AJ Susmana*
Tahun 2017, sebanyak 101 Daerah akan menggelar Pilkada serentak. Pilkada memilih kepala daerah: Bupati, Walikota, dan Gubernur secara langsung oleh rakyat. Sudah beberapa kali pemilu langsung memilih kepala daerah ini berlangsung dan menghasilkan kandidat-kandidat pemimpin nasional. Jokowi setidaknya berangkat dari situasi ini. Dengan begitu, pilkada juga bisa menjadi kawah candradimuka bagi calon pemimpin nasional sebab dari sana diharapkan datang kepala daerah yang mumpuni yang bisa mengatasi persoalan daerah sehingga layak atau dianggap mempunyai bekal untuk mengatasi persoalan nasional.
Karena itu, pilkada adalah juga langkah strategis untuk memperbaiki kondisi rakyat, yaitu dengan memilih kepala daerah yang mempunyai komitmen besar terhadap kemajuan rakyat, misalnya petani sebagai sektor utama untuk dilindungi dari perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang.
Sejak masuknya kolonialisme, sebenarnya terjadi perubahan besar dalam struktur masyarakat terutama di Jawa. Memasuki tahun 1600 Masehi, raja-raja di Nusantara dipaksa melepaskan kekuasaan atas laut yang berarti juga penghentian perdagangan laut. Yang paling kasat mata dari perubahan struktur dan akhirnya sikap adalah lenyapnya kelas pedagang di Jawa bahkan Jawa menjadi antipati terhadap kaum pedagang yang waktu itu dikuasai golongan Cina sebab VOC memang mendorong dan menempatkan golongan Cina sebagai mitra utamanya. Barangkali akar rasisme anti Cina berasal dari sini, tetapi ini menunjukkan pada kita bahwa anti Cina itu pun tidak murni sebagai bentuk kebencian terhadap orang asing (xenophobia) tetapi karena menjadi bagian dari sistem kolonialisme.
Kita tahu kemudian di Jawa, perdagangan pun dibenci dan pedagang dimasukkan dalam golongan penyakit sosial setara dengan pecandu narkoba, penjudi dan penjahat sebagaimana ditunjukkan dalam Serat Wulang Reh, Pupuh Wirangrong bait ke-10 sampai ke-13 karya Paku Buwana IV (1768-1820), Raja Surakarta; yang dalam beberapa hal bisa dianggap sebagai ajaran kebijaksanaan Jawa. Mentalitas Jawa semakin lama menjadi anti perdagangan dan makin lama kehilangan keahlian dalam berdagang. Sementara itu dalam politik, para pemimpin yang ningrat itu yang telah kalah dan menyerah pada VOC semakin sewenang-wenang terhadap rakyat.
Dalam buku Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, George McTurnan Kahin menjelaskan situasi ini:
Dengan sumber dana yang sangat terbatas serta harapan untuk memperoleh laba tahunan yang besar atas modal yang kecil, VOC, tidak akan mampu memikul biaya yang tinggi sebagai konsekuensi dari sistem pemerintahan langsung. VOC kemudian menggunakan sistem pemerintahan tidak langsung yang tidak memerlukan banyak biaya tetapi cukup untuk mengamankan kekuasaan politik yang diperlukan guna mencapai tujuan ekonominya. Inti dari sistem tersebut adalah pendayagunaan struktur kekuasaan pribumi untuk kepentingan VOC sendiri. Lebih tepatnya, mempertahankan sekaligus memperkuat kedudukan maupun kekuasaan kaum ningrat Jawa yang bersedia diatur…Kekuasaan kaum ningrat tersebut diperkukuh oleh kekuatan militer Belanda yang siap mendukung mereka melawan rakyat Jawa selama mereka bersedia mengatur kegiatan ekonomi rakyat Jawa agar sesuai dengan kepentingan VOC…Akibatnya, sifat pemerintahan penguasa setempat di seluruh kerajaan di Pulau Jawa berkembang ke pemerintahan yang lalim. (Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Komunitas Bambu, 2013; 4-6). Situasi yang persis sama dengan yang digambarkan Multatuli dalam Novel Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda tentang Bupati Lebak yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri yang umumnya bekerja sebagai petani. Kesewenang-wenangan Bupati Lebak terhadap rakyat taninya ini dibiarkan saja oleh pemerintah kolonial. Protes Max Havelaar sebagai Asisten Residen pun tak ditanggapi sebagaimana mestinya. Kesewenang-wenangan terhadap rakyat pun terus berlanjut.
Tidak mengherankan bila kemudian di masa revolusi kemerdekaan, ada beberapa daerah yang irama perubahannya tidak mau mengikuti pusat di Jakarta yang sering kali tidak mau mengerti dan tidak bisa merasakan penderitaan tiada tara rakyat di daerah selama masa penjajahan dengan para bupati yang tidak membela Rakyat tapi justru menjadi kaki-tangan Penjajah. Sebagaimana kita tahu, revolusi politik dan sosial dalam skala daerah pun terjadi seperti di Provinsi Banten, Brebes, Pekalongan, Pemalang, Solo, Madiun…hingga Aceh.
Situasi kesewenang-wenangan terhadap rakyat sebagaimana digambarkan Kahin juga Multatuli itu tampak masih terjadi di beberapa daerah sampai hari ini. Rakyat masih (menjadi obyek) derita. Petani terusir dari lahan garapan: kalah dengan korporasi pedagang besar yang bertindak sebagaimana kongsi dagang VOC dahulu tanpa perlindungan, yang berarti dari para bupati dan pemimpin daerah.
Berkaitan dengan Pilkada 2017 dan juga Pilkada mendatang lainnya, sebaiknya rakyat pemilih bisa melihat kepentingan dan posisi strategis Pilkada dalam agenda perubahan secara nasional. Dalam jangka pendek, tujuannya jelas yaitu memenangkan para pemimpin yang terbukti pro rakyat di ajang Pilkada tersebut.
Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik