkan oleh UU. Jika kesalahan pemerintah seperti ini dibiarkan, maka restu DPR tak diperlukan lagi, kecuali terkait hal-hal yang bersifat formal.
“Padahal, jelas disebutkan dalam UU bahwa posisi DPR lebih tinggi daripada pemerintah, makanya disebut kuasa pembuat UU," imbuh politisi dari dapil NTB itu.
Hal senada disampaikan, Pakar Hukum Tata Negara Rahmat Bagdja. Inpres yang dikeluarkan Presiden cacat hukum. Sesuai dengan Pasal 37 UU APBN bahwa berapapun uang yang dikeluarkan negara harus dilaporkan ke DPR.
“Pemerintah secara sadar telah melampaui kewenangannya dalam membuat aturan, apalagi, dalam membuat anggaran. Pemerintah sudah beberapa kali telah offside dalam melakukan kewenangannya, sehingga bisa masuk pada jebakan melanggar undang-undang. Kalau ingin melampaui kewenangan, maka UU APBN itu dilakukan melalui Perppu,” ujar Rahmat. [GP]