DENGAN alasan guna mengatasi krisis listrik, menarik minat investor menanamkan modal, lapangan kerja baru dan meningkatkan daya saing daerah, Pemerintah Provinsi Bengkulu mengawal penuh berdirinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Pelabuhan Pulau Baai. Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti sendiri yang melakukan peletakan batu pertama. Ia disertai oleh Chairman PowerChina, Yan Ziyong, perwakilan dari Sinohydro sebagai kontraktor, Direktur Komersial dan Pengembangan Bisnis Pelindo II Saptono Irianto dan Presiden Direktur PT Intraco Penta, Tbk, Halex Halim.
PLTU ini akan dibangun selama 36 bulan. Sebelumnya, proyek yang sama telah dibangun di Batam namun dengan kapasitas yang lebih kecil, yakni sebesar 2×65 MW. Tidak seperti di Bengkulu, proses pembangunan di Batam lebih lama, sejak 2005 dan selesai pada 2012 karena kendala perizinan dan lahan. Saham PLTU ini 70 persen dimiliki PowerChina. Lalu 30 persennya dikuasai PT Intraco Penta, Tbk melalui anak usahanya PT Inta Daya Perkasa. Proyek ini dibangun dengan uang sebesar 360 juta US Dollar. Dipinjam dari Exim Bank China dan ICBC senilai 270 juta US Dollar.
Guna menggerakkan PLTU ini, pengembang berkomitmen untuk memasok batubara sebanyak kisaran 1 juta ton se tahun dari usaha pertambangan yang ada di Bengkulu. Dengan komitmen menggunakan pembangkit ramah lingkungan, hasil listrik ini akan dipasok di Kota Bengkulu, Seluma, Bengkulu Tengah dan sekitarnya. Diketahui, PT PLN telah membuat perjanjian jual-beli listrik alias power purchase agreement (PPA) dengan PT Tenaga Listrik Bengkulu pada November 2015 yang lalu dengan harga 7 sen US Dollar per kwh atau kisaran seribu rupiah. Proyek yang akan dikerjakan oleh Sinohydro, perusahaan asal Cina itu, ditarget beroperasi pada 2019.
Benarkah kehadiran PLTU di Bengkulu akan mampu menggerakkan roda perekonomian dan mensejahterakan rakyat?
Wakil Presiden RI pertama, Mohammad Hatta, mengenai hal ini telah mengingatkan, masalah modal memang adalah hambatan untuk memajukan industrialisasi di Indonesia. Sebab, rakyat tidak punya modal. Tapi kalau industrialisasi akan dijadikan jalan untuk memakmurkan rakyat, kata Bung Hatta, maka mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau pemerintah. Sebab, kalau modal membangun industri itu dari luar, maka tampuk produksi terpegang oleh orang luaran.
Tentu ketika orang bersedia menanamkan investasinya dalam skala besar, Bung Hatta melanjutkan, mereka berharap untung besar. Hasilnya pun tidak dipakai untuk mengembangkan industrialisasi bagi Indonesia, melainkan hanya mengadakan pabrik-pabrik baru menurut keperluan modal luar itu saja. Apalagi mengingat besarnya resiko yang akan menimpa modal yang akan dipakai itu. Industrialisasi dengan bantuan kapital asing hanya mungkin, apabila pemerintah ikut serta dengan aktif, dengan mengadakan rencana yang dapat menjamin keselamatan modal asing itu.
Dari situ jelas, bahwa belum ada jaminan datangnya kesejahteraan bilamana PLTU itu berdiri. Pertanyaannya, sanggupkah Bengkulu membangun PLTU sendiri? Bung Hatta mempunyai jawaban soal itu, yakni memperkuat pasar internal, meningkatkan daya beli rakyat dengan transmigrasi dan mengumpulkan modal dengan model koperasi. Dengan koperasi, modal rakyat yang kecil-kecil bisa disatukan, dan dengan demikian, bisa dikembangkan sesuai bidang produksinya.
Mungkin saja konsepsi Bung Hatta itu dinilai terlalu idealis. Tapi Bung Karno, Presiden RI pertama, mampu membuktikan bahwa Indonesia bisa menjalankan dan mengembangkan industrinya sendiri. Bisa dilihat dari berdirinya Pertamina pada tahun 1957 silam. Bung Karno bahkan telah mempersiapkan pembangunan industri dasar, yakni melalui pembangunan industri baja dan semen, meski akhirnya kembali mentah dengan kudeta berdarah.
Pendirian PLTU dengan modal luar itu sebenarnya telah mencibir Pasal 33 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang memerintahkan agar bumi dan air harus dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebab, bukankah listrik adalah usaha yang menyangkut rakyat banyak? Namun, bila PLTU itu kita bangun dengan modal kita sendiri, betapa makmurnya rakyat mengingat bahwa Bengkulu merupakan salah satu penghasil batubara yang produktif di Sumatera.
Kesejahteraan rakyat juga memungkinkan terjadi atas pendirian PLTU itu bila beberapa skema dijalankan. Misalnya, setelah 10 tahun, PLTU itu akan jadi milik pemerintah. Lalu 80 persen tenaga kerja PLTU itu merupakan putra-putri terbaik Indonesia yang diletakkan dalam posisi yang strategis di perusahaan. Kemudian adanya skema transfer teknologi dari pemilik perusahaan kepada pihak Indonesia. Sayangnya, kita tidak pernah mendengar skema-skema semacam ini disampaikan oleh pemangku kepentingan di Bengkulu.