KETIKA malam semakin pekat dan bintang-bintang angkasa menyala terang, Kiara menggelar tikar di atap rumahnya. Dari matanya kita bisa dengan jelas melihat pantulan bintang-bintang di langit malam. Bintang begitu terang malam ini, musim kemarau menghalau awan-awan hingga membuat atap langit terasa kosong. Sejenak Kiara menatap bintang paling terang di arah barat. Dia tidak tahu namanya dan tidak paham rasi bintang apa itu. Meski tidak terlalu paham astronomi hal itu tak lantas membuat kecintaan Kiara pada bintang sirna.
Begitu sunyi dan tenang, jiwa introvert Kiara seolah menemukan tempatnya. Keramaian terasa asing baginya, terasa seperti tersesat di ekosistem yang salah. Jiwa Kiara berkawan dengan sepi sudah layaknya saudara se-rahim, membuat Kiara jauh dari warna-warni lingkungan. Sepi menghantarkannya pada sebuah lautan kosmis bertabur bintang tepat di atas keningnya kini. Sepi jua lah yang membuatnya merenungi arti kehidupan dan kematian. Sepi pula yang mengajarkannya akan kecilnya dia dalam lautan bintang, galaksi dan atribut angkasa lainnya. Membuatnya menanggalkan satu sifat buruk manusia yaitu sombong.
Ada yang bilang katanya dunia ini terdiri dari berbagai macam dunia pararel yang bersebrangan. Mereka sama dan tumbuh berdampingan, terpisah oleh samudra kosmis yang jauhnya tak terkira. Ada juga yang bilang bila kita bisa menemukan dunia itu kita akan menemukan eksistensi dari diri kita sendiri. Apa benar ? Itu kan cuma katanya! Tapi Kiara percaya. Kiara selalu menatap bintang-bintang, berusaha mencari Kiara-Kiara yang lain di antara bintang-bintang. Kiara juga yakin Kiara-Kiara itu juga tengah mendongak ke langit yang sama untuk menemukannya. Bersama sepi Kiara selalu menemukan alasan untuk terus merasa nyaman bersama bintang-bintang.
***
Marcel menatap rasi bintang Orion/sang pemburu malam ini. Rasi yang terletak di antara 85 derajat lintang utara dan 75 derajat lintang selatan ini tersusun berpola di langit sebelah barat. Dengan bermodal teleskop dan terangnya langit cerah membuat Marcel dapat dengan jelas mengamati setiap bintang di gugusan salah satu rasi bintang terkenal itu. Dari ambang pintu seorang wanita berjalan memasukki kamarnya dengan langkah anggun, dia berjalan menghampiri Marcel di balkon.
“Duhh sibuknya... sudah makan belum?” tegurnya.
“Berisik! Jangan ganggu aku!” balasnya ketus.
“Idihh sombongnya” wanita itu menggelang kepala.
Wanita itu memalingkan tatapannya. Dia berjalan ke arah dinding balkon lalu menyandarkan pingganggnya. Tangannya dilipat kebelakang, menautkan telapak tangan. Kini Marcel tepat di depannya, sibuk menatap bintang dari teleskop kesayangannya. Sering ia bertanya dalam hati apakah suatu hari nanti Marcel akan menyayanginya layaknya Marcel menyayangi teleskopnya? Mungkinkah hal itu terjadi?
“Maria kalau kamu mau pergi, kamu boleh pergi sekarang!”
“Kamu ini kenapa sih? Aku nggak mengganggu kan?!” nadanya terdengar tinggi.
“Bukan begitu aku cuma takut kamu bosan nanti” balas Marcel datar.
“Alah, alasan kamu aja. Bilang aja kalau kamu mau aku pergi”
“Kalau iya kenapa?”
“Iiihhhh... Marcell!!!” Maria menggeram kesal.
Maria menghentakkan kakinya ke lantai wajahnya berubah kusam karena marah, tapi tidak mengurangi kecantikan di wajahnya. Dengan gaun long dressnya yang berwarna biru malam ditambah dengan polesan wajah yang indah dipercantik dengan potongan rambut sebahunya rupanya tak mampu membuat Marcel melepaskan pandangannya sesaat saja dari lensa teleskopnya. Dia begitu dingin dan datar. Jika bukan Maria, wanita mana yang bisa berkompromi dengan sifatnya itu?
Apa yang menarik dari kumpulan bintang-bintang ini? Apakah hobi sepele ini lebih penting dibandingkan makan malam keluarga besar mereka berdua? Apakah bintang-bintang ini lebih penting dari pada rencana pernikahan mereka? Dan segudang pertanyaan masih mengganjal di hati Maria, ia ingin sekali menangis sejadi-jadinya, menghambur ke arah Marcel, mencakar wajahnya, memukul tubuhnya. Bila perlu mendorongnya dari balkon.
“Kamu itu nggak ada manis-manisnya ya sama perempuan! Lagi pula keluarga kita sudah susah payah mengatur rencana makan malam ini, tidak kah kamu menghargainya? Apakah kamu tidak memikirkan perasaan mereka? Tapi kamu malah sibuk disini mengurusi hobi kamu sendiri. Kamu egois Marcel!”
Marcel melepas perhatian dari teleskopnya. Kemudian berbalik badan lalu ke arah Maria. Marcel memijat tengkuknya dengan tangan kanannya. Suasana begitu canggung, Marcel hanya menatap mata Maria sekilas lalu menatap sikunya.
“Kamu wanita yang baik Maria aku menghargai perhatianmu” ucap Marcel sungguh-sungguh.
Maria menatap Marcel dengan rasa campur aduk. Marah, sayang, kesal dan rindu. Maria sulit mendefinisikan perasaannya kini. Wajahnya terasa panas. Dadanya sesak.
“Kamu tidak perlu memaksakan perasaanmu itu padaku. Kamu tidak perlu bersikap manis seperti itu lagi Maria. Aku menghargai perasaan orang tuaku dan orang tuamu. Tapi apakah mereka memikirkan perasaan kita? Mengatur perjodohan ini sama saja dengan memaksakan perasaan kita masing-masing. Sudahlah! Kamu tidak perlu berpura-pura lagi. Hari ini akan kukatakan pada orang tua kita perasaan kita yang sebenarnya.”
“Atas dasar apa kamu menilai perasaanku seperti itu?!” Marcel terkejut mendengar intonasi Maria yang terdengar mengancam. “Memaksakan katamu?! Kamu tahu apa tentang perasaanku ?!” Amarah Maria meluap. “Kamu memang egois, kamu nggak pernah berubah Marcel!” Maria benar-benar kecewa.
Maria berlari keluar. Derap langkahnya terdengar keras. Marcel bahkan masih bisa mendengar suara derap langkahnya menghantam anak tangga kayu di bawah sana. Suara terdengar sedikit gaduh di bawah sana. Tapi Marcel tidak perduli. Marcel menutup pintu kamar. Ia duduk di pinggir kasur lalu meraih ponselnya di atas meja kecil dekat lampu tidur. Ia membuka jendela message. Menulis beberapa baris karakter.
“Kamu ada acara besok pagi? Kita ketemuan yuk! Gimana kalau di Gran Caffe ?”
Dan klik. Sms berubah menjadi sinyal-sinyal elektronik. Diantar melalui BTS yang tersebar di seluruh kota. Sinyal pun sampai, membuat handpone sang penerima berdering.
“Ok, jam berapa?”
Sms kembali dikirim. Menyambar ponsel Marcel.
“Besok jam sepuluh, gimana? ”
Sms kembali dikirim, pesan diterima.
“Ok :) “
Satu karakter, satu emoticon muncul di layar ponsel Marcel.
“Thanks a lot”
Tiga karakter, dikirim ke ponsel tujuan.
Marcel mendengar suara langkah kaki. Sosok pria paruh baya membuka pintu dengan kasar. Sosok wanita mengimbangi langkahnya, tepat disampingnya. Itu ibu dan ayahnya. Marcel tersenyum masam. Malam itu dari balik jendela rumah berlantai tiga. Adu mulut terjadi antara orang tua dan anak. Malam masih panjang. Bintang di langit masih bersinar. Sesekali Marcel mencuri pandang ke arah langit. Melarikan diri sejenak dari tatapan murka ayahnya. Bintang begitu indah. Malam masih panjang. Biarkan aku menatap langit ini hingga fajar. Batin Marcel berbisik.
***
“Kiara!”
Kiara mengalihkan pandanganya, akhirnya ketemu. Kiara bergegas menuju meja no 14 itu. Menggeser kursi lalu duduk dengan manis. Pria didepannya menutup buku tebalnya yang kusam. Memasukkannya ke dalam tas punggung yang ia sandarkan di kaki meja. Pria itu tersenyum memandang Kiara, Kiara membalas sekedarnya.
“So, apa kabar?” tanya pria itu dengan senyum manis.
“Fine” balasnya.
“Mau minum apa?”
“Terserah kamu”
“Makan?”
“Aku ikut kamu aja, kan kamu yang teraktir”
“Ok” Pria itu mengangguk sembari mengangkat satu alisnya.
Pria itu memanggil pelayan. Tak begitu lama, pelayan itu datang.
“Mau pesan apa pak?”
“Pesan dua porsi sirloin steak original”
“Minumannya?”
“Lemon tea saja, dua gelas”
“Baik pak”
Pelayan itu segera bergegas, menunaikan pesanan sang pelanggan. Meja no 14 itu terasa sepi, tidak ada suara-suara ke akraban seperti halnya meja-meja lain. Hanya ada empat mata saling tatap, saling lirik.
“Bagaimana kabar kamu Marcel?”
“Lumayan”
“Lumayan gimana?”
“Lumayan buruk”
“Bagaimana bisa?”
“Ya, mudah aja. Aku bikin nangis anak teman papa aku, kena marah habis-habisan dan blabalabla” Marcel mengelengkan kepalanya pelan.
“Apa karena perjodohan yang kamu singgung tempo hari itu?”
Marcel mengangguk. Kiara menghela nafas.
“Kalau tiba-tiba kamu dijodohkan dengan orang asing, gimana perasaan kamu?”
“Aku? Gimana ya?” Kiara menatap atap cafe. Berusaha membayangkan.
“Aku terima kalau cowoknya ganteng” celetuknya.
“Serius?”
“Ya nggak lah! Aku pasti mikir tentang bibit, bebet dan bobotnya. Kalau buntu, kompromi. Terus bilang ke mereka kalau aku nggak mau nikah muda”
“Oh iya, kamu masih SMA kan?” Marcel menepuk jidatnya.
“Kamu sudah S1 jadi wajarlah kalau orang tua minta kamu cepat nikah, apa lagi kamu anak tunggal”
“Susah juga jadi anak tunggal, orang tua ku memang merepotkan” Marcel mendengus.
“Setidaknya bersyukurlah kamu masih punya orang tua”
Tatapan Kiara berubah sendu. Marcel dengan cepat menyadari perubahan tatapan itu. Kiara itu yatim piatu. Bodoh sekali. Secara tidak langsung ia sudah membuat Kiara bersedih.
“Maaf kalau”
“Nggak , kamu nggak perlu minta maaf” potong Kiara.
Marcel jadi merasa tidak enak. Serasa ada kerikil yang mengganjal di dada. Ia melirik arlojinya. Menatap seisi cafe secara acak. Membuang pandangan.
“Nah, kayaknya makanannya sudah sampai” sahut Marcel.
Makananpun dihidangkan, aromanya mengembara di udara. Membangkitkan nafsu makan. Marcel meraih garpu dan pisau lalu mulai mengiris daging steak. Sesekali ia melirik Kiara. Kiara makan dengan lahap, namun tetap menjaga tata cara makannya. Marcel kagum dengan cara Kiara memotong daging dan menyantapnya tanpa menimbulkan kesan rakus atau norak. Selama sesi santap makanan yang terdengar hanyalah gesekan garpu, pisau dan piring. Tak ada suara tak ada sesi bicara saat makan. Semua berjalan hikmat layaknya upacara penaikan bendera. Tenang, hikmat dan khusyu. Hal ini berbeda bila makan bersama Maria dan keluarganya. Maria tak bisa diam. Selalu berbicara tentang topik yang remeh temeh kepadanya. Satu nilai negatif yang terukir dalam benaknya tentang Maria. Maria itu berisik.
Minuman ditenggak hingga habis. Makanan di piring pun sudah tak bersisa, hanya tersisa sauce steak. Baik Marcel ataupun Kiara meletakkan garpu dan pisau dengan rapi di tengah piring. Menyeka sisa-sisa makanan dengan tisu. Kemudian diam.
“Terima kasih sudah memenuhi undanganku” ucap Marcel.
“Dengan senang hati Marcel”
“Aku harap suatu hari aku juga bisa mentraktir kamu makan juga”
“Bila saat itu tiba akan dengan senang hati aku terima” kata Marcel.
Mereka hanya saling membalas senyum setelah itu. Tidak banyak yang bisa dilihat ketika mereka bersama. Mereka bukan orang yang hobi berbasa-basi. Bagi beberapa orang tatapan dan kebersamaan jauh lebih berarti ketimbang kata basa-basi. Ketenangan batin satu sama lain lah yang membuat pertemuan mereka berkesan. Selama aku bisa bersamamu meski dalam sepi, itu sudah cukup.
“Jadi bagaimana kamu akan menanggapi perjodohanmu?”
“Mungkin aku akan coba berkompromi”
“Kompromi?”
“Iya”
“Kompromi seperti apa?”
“Akan kujelaskan kepada orang tuaku kalau aku sudah punyai calon”
“Calon? Memang kamu punya? Bukannya kamu nggak akrab sama cewek”
“Ya punya lah, jangan remehkan seorang Marcel”
“Siapa calonnya?”
“Ada lah”
“Ihh.. kasih tahu dong”
“Yang jelas, kalau dia makan nggak berisik kayak Maria”
“Ada-ada aja kamu ini Marcel” Kiara tersenyum geli.
Satu jam telah lewat. Pukul sebelas lewat tujuh. Ponsel Kiara berdering. Ia membukanya. Lalu memasukkannya ke dalam tas jinjing coklatnya.
“Ada apa Ki?”
“Aku hampir lupa, aku mau belanja perlengkapan ulang tahun untuk anak panti”
“Ada yang ulang tahun? Siapa?”
“Elisa, kami sudah bikin rencana untuk membuat pestanya”
“Asik dong, aku boleh ikut nggak?”
“Boleh”
“Apa aja barang belanjaannya? Memang ulang tahunnya kapan?”
“Banyak deh pokoknya, rencananya kami mau bikin pesta tanggal 13 April”
“Wah berarti lusa dong pestanya”
“Iya, maka dari itu kami harus siap-siap”
“Enak nya punya saudara banyak, aku jadi iri”
“Huusss, justru aku iri sama hidup kamu yang serba lengkap itu” timpal Kiara.
Marcel tersenyum. Berdiri dari posisi duduknya, mendekati meja kasir lalu membayar makanan. Marcel berjalan mendekati meja nomor 14. Kiara sudah berdiri dengan anggun disana. Marcel mengambil tasnya. Mereka meninggalkan meja. Berjalan keluar cafe.
“Kiara?”
“Iya?”
“Teleskop yang kamu berikan waktu itu, thanks banget ya!”
“Oh teleskop itu. Iya, nggak masalah. Lagian teleskop itu kayaknya lebih berguna di tangan kamu”
“Kapan-kapan kita lihat bintang bareng gimana?”
Kiara tersenyum sambil mengangguk.
Marcel berjalan didepannya. Membuka pintu cafe. Kiara menatap atap Gran Caffe. Hiasan bintang begitu indah terlukisa disana. Ya, cafe itu bertema antariksa. Antariksa yang selalu dicintai oleh Kiara sepenuh hati. Bintang-bintang berkerlip, membuatnya membayangkan bintang yang nyata dilangit malam. Pintu cafe dibuka. Udara luar yang hangat menyambar. Sinar matahari menyapa. Bintang paling terang itu terlihat perkasa. Kiara menatap langit biru. Apakah disana Kiara-Kiara yang lain juga sama sepertinya? Sama-sama mengagumi bintang-bintang dalam senadung sepi? Yang sama seperti dirinya. [Aricha Syachia Kurin]
Tamat.