Sejak di mulainya peradaban maritim modern di dunia, muncul pula teori tentang aturan hukum laut dalam rangka mendefinisikan batasan-batasan ruang laut dalam kaitannya dengan eksistensi negara dan bangsa.
Hugo De Groot (Hugo Grotius), yang di anggap sebagai bapak hukum internasional modern pada tahun 1609, melahirkan konsep Mare liberum, yaitu bahwa laut tidak bisa di kuasai oleh suatu negara, dengan demikian ruang lautan sifatnya adalah bebas dengan tidak ada suatu negara yang memiliki kedaulatannya atas laut
Namun demikian, pemikiran Grotius ini jika di analisis sangat sarat akan kepentingan kolonialisme Belanda untuk membenarkan aktivitas ekspedisi yang kemudian bertransformasi menjadi ekspansi dan melakukan kolonisasi. Maka dengan dasar pemikiran teori hukum tersebutlah Belanda berhasil membenarkan perjalanannya melalui laut untuk masuk ke nusantara dan melakukan kolonialisasi yang awalnya berbentuk kongsi dagang VOC.
Namun ironisnya, pada saat Belanda mulai menguasai jaringan pelayaran di nusantara kemudian meninggalkan konsep lamanya Mare Liberium (laut terbuka) dan membuat suatu konsep baru tentang ruang laut Mare Causum (laut tertutup) dan melarang selain bangsa Belanda untuk melakukan aktifitas pelayaran, termasuk pelaut pribumi, karena hindia belanda adalah wilayah jajahannya.
Dengan konsep laut tertutup inilah VOC melakukan kontrol yang ketat atas ruang laut daerah koloninya dan berhasil melumpuhkan aktivitas pelayaran di nusantara, yang oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik dicerikatakan begini:
“Kekuatan dan kesatuan maritime nusantara pernah memecah ombak samudera damai ke utara, tetapi kemudian arus berbalik. Arus raksasa menggelombang dari utara menghempas nusantara mundur keselatan, kepedalaman yang bahkan lebih jauh lagi mundur sampai ke desa-desa kaki pegunungan.”
Dalam masa kolonialisme belanda di nusantara, terbitlah Undang-Undang hukum laut Nomor 42 tahun 1939 tentang Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (ordonansi laut territorial dan lingkungan maritime). UU ini mengatur bahwa laut teritorial hindia Belanda adalah tiga mil laut dari garis air surut pulau-pulau. Diluar dari tiga mil tersebut adalah laut internasional. Dengan demikian, laut sebagai pemisah pulau-pulau di indonesia
Semangat sumpah pemuda
Momentum Sumpah pemuda tentu merupakan kristalisasi dalam perjalanan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Jika di maknai dalam perspektif kemaritiman dan konsep negara kepualauan, maka ini adalah awal untuk mengembalikan eksitensi bangsa Indonesia sebagai sebuah entitas yang menyatu satu sama lain dengan kata: “Bertanah air satu: Tanah air INDONESIA”.
Ide mengeni pengintegrasian wilayah daratan dan lautan dapat di runut melalui sejarah mengenai konsep “tanah air” oleh tokoh pergerakan nasional. Salah-satunya adalah Mohammad Yamin ditahun 1920-an.
Konsep bertanah air satu jelas bukanlah bermakna sempit, yakni hanya tentang penyatuan wilayah (Nasionalisme territorial) tetapi juga menegaskan makna filosofis tentang kebangsaan seperti yang di jelaskan oleh Friederich Ratzel, bahwa “bangsa adalah kelompok manusia yang terbentuk karena adanya hasrat (kemauan) untuk bersatu yang timbul dari adanya rasa kesatuan antara manusia dan tempat tinggalnya.”
Dalam perjalanan sejarah, konsep kesatuan tanah air kembali diperjuangkan setelah Proklamasi kemardekaan Indonesia. Konsepsi kewilayahan yang menyatukan antara wilayah daratan dan lautan sebagai suatu entitas melalui deklarasi juanda tahun 1957.
Kembali Melaksanakan Visi Maritim
Presiden Soekarno dalam pidatonya saat peringatan Sumpah Pemuda di tahun 1963 menyerukan agar generasi penerus agar: “warisilah api sumpah pemuda, kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air.”
Pemerintahan Joko widodo dan Jusup Kalla sendiri punya visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Salah satu poin dari Nawa Cita adalah membangun Indonesia dari pinggirin dan menjadikan pulau di perbatasan sebagai halaman depan.
Diharapkan, gagasan-gagasan besar itu mampu menjadi titik balik untuk mewujudkan kembali semangat kesatuan tanah dan air sebagai aspek geografis dan filosofis, agar bangsa Indonesia tidak kembali di ceraiberaikan dan terjajah seperti yang terjadi pada masa kolonialisme dahulu.
Karena tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini, mulai dari aspek ketimpangan ekonomi, pemerataan pembangunan, penguasaan sumber daya alam oleh asing serta kesejahteraan antar pulau yang belum terwujud. Ini merupakan tugas mendesak untuk segara di atasi.
Memang tidaklah mudah untuk mengurai masalah yang sudah berlarut-larut, di tambah pada saat orde baru berkuasa juga terjadi sentralisasi pembangunan. Maka menjadi penting untuk kita kembali menyalakan api sumpah pemuda agar visi besar maritim dapat di selengarakan dengan gotong royong dan tidak hanya menjadi jargon saja. Karena secara teknis, konesp bertanah air juga akan mempercepat mobilitas barang, manusia, serta ilmu pengetahuan
Di samping melakukan pembangunan nasional yang mandiri, penting pula untuk menyadari bahwa dalam perjalanan sejarah nusantara ada faktor eksternal yang berkontribusi meluluhlantakkan kejayaan maritim nusantara. Maka menjadi relevan untuk saat ini, bahwa politik maritim luar negeri Indonesia harus melihat dinamamika geopolitik internasional, untuk kita intervensi dengan memperjuangakan kepentingan nasional Indonesia di kawasan dan dunia internasional.
Makbul Muhammad, Direktur Maritim Research Institute (MARIN Nusantara)