JAKARTA, PB - Angka pernikahan usia dini atau di bawah 18 tahun di Indonesia masih terbilang sangat tinggi. Di Asia Tenggara, Indonesia menempati urutan kedua setelah Kamboja.
Gerakan internasional Girls Not Brides menyebut satu dari tujuh perempuan Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun. Sedangkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 menyebutkan, perkawinan di bawah usia 18 tahun di Indonesia mencapai 23 persen.
Pernikahan usia dini ini tidak bisa dibiarkan. Sebab, ada banyak dampak negatif yang bisa ditimbulkan, khususnya bagi perempuan. Apa saja itu?
Menurut sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Partini, perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berpotensi keguguran, anak dan ibu rentan terhadap penyakit, kualitas anak yang dilahirkan rendah, gizi buruk dan putus Sekolah.
Disamping itu, lanjut Partini, pernikahan usia dini juga membawa risiko menurunnya kesehatan reproduksi, beban ekonomi yang makin bertambah berat, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan bunuh diri.
Lebih lanjut, Guru Besar Fisipol UGM ini menjelaskan, pernikahan dini marak terjadi karena faktor rendahnya tingkat pendidikan antar kedua pasangan, tuntutan ekonomi, sistem nilai budaya, pernikahan yang sudah diatur dan seks bebas.
Selain itu, ujar Partini, pernikahan dini juga terjadi karena anggapan sebagian masyarakat bahwa pernikahan dini merupakan faktor keturunan.
“Nikah dini sebenarnya hasil dari pola pikir yang kurang rasional. Nikah dini dianggap sebagai jalan keluar dari persoalan hidup, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Bahkan, nikah dini dianggap jalan keluar dari pergaulan bebas remaja,” kata Partini di Yogyakarta, Kamis (27/10/2016).
Bagaimana mencegah pernikahan dini itu?
Menurut Partini, pernikahan dini bisa dicegah dengan memberikan penyadaran anak laki-laki dan perempuan sejak menginjak usia remaja atau memasuki usia pendidikan SMP.
Sebab, kata dia, usia itu merupakan masa transisi dimana sang anak suka meniru dan suka mencoba pada hal-hal yang baru. Umumnya, anak remaja masih tergantung pada lingkungan sosialnya dan belum mampu mandiri, tetapi sudah ingin dilepas oleh orang tuanya untuk belajar mandiri. [Mahesa Danu/Berdikari Online]