Membaca novel Pram, Bukan Pasar Malam, kita diajak merasai kegelisahan manusia revolusi pasca berakhirnya ‘revolusi fisik’ tahun 1945-1949. Saat itu, banyak manusia revolusi yang baru kembali dari gerilya merasa kecewa dengan keadaan.
Kegelisahan Pram adalah ‘kegelisahan umum’ jaman itu. Anak-anak muda, yang baru saja mempertaruhkan nyawa demi Republik, menemukan keadaan anomalis: segelintir elit bergelimang kemewahan, sementara rakyat banyak didera kesusahan.
Kegelisahan Pram ini dialami juga, misalnya, oleh Usmar Ismail. Yang terakhir ini memuntahkan kekecewaannya melalui film berjudul “Lewat Djam Malam”. Film ini bercerita tentang Iskandar, seorang pejuang revolusi yang baru ‘turun gunung’, dipaksa mencari pekerjaan sebagai syarat untuk menikahi kekasihnya.
Idealisme siapa yang tidak terganggu. Baru saja menggotong senjata demi membela negeri tercinta, tiba-tiba dipaksa berhadapan dengan mesin ketik dan kertas-kertas kerja demi mengumpulkan uang. Yang lebih menyakitkan, banyak kawan seperjuangannya yang telah berubah menjadi birokrat dan kapitalis baru.
Dalam novel “Bukan Pasar Malam”, Pram menggunakan narator “Aku” untuk menumpahkan kegelisahannya. Sedang narator yang lain, Ayah, Adik, Istriku, Paman, dan Tetangga, hanya sebagai ‘pelengkap’ cerita. Lalu, ada narator tambahan, yaitu Dukun, orang Tionghoa, Mas Mantri, dan Dik Juru, sebagai “penambah informasi”.
Pada bagian awal cerita, Pram sudah menumpahkan protes. Melalui narator “Aku”, Ia menggugat keadaan: ketimpangan di Jakarta, perbedaan hidup antara pejabat dan rakyat kebanyakan, dan demokrasi yang begitu membawa keberuntungan bagi yang ‘tak punya uang’.
Lalu, ketika dalam perjalanan pulang menumpang kereta ke kampung halaman untuk menengok sang Ayah yang terbaring sakit, Pram bercerita tentang sejumlah tempat bersejarah bagi perjuangan Republik. Di tempat-tempat itu—seperti Klender, Cakung, Kranji-Tambung-Cikarang, Lemah Abang, dan lain-lain—dulu para pejuang Republik mengorbankan nyawa, bergelimpangan, demi menghalau Belanda dan sekutu yang hendak merampas kemerdekaan kita. Sayang, sejarah resmi dan banyak orang generasi sesudah revolusi seolah “lupa” dengan pengorbanan para patriot tersebut.
Novel ini juga mengulas kompleksitas Revolusi. Di saat revolusi, keluarga tercerai-berai. Kadang-kadang diceraikan oleh perang. Tetapi tidak jarang juga, seperti kasus “Aku” dan Ayah dalam novel ini, Anak dan Ayah dipisahkan oleh sikap politik dalam Revolusi. Si Anak memilih memanggul senjata untuk melawan musuh, sementara si Ayah bekerja diam-diam demi Republik.
Strategi si Ayah ini, yang memang terasa kompromis dan tidak heroik, kerap-kali mendapatkan banyak cap: penghianat, kolaborator, dan lain-lain. Sementara di jaman Republik, orang hanya diberi dua pilihan: memihak Republik atau bekerja untuk Belanda. Namun, dalam kasus si Ayah, dia bekerja untuk Belanda, tetapi uangnya disetor ke Republik.
Kompleksitas revolusi lainnya adalah kesulitan-kesulitan menggerakkan Republik pascahengkangnya Belanda. Tentang daerah pedalaman, seperti Blora, yang masih jauh dari derappembangunan. Tentang layanan publik, seperti Rumah Sakit, yang belum bekerja dengan baik untuk melayani rakyat.
Yang menarik, novel “Bukan Pasar Malam” juga menganggap pekerjaan yang dianggap enteng di jaman Revolusi—lebih-lebih sekarang ini—yakni pekerjaan guru mencerdaskan kehidupan bangsa. Diceritakan, kendati diancam mau dibakar, sekolah tetap dibuka dan anak-anak negeri tetap harus belajar.
Dan esensi kritik dalam novel “Bukan Pasar Malam” ini ada di bagian terakhir. Melalui “tamu baru” yang tiba-tiba datang menemui “Aku” pasca meninggalnya Ayah. Tamu baru itu mengatakan, “Ayah Tuan gugur di lapangan politik.” Maksudnya, si Ayah sakit karena menyimpan banyak sekali kekecewaan terhadap keadaan sesudah kemerdekaan. Dan kritik isu terasa pedasnya di penggalan pernyataanya berikut ini:
“Rasa-rasanya tak sanggup lagi ia melihat dunia kelilingnya yang jadi bobrok itu—bobrok dengan segala akibatnya. Mereka yang dulu jadi Jenderal di daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah gerilya dan jadi bapak rakyat sungguh-sungguh. Dan bukan tanggung-tanggung ayah Tuan membela kepentingan mereka itu. Tapi kala kemerdekaan itu telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi.”
Novel ini sangat berharga bagi generasi sekarang. Di sini, Pram berbicara tentang nasionalisme, humanisme, dan idealisme manusia-manusia Indonesia pasca Revolusi Fisik. Dan karena dunia ini memang bukan pasar malam, di mana orang datang dengan satu tujuan, maka sebuah cita-cita memang harus berjuang dengan kenyataan. [Kusno/Berdikari Online]