Rangkaian panjang persidangan Jessica atas kasus meninggalnya Mirna Salihin usai sudah, setidaknya untuk episode pengadilan tingkat pertama ini. Hakim memutuskan Jessica bersalah dan karenanya harus membayar dengan 20 tahun kemerdekaannya.
Saya tidak memiliki kapasitas, juga niat, untuk menilai adil atau tidaknya keputusan tersebut. Tetapi ada hal yang cukup mengganggu dan menurut saya menuntut perhatian kita: bias maskulinitas hegemonik (hegemonic masculinity) dalam keputusan itu.
Apa itu Maskulinitas Hegemonik
Dalam terminologi umum, maskulinitas (masculinity) berkaitan dengan kepemilikan kualitas-kualitas tradisional yang terasosiasikan dengan kejantanan. Sementara di dalam studi gender, maskulinitas adalah hal bagaimana masyarakat mendefinisikan standar kelelakian, yakni kualitas-kualitas apa saja yang dituntut untuk dimiliki agar termasuk di dalam kategori “lelaki sejati” dan apa yang bukan. Bicara maskulinitas adalah bicara tentang relasi gender. Ia tidak ekuivalen dengan laki-laki melainkan peduli pada posisi laki-laki di dalam gender order.
Gender order adalah pola relasi kuasa antara maskulinitas dan femininitas yang terjadi meluas di masyarakat; atau cara masyarakat membentuk gagasan maskulinitas dan femininitas melalui relasi kuasa.
Maskulinitas adalah gagasan terkait standar ideal kelelakian yang merupakan produk relasi sosial. Ia dihasilkan dengan cara menarik demarkasi atas apa yang termasuk dan apa yang tak di dalam ruang hubungan antara berbagai kelompok seks. Maka maskulinitas berkonsekuensi pada pendefinisian terhadap kelompok seks lain, perempuan (femininitas) dan kelompok yang memiliki bentuk biologis serupa para “lelaki superior” tetapi ekspresi kultural di dalam keseharian hidupnya lebih mirip kaum perempuan; atau mereka yang memiliki orientasi seks berbeda (transgender dan homoseksual). Jadi maskulinitas adalah gagasan sosial, produk kebudayaan yang membagi dunia sosial atas apa yang seharusnya maskulin, bagaimana itu feminin, serta yang mana yang berada di antaranya.
Maskulinitas (juga femininitas) ditegakkan di dalam relasi kuasa, tetapi tidak selalu melibatkan instrumen koersif. Seringkali gagasan maskulinitas justru mendapat dukungan luas dan terus bertahan oleh karena peran instrumen persuasif. Pada titik inilah, konsep maskulinitas bertemu dengan konsep hegemoni.
Hegemoni adalah gagasan utama Antonio Gramsci, seorang Marxis Italia, dalam menjelaskan bagaimana kapitalisme bisa bertahan. Dalam wacana Gramscian, kelas penguasa membangun dan mempertahankan dominasinya –juga sistem ekonomi dan politik yang menguntungkannya— tidak hanya menggunakan alat kekerasan yang dimiliki negara (hukum, tentara, polisi, penjara, dan paramiliter) tetapi juga oleh kemampuannya memaksakan cara pandang masyarakat atas situasi dan kondisi, isu-isu yang dibahas, cita-cita kolektif, hingga moralitas yang diterima publik. Hegemoni adalah proyek kekuasaan yang dijalankan dengan alat utama berupa lembaga-lembaga penghasil dan penyebarluas nilai-nilai. Lembaga agama, lembaga pendidikan, keluarga dan media massa adalah contohnya.
Adanya hegemoni memungkinkan masyarakat menerima sistem sosial-ekonomi-politik, kondisi-kondisi yang menjadi konsekuensinya, serta kekuasaan kelas atau kelompok sosial tertentu sebagai hal yang normal dan alamiah.
Maka Hegemoni maskulinitas adalah kondisi kokohnya maskulinitas di dalam gender order yang dihasilkan melalui mobilisasi beragam instrumen persuasif.
Pengambil keuntungan dan pelaku dari maskulinitas hegemonik tidak selalu harus kaum lelaki. Misalnya ketika begitu banyak industri bertempur membangun ideal maskulin sebagai yang bercukur rapih, penyuka mobil sport, peminum energy-drink, dan lain-lain, bukanlah kaum lelaki yang mendapat keuntungan dari itu, tetapi industri penghasil produk-produk terkait. Demikian pula ketika feminin didefinisikan sebagai perempuan berkulit putih bersih, adalah industri komestik yang mengambil keuntungan.
Bau Maskulinitas Hegemonik dalam kasus Mirna-Jessica
Contoh kondisi maskulintas hegemonik di dalam kasus Jessica-Mirna adalah penggunaan istilah gentleman’s cocktail. Hal ini pertama kali muncul di dalam kesaksian Marlon Alex, pelayan Kafe Oliver pada persidangan Rabu 20 Juli 2016. Marlon mengaku heran ketika Jessica memesan koktail bernama Old Fashioned dan Sazerac, karena menurutnya, kedua minuman itu tergolong gentleman’s cocktail.
Di dalam pandangan Marlon, koktail yang mengandung alkohol tinggi adalah koktail kaum lelaki.
Keterangan Marlon segera menjadi berita dengan bunyi hampir seragam pada berbagai media massa. “Selain Kopi untuk Mirna, Jessica Pesan Koktail Minuman Pria” (Tempo.co); “Dua Cocktail Pesanan Jessica Beralkohol Tinggi, Bartender Heran” (Suara.com); “Jessica Minum Cocktail Beralkohol Tinggi Sebelum Mirna Tewas” (Viva.co.id); “Jessica Minum Koktail Beralkohol 40 Persen, Biasa Dikonsumsi Pria” (Okezone.com); “Aneh, Jessica Pesan Minuman Coktail Berkadar 40 Persen Alkohol” (bangka.tribunnews.com); “Pelayan Cafe Olivier Bilang Minuman yang Dipesan Jessica Masuk Kategori Aneh” (jateng.tribunnews.com); “Mirna Pesan Kopi Vietnam, Jessica Pilih Minuman Beralkohol Tinggi” (monitorday.com).
Terakhir, pada sidang pembacaan keputusan kasus ini, 27 Oktober 2016, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di dalam membacakan amar putusannya kembali menyinggung soal “koktail lelaki” ini.
Di balik kesaksian Marlon, pemberitaan media, dan pertimbangan hakim tentang koktail berjenis kelamin lelaki, terdapat konstruksi maskulinitas berupa: pertama, lelaki (yang maskulin) adalah penikmat minuman berkadar alkohol tinggi; kedua, perempuan (yang feminin) seharusnya memesan koktail dengan kadar alkohol rendah.
Ketika konsumsi minuman berkadar alkohol tinggi menjadi parameter maskulinitas, maka konsekuensinnya: pertama, yang tidak terbiasa mengonsumsi alkohol kadar tinggi tidak jantan; dan kedua dua, yang bukan maskulin tidak pantas mengonsumsi alkohol kadar tinggi.
Maka mereka yang bukan termasuk di dalam kelompok maskulin, tetapi mengonsumsi minuman beralkohol tinggi, adalah para penyimpang, pelanggar norma, perusak tatatan. Ketika satu jenis norma bisa mereka langkahi, sangat terbuka kemungkinan norma lain juga dengan mudah dilanggar, termasuk norma untuk tidak membunuh kawan whatsapp-mu.
Inilah konstruksi nilai yang menghegemoni para penganut –baik yang sadar dan berkepentingan serta mengambil untung dari itu, pun yang hanya karena terhegemoni oleh—ideologi maskulinitas di dalam kasus Mirna-Jessica.
“Wow, Jessica memesan koktail beralkohol tinggi, Gentleman’s Cocktail. Ini tidak normal, tentu ia bukan perempuan baik-baik, dan yang bukan perempuan baik-baik sangat patut diduga pembunuh.” Demikian jika beragam berita media massa tentang kesaksian Marlon ini kita ringkaskan ke dalam satu paragraf.
Benar bahwa konstruksi maskulinitas hegemonik ini bukan penentu keputusan Jessica bersalah, tetapi meski kecil hal ini turut mempengaruhi subjektivitas hakim dalam mengambil keputusan dan publik dalam memberikan penilaian.
Hakim, wartawan dan redaktur media, serta pelayan kafe adalah korban konstruksi maskulinitas hegemonik, tetapi dengan publisitas kasus ini, mereka –terutama media massa—sadar ataupun tidak, berperan sebagai instrumen hegemoni maskulinitas.
***
Di luar kasus Jessica-Mirna ini, kita dapat dengan mudah menemukan banyak contoh maskulinitas hegemonik. Misalnya yang masih hangat diperdebatkan publik, setidaknya pada media sosial: kebijakan Komisi Penyiaran Indonesia agar pihak televisi memburamkan bagian dada dan area sekitar pinggul di saat menayangkan atlet perempuan. Adalah konstruksi maskulinitas yang menempatkan dada dan wilayah sekitar pinggul perempuan sebagai objek yang “mengganggu perhatian” dan karena itu perlu diburamkan. Praktik media massa berdampak membentuk dan memperkuat konstruksi tersebut.
Bahwa KPI mengeluarkan kebijakan tersebut bukan berdasarkan desakan kaum lelaki, tetapi kekuatan politik tertentu atau organisasi agama tertentu, bukan soal, karena inti dari maskulinitas bukan soal lelaki, tetapi soal pendefinisian maskulinitas dan femininitas dalam masyarakat. Sebagian lelaki tentu diuntungkan oleh kondisi ini, sebagian lagi mungkin dirugikan, namun dapat dipastikan sebesar-besarnya perempuan menjadi korban dari kondisi ini.
Saat artikel ini menjelang akhir, host acara kuis di televisi mengajukan pertanyaan, siapakah yang paling rentan terkena dampak banjir? Lelaki atau perempuan. Sang presenter kemudian menyampaikan jawaban yang benar: “laki-laki”, disertai alasan, “karena lelaki, sesuai kodratnya lebih sering berada di luar rumah, dan kodratnya juga kaum lelaki adalah pencari nafkah.” Begitulah, bias maskulinitas ada di mana-mana. Pada media massa, hampir setiap jam tayangan, pun di setiap halaman tergelar kita akan menemukannya. [George Hormat/Berdikari Online]