Oleh Kusno*
Pilkada bukan sekedar perkara memilih pemimpin. Lebih dari itu, Pilkada menjadi mekanisme politik untuk membuat bangsa lebih maju, agar semakin dekat pada cita-cita nasionalnya: masyarakat adil dan makmur.
Karena itu, momentum Pilkada harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Di situlah kesempatan rakyat memilih pemimpin daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) terbaik. Bukan hanya baik dari laku pribadinya, yang bersih, bijaksana dan merakyat, tetapi juga sanggup menghadirkan kebijakan politik yang betul-betul melayani dan memajukan perikehidupan rakyat banyak secara ekonomi, politik dan sosial-budaya.
Namun, praktik Pilkada selama ini belum mewujudkan impian itu. Selama ini, Pilkada masih sebatas kontestasi politik bagi pemburu jabatan politik. Jangan heran, selepas Pilkada dihelat, yang datang justru berlapis-lapis kekecewaan karena janji kampanye yang dikhianati, pemimpin terpilih terjerat korupsi, dan hadirnya kebijakan-kebijakan politik yang merugikan rakyat banyak.
Itu belum seberapa. Hari-hari ini kita menyaksikan isu SARA mencuat kembali di Pilkada. Para politisi itu, yang hanya bermodalkan nafsu berkuasa semata, sengaja menggelindingkan isu SARA untuk memukul lawan politik dan memanen dukungan.
Sialnya, politik berbasis identitas seringkali gampang dipakai untuk memanen dukungan politik. Pertama, rakyat Indonesia selama hampir setengah abad mengalami proses de-ideologisasi dan depolitisasi. Akibatnya, preferensi politik sebagian besar rakyat seringkali tidak berbasis pengetahuan politik dan ideologis, melainkan pada kesamaan identitas (kesukuan, agama, ras, gender, dan lain-lain). Apalagi, jika kesamaan identitas itu bertautan dengan kesamaan nasib: korban keterpinggiran atau marginalisasi.
Kedua, politik identitas ini merupakan jalan pintas untuk menghindar dari tuntutan menjelaskan persoalan ekonomi, politik dan sosial-budaya secara ilmiah dan berbasis data. Sebab, politik identitas hanya bermain pada wilayah emosi pemilih, bukan mengajak calon pemilihnya untuk berpikir secara kritis terhadap program-program politiknya.
Namun, politik identitas berbasis SARA ini berbahaya bagi bangunan kebangsaan kita. Kita tidak bisa menyangkal realitas bahwa bangunan kebangsaan kita didirikan di atas tiang yang banyak: suku, agama, bahasa, tradisi maupun aliran politik.
Menurut BPS, ada sekitar 1.128 suku bangsa yang hidup dari Sabang sampai Merauke. Kemudian ada 546 bahasa dan sub-bahasa. Kemudian lagi, hampir semua agama besar di dunia ada di negeri ini, ditambah ratusan aliran kepercayaan warisan nenek-moyang yang hidup di setiap daerah.
Bagaimana membangun bangsa di atas kemajemukan itu? Kalau kita berbasis etnosentrisme, jelas nation yang bernama Indonesia ini tidak mungkin berdiri. Paling-paling bangsa kecil-kecil, seperti bangsa Jawa, bangsa Melayu, bangsa Sunda, bangsa Bugis, dan lain-lain, dengan negaranya masing-masing.
Begitu juga kalau memakai dasar agama, jelas bangunan bernama Indonesia ini tidak bisa berdiri. Karena itu, salah satu konsensus yang menjadi perekat bangunan Indonesia adalah pengakuan atas kemerdekaan beragama dan berkeyakinan.
Para pendiri bangsa kita, yang paham betul dengan realitas kemajemukan itu, mengajukan sebuah perekat yang bisa menjamin bangsa ini bisa berdiri kokoh dan kuat: kebangsaan. Kebangsaan Indonesia lahir bukan hanya karena kesamaan geografis, tetapi karena didorong faktor-faktor sosiologis yang kuat: kehendak kuat untuk bersatu (imajinasi untuk hidup bersama), kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita sosial.
Indonesia ini bisa menjadi sebuah nation, antara lain, karena bisa menjadi wadah yang bisa menampung dan mengakui kemajemukan itu. Mempersatukan bangsa-bangsa yang majemuk itu di atas kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita. Itulah yang membuat Indonesia menjadi satu-satunya bangsa di dunia modern ini yang berdiri tegak di atas keragaman suku bangsa, agama dan ras tanpa menetaskan setitik darah pun. Pendeknya, Indonesia diterima sebagai proyek bersama secara sukarela.
Kemudian, untuk semakin memperkokoh bangunan kebangsaan itu, para pendiri bangsa kita memberinya dasar yang kokoh, yakni Pancasila. Pancasila ini yang menjadi pandangan hidup sekaligus pedoman dalam kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan negara. Kemudian juga, keragaman itu juga dijahit dengan sebuah semboyan: Bhineka Tunggal Ika.
Sudah begitu, kebangsaan kita ini bukan kebangsaan yang sempit alias chauvinis. Kebangsaan kita sadar bahwa tanah-air dan bangsa bernama Indonesia ini hanyalah satu bagian kecil dari tanah-air dan bangsa besar bernama dunia/umat manusia. Karena itu, seperti berulangkali ditegaskan Sukarno, “nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan.”
Saya ingat pesan Sukarno menjelang pemilu 1955: jadikanlah pemilu sebagai ajang konsolidasi nasional kita. “Pilihlah orang-orang yang benar-benar mengabdi kepada Rakyat-Indonesia dan Tanah-air Indonesia, bukan kepada kepentingan asing atau kepada kepentingan diri sendiri atau kepentingan golongan sendiri,” kata Bung Karno.
Jadi, kembalikanlah Pilkada pada semangat yang tepat: untuk memilih pemimpin yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. Jangan biarkan Pilkada menjadi alat memecah-belah bangsa kita. Dan itu hanya mungkin kalau: pertama, setiap kandidat, partai politik dan pendukung/relawannya mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan sempit golongannya; dan kedua, mengutamakan kampanye program-program politik yang realistis dan terukur. Mari menyambut Pilkada dengan akal sehat!
*Anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)