JAKARTA, PB - Dalam janji kampanyenya, Joko Widodo-Yusuf Kalla berjanji akan memperteguh kebhinekaan, menghentikan segala bentuk diskriminasi, memajukan pendidikan dan memperkuat karakter bangsa.
Tentu saja, sudah banyak hal yang dikerjakan dalam dua tahun itu. Namun, sejauh yang kita lihat, masih banyak persoalan yang belum tersentuh. Setidaknya ada tiga catatan penting di sini:
Pertama, pemerintah belum berhasil menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan
Situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di bawah pemerintahan Jokowi juga tidak memperlihatkan kemajuan. Di sana sini terjadi pelanggaran dan pengekangan terhadap penganut agama/keyakinan minoritas, seperti kasus Ahmadiyah, Syiah maupun Gafatar. Pemerintah juga tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah pelarangan pendirian tempat ibadah agama tertentu.
Catatan Setara Institut menunjukkan, pada tahun 2014, ada 134 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Sedangkan di tahun 2015 meningkat menjadi 197 kasus. Ini tidak berbeda jauh dari catatan Wahid Institute, peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang tahun 2015 mencapai 190 peristiwa dengan 249 tindakan. Jumlah ini naik 23 persen dibanding tahun 2014, yang mana jumlah peristiwa yang dilaporkan 158 peristiwa dengan 187 tindakan.
Tidak hanya itu, seperti ditulis di Review Periodik Universal (UPR) Komnas HAM, penganut kepercayaan leluhur, seperti Parmalin dan Sunda Wiwitan, terkadang masih dipersulit dalam pengurusan administrasi kependudukan.
Padahal, salah satu janji Jokowi-JK di Nawacita adalah keinginan memperteguh kebhinekaan Indonesia.
Kedua, belum berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa
Sekalipun soal pendidikan menjadi perhatian khusus di Nawacita, tetapi angka putus sekolah masih tinggi. Merujuk ke data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk 2015/2016 ada 946.013 orang lulusan SD yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP. Kemudian ada 51.541 orang yang tidak lulus SMP. Jadi, total ada 997.554 anak Indonesia yang hanya berstatus tamatan SD.
Ironisnya, berdasarkan survei BPS, 73 persen kasus putus sekolah itu karena faktor ekonomi keluarga. Padahal, kita tahu, pemerintah sudah punya program BOS dan Kartu Indonesia Pintar. Rupanya, dua program itu belum bisa menutupi persoalan biaya pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan nasional juga belum bergeser dari orientasi pasar. Padahal, dalam dokumen Nawacita, Jokowi hendak menjadikan pendidikan sebagai sarana pembentukan karakter bangsa. Alih-alih membangun karakter, sekolah di Indonesia hari ini masih tidak ada ubahnya dengan pabrik: ada jam kerja, disiplin kaku, relasi yang vertikal, dan lain sebagainya.
Tiga, revolusi mental hanya sebatas jargon
Revolusi mental, yang didengunkan Jokowi sejak kampanye, masih sebatas jargon belaka. Lebih parah lagi, konsep revolusi mental ala Jokowi masih abstrak: pertama, mental apa yang hendak kita babat dan mental apa yang mau dibangun; kedua, bagaimana gagasan itu dibumikan dalam praktek berbangsa dan bernegara hingga kedalam kehidupan keseharian rakyat banyak; dan ketiga, bagaimana gagasan itu dimulai.
Pada ujungnya, gagasan revolusi mental hanya berakhir sebagai proyek mengeruk uang negara melalui iklan. Uang ratusan milyar dibelanjakan hanya untuk iklan abstrak di layar televisi.
Bagi kami, ketika bicara revolusi mental, yang paling mendesak dibenahi adalah mental penyelenggara negara. Terutama mentalitas mereka yang selalu rendah diri (inferior) di hadapan bangsa asing dan ketergantungan terhadap modal asing. Tidak percaya pada kekuatan dan kemampuan bangsa sendiri. Kalau ini tidak dibabat, sampai kapanpun bangsa ini tidak akan bisa berdikari. [berdikarionline.com]