Oleh Raymond Samuel*
Membayangkan dunia yang adil, dimana manusia mengatur kehidupannya sendiri, sudah hampir menjadi cerita fiksi hari ini. Jangankan itu, negara saja sudah nyaris tidak hadir mengatur kehidupan warganya.
Sekarang ini takhta kekuasaan dunia dipegang oleh korporasi transnasional. Banyak pemerintahan negara berdaulat bertekuk lutut di bawah kekuasaannya. Termasuk di Indonesia. Tidak percaya?
Lihat bagaimana pemerintah membela mati-matian proyek reklamasi, terutama proyek reklamasi di Jakarta dan Bali, kendati itu merugikan rakyat banyak dan berpotensi membawa bencana ekologis.
Lebih terang lagi dalam kasus konflik agraria. Dalam banyak kasus konflik agraria, pemerintah selalu memihak korporasi. Tidak peduli petani atau masyarakat adatnya punya hak/bukti pemilikan yang kuat. Kalau petani melawan, pemerintah akan mengirimkan aparat keamanana negara (TNI/Polri) untuk mengusir petani.
Sekarang ini juga, hampir semua urusan publik sudah diserahkan kepada korporasi: pendidikan, kesehatan, angkutan umum, air bersih, layanan listrik, dan lain-lain. Barang-barang yang dulu dianggap milik bersama pun sekarang dikuasai korporasi: hutan, sumber air, energi, keanekaragaman hayati, pulau-pulau dan lain-lain.
Ironisnya, kalau korporasi melanggar HAM atau merusak lingkungan, mereka seolah menikmati impunitas. Mana ada penguasaha, apalagi pemilik perusahaan transnasional, yang diseret ke penjara karena melanggar HAM atau merusak lingkungan.
Sekarang ini, perusahaan transnasional sudah menjadi pemain ekonomi-politik yang dominan. Mereka sudah melebihi negara. Seperti diungkap oleh data Global Justice Now baru-baru ini, pendapatan 10 korporasi terkaya di dunia melebihi pendapatan 180 negara termiskin di dunia. Bukan main, 180 negara, coy!
10 korporasi teratas itu meliputi Walmart, Apple, Shell, Sinopec, State Grid, ExxonMobil, British Petroleum, China National Petroleum, Toyota Motor dan Volkswagen.
Kemudian, dari 100 entitas ekonomi paling kaya di dunia, 69 diantaranya merupakan korporasi dan hanya 39 negara bangsa.
Nah, bayangkan kalau perjanjian perdagangan bebas semacam TPP (Trans-Pasific Partnership) dan Transatlantic Trade and Investment Partnership (TTIP) berlaku. Kedua perjanjian ini punya mekanisme untuk melindungi investasi. Bayangkan, korporasi bisa menyeret negara ke arbitrase internasional atau melalui mekanisme investor-State Dispute Settlement (ISDS) jika negara bersangkutan membuat regulasi yang merugikan investor.
Korbannya sudah banyak. Tahun 2012, perusahaan energi asal Swedia, Vattenfall, menggugat pemerintah Jerman senilai 5 milyar USD karena kebijakannya menghentikan penggunaan energi nuklir. Di tahun 2012 juga, perusahaan pengolah limbah asal Perancis, Veolia, menggugat pemerintah Mesir sebesar 110 juta USD karena kebijakan negeri itu menaikkan upah minimum dan memperbaiki UU ketenagakerjaannya. Atau yang lain, korporasi rokok raksasa Philip Morris menggugat pemerintah Australia sebesar 50 juta USD karena kebijakan melarang merek dagang di pembungkus rokok.
Atau seperti dilaporkan oleh BuzzFeed News pada akhir Agustus lalu, rupanya ISDS tidak kebal dari intervensi investor. Dalam artikel berjudul The Court That Rules The World, Chris Hamby, seorang wartawan investigasi BuzzFeed News di Washington, mengungkap bagaimana investor bisa membeli keputusan ISDS.
Contohnya, seorang miliarder real estate di Dubai, Uni Emirat Arab, sempat mendekam di penjara lantaran investasinya jutaan dolar merugikan masyarakat di Mesir. Akhirnya, kasus ini diproses ISDS dan miliarder tersebut pun dibebaskan.
Di El Salvador, sebuah pabrik diketahui mencemari desa. Termasuk membawa bencana kepada sejumlah warga dan anak-anak. Pemerintah setempat kemudian memutuskan perusahaan itu bersalah dan dikenai sejumlah kewajiban. Eh, oleh ISDS perusahaan itu dibebaskan dari kesalahan dan kewajibannya.
Nah, bagaimana mengatasi impunitas korporasi itu?
Jadi, sejak tahun 2014 lalu, sejumlah negara berjuang untuk mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengadopsi sebuah perjanjian yang mengatur aktivitas korporasi multinasional agar tidak melanggar HAM dan merusak lingkungan. Diharapkan nantinya, perjanjian ini bisa mengakhiri impunitas yang dinikmati korporasi tersebut.
Proposal ini dimotori oleh Ekuador, yang didukung oleh negara-negara Amerika Latin, Asia dan Afrika. Pada Juli 2014, Komisi PBB untuk urusan HAM (UNHRC) telah mengadopsi sebuah instrumen yang mengikat secara hukum internasional untuk menyeret korporasi pelanggar HAM.
Sejak 2015 lalu, sebuah grup kerja di PBB yang diketuai oleh Ekuador sedang mendiskusikan cakupan dan isi dari perjanjian untuk mengontrol aktivitas korporasi trannasional itu. Rencananya, pada bulan Oktober ini, grup kerja tersebut akan bertemu kembali.
Hanya saja, kendati disokong oleh banyak negara, proposal yang diusung Ekuador ini ditolak mentah-mentah oleh negara kapitalis maju. Terutama Inggris. Karena itu, Global Justice Now meluncurkan sebuah kampanye sekaligus petisi untuk menekan pemerintah Inggris agar mendukung proposal tersebut.
Minggu lalu, Ekuador mengumpulkan 20 negara Amerika Latin untuk membahas isian sekaligus menyelesaikan draft perjanjian itu. Nantinya, draft itu akan dibawa ke PBB.
Kita berharap, perjuangan Ekuador dan kawan-kawan bisa menuai kemenangan. Dan tentu saja, kita menginginkan pemerintah Indonesia turut mendukung penuh perjuangan tersebut. Karena, bagaimanapun, Indonesia juga berkali-kali menjadi korban kejahatan korporasi transnasional. Semoga!
*Kontributor Berdikari Online