JAKARTA, PB - Peringatan Hari Pangan Sedunia, yang jatuh pada tanggal 16 Oktober, dibayang-bayangi oleh kekhawatiran dunia akan ancaman bencana kelaparan.
Menurut laporan Global Hunger Index tahun 2016 yang baru dirilis pada bulan ini, masih terdapat 795 juta orang (10,6 persen dari jumlah penduduk bumi) yang tidur dalam keadaan lapar. Di sisi lain, WHO menyebutkan bahwa terdapat 1,6 miliar orang yang kelebihan berat badan dan 600 juta orang mengalami obesitas.
“Ini artinya kelaparan terjadi bukan karena tidak cukupnya produksi pangan di seluruh dunia, melainkan disebabkan oleh ketimpangan distribusi pangan, ketidakmampuan memproduksi (ketiadaan tanah untuk menanam) serta ketidakmampuan untuk membeli pangan,” kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, Minggu (16/10/2016).
Sementara itu, seiring dengan gejolak harga pangan dunia, harga bahan-bahan pangan di tingkat konsumen di dalam negeri rata-rata mengalami tren kenaikan secara konstan selama delapan tahun terakhir.
Berdasarkan data SPI, selama 2009 – 2016, harga beras naik 58,65 persen, harga kedelai impor naik sebesar 36,3 persen, harga telur ayam ras mencapai kenaikan 80,6 persen, harga gula pasir naik 68,4 persen, harga bawang merah naik 168 persen, harga daging sapi naik 90,4 persen.
Impor Melambung
Kebijakan impor pangan masih berlanjut dengan dalih untuk mengendalikan harga pangan. Impor pangan terus meningkat tajam. Impor beras yang sempat turun di tahun 2013, kembali naik di sepanjang tahun-tahun berikutnya.
“Hingga Juli 2016 saja, angka impor beras telah menembus 1,09 juta ton melampaui impor beras sepanjang tahun 2015 sebesar 0,86 juta ton,” tutur Henry.
Selain beras, Jumlah impor gandum terus meningkat. Sejak Januari hingga Juni 2016 saja, angka impor gandum telah menembus 5,85 juta ton. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memperkirakan impor gandum Indonesia tahun 2016 akan mencapai angka 8,10 juta ton.
“Dengan impor sebanyak itu, Indonesia merupakan importir gandum terbesar nomor dua di dunia setelah Mesir yakni 11,50 juta ton,” katanya.
Impor kedelai turut meningkat dari 5,77 juta ton pada 2012 menjadi 6,41 juta ton di tahun 2015, meski sempat turun di tahun 2013. Sama halnya dengan impor jagung yang naik secara konstan sepanjang 2012 hingga 2015 sebesar 84 persen, dari 1,92 juta ton menjadi 3,5 juta ton.
Jumlah Petani Berkurang
Di balik gencarnya upaya Kementerian Pertanian mendorong produksi pangan, jutaan petani malah meninggalkan profesinya. Dalam dua tahun terakhir jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian turun sebesar 2,54 juta orang (6,22 persen) dari 40,83 juta pada Februari 2014 menjadi 38,29 juta orang pada Februari 2016.
Menurut Henry, berkurangnya jumlah petani tersebut disebabkan tiga faktor. Pertama profesi petani tidak mampu dijadikan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga beralih ke profesi lain. Kedua, petani terpaksa meninggalkan profesi petani dikarenakan tidak lagi memiliki lahan pertanian untuk diusahakan, baik itu disebabkan pengusiran akibat konflik agraria maupun desakan ekonomi untuk menggadaikan atau menjual tanahnya. Ketiga, buruh tani harus tersingkir akibat kebijakan mekanisasi pertanian yang gencar dilakukan oleh kementerian pertanian.
“Ketiga faktor tersebut tersebut memiliki akar permasalahan yang sama, yakni tidak adanya jaminan perlindungan dari negara terhadap petani,” tegas Henry.
Henry menerangkan, minimnya perlindungan harga terhadap petani pangan, khususnya padi dapat dilihat dari kebijakan HPP yang ditetapkan pemerintah. Penetapan HPP selama ini dianggap tidak layak karena tidak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani. Akibatnya, terdapat disparitas harga yang jauh antara HPP dan harga jual petani.
“Sepanjang tahun 2008 hingga 2016, penetapan HPP hanya naik 68,1 persen, dari Rp.2.200/Kg menjadi Rp.3.700/Kg. Sementara aktual di lapangan, naiknya harga-harga input pertanian telah mendongkrak harga jual padi sebesar 97,6 persen, dari Rp.2.792/Kg menjadi Rp.5.518/Kg. Sehingga kebijakan HPP tidak signifikan dalam memberikan jaminan harga, karena tidak sesuai dengan kondisi aktual yang dihadapi petani di lapangan,” paparnya.
Kembali ke Hakikat Kedaulatan Pangan
Jargon kedaulatan pangan yang kini didengungkan pemerintah telah mengingkari makna hakiki dari konsep kedaulatan pangan. Berbagai kementerian berlomba-lomba menggembar-gemborkan kedaulatan pangan, tanpa memahami makna sejatinya kedaulatan pangan.
Pada akhirnya, arah kebijakan yang diambil tak jauh dari aroma kepentingan modal dan pasar, hanya menyematkan kata ‘kedaulatan pangan’ yang telah dimanipulasi. Untuk menggenjot produksi pangan, Kementerian Pertanian berambisi untuk melanjutkan mega proyek food estate dan serangkaian kebijakan untuk menggelar investasi agribisnis di sektor pangan.
Kementerian Perdagangan terus membuka keran impor pangan meski tidak pernah terbukti mampu menurunkan harga pangan. Bulog semakin berambisi menjadi importir pangan layaknya kartel impor pangan dan tercerabut dari akar sejarahnya. Sementara Kemenko Perekonomian dan kementerian lainnya hanya memandang urusan pangan semata-mata soal inflasi dan stabilitas politik.
“Hal inilah yang menyebabkan rangkaian peristiwa terus meningkatnya impor pangan, harga-harga pangan yang kian melambung serta terus berkurangnya jumlah petani,” tegas Henry.
Henry menyampaikan, sudah selayaknya pemerintah menegaskan kiblatnya dalam urusan kebijakan pangan, menghadap kepentingan pasar (neoliberal) atau kedaulatan pangan yang sejati.
“Jangan memanipulasi rakyat dengan slogan kedaulatan pangan, namun arah yang dituju adalah sebaliknya (berlawanan arah),” lanjutnya.
Oleh karena itu, Henry mengharapkan pemerintah dan jajaran kabinetnya untuk mengoreksi kesalahan atas kebijakan yang dijalankan saat ini.
Menurutnya, pemerintah harus letakkan petani sebagai tulang punggung tegaknya kedaulatan pangan. Dengan demikian, segala kebijakan untuk mewujudkan kedaulatan pangan harus utamakan kesejahteraan keluarga petani pangan dan menjauhkan perusahaan agribisnis untuk menguasai sektor pangan.
“Reforma agraria sejati harus dijalankan, redistribusikan tanah kepada petani kecil tak bertanah, terutama kepada petani pangan. Ini janji Jokowi-JK saat kampanyenya,” tandas Henry.
Dia juga mendesak agar praktek pertanian agroekologi yang ramah lingkungan dimassifkan untuk menciptakan kemandirian petani dan melepaskan petani dari kartel perusahaan input pertanian.
“Segera bentuk Badan Pangan Nasional (amanat UU No. 18/2012 tentang pangan) yang mencerminkan peran dan kewenangan yang sesuai dengan mandat untuk mewujudkan kedaulatan pangan,” tutup Henry. [MD/Berdikari Online]