JAKARTA, PB - Eksplorasi terus didorong untuk menemukan cadangan baru agar volume cadangan minyak Indonesia tidak merosot tajam. Tetapi tidak seluruh temuan cadangan migas tersebut memiliki nilai keekonomian untuk dikembangkan. Belum lagi biaya lifting atau operasi mengangkat minyak ke permukaan bumi semakin besar bila dibandingkan dengan harga produksinya.
Sayangnya target pemerintah untuk menaikkan jumlah produksi migas dalam negeri tidak pernah terwujud karena setiap tahunnya produksi migas mengalami penurunan. Kondisi ini sudah pasti mengancam ketahanan energi nasional karena produksi migas tidak bertambah, sementara konsumsi migas kian membesar. Selain itu, potensi pendapatan negara dari penambahan produksi migas berkurang.
Produksi migas menurun
Belum lama ini BP Statistical Review of World Energy mengungkapkan bahwa total cadangan minyak terbukti yang ada di Indonesia pada akhir 2015 terhitung sebesar 3,6 miliar barel. Memang angka ini terlihat besar, tapi jika dibandingkan dengan total cadangan minyak dunia yang berkisar 1,7 triliun barel, cadangan minyak terbukti yang dimiliki Indonesia terbilang kecil, yakni hanya 0,2%.
"Tidak tepat apabila menyebut Indonesia sebagai negara kaya minyak karena jumlah cadangan minyak yang telah terbukti hanya 0,2% dari total cadangan minyak dunia," ujar Amien Sunaryadi, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Selain itu, cadangan minyak Indonesia terus mengalami penurunan. BP Statistical Review of World Energy mencatat bahwa cadangan minyak Indonesia pada akhir 1995 mencapai 5 miliar barel. Jumlah tersebut semakin susut menjadi 4,2 miliar barel pada akhir 2005, lalu menurun menjadi 3,6 miliar barel hingga sekarang.
Karena itu, diperlukan sebuah kebijakan maupun langkah strategis agar ketahanan energi nasional tetap terjaga guna merespons terbatasnya cadangan minyak serta makin bertambahnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Kegiatan ini membutuhkan dukungan semua pihak, seperti sinergi antara sektor hulu migas dengan seluruh pihak yang terkait dalam kegiatan eksplorasi.
Masalah perizinan
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat SKK Migas, Taslim Z. Yunus menguraikan bila dalam beberapa kasus, keterlambatan pembangunan fasilitas produksi migas terjadi bukan karena alasan teknis, namun lebih banyak disebabkan permasalahan non teknis, seperti perizinan dan pembebasan lahan. "Dukungan seluruh pihak sangat diperlukan agar kendala non teknis bisa lebih diminimalkan dan proses produksi migas bisa lebih cepat terlaksana," katanya baru-baru ini.
Secara teknis, proses untuk melakukan eksploitasi pun terbilang panjang sebagaimana tertuang dalam kesepakatan kontrak kerja sama (Production Sharing Contract/PSC) dimana Kontraktor Hulu Migas menyusun rencana pengembangan wilayah kerja migas setelah berhasil menemukan cadangan migas. Perencanaan tersebut diperlukan agar cadangan migas yang terkandung di suatu wilayah kerja bisa dioptimalkan hingga jangka panjang.
Setelah pengajuan rencana pengembangan pertama atau plan of development (PoD) I disetujui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kegiatan berlanjut pada pembangunan fasilitas produksi, seperti fasilitas pemrosesan sentral (central processing facility) dan jaringan pipa. Ketersediaan infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan sangat mempengaruhi rentang waktu yang dibutuhkan untuk membangun fasilitas produksi.
"Proses produksi migas yang terlaksana tepat waktu tidak hanya menjamin ketersediaan energi di Indonesia. Kontraktor Hulu Migas atau investor pun bisa mengoptimalkan modal maupun sumber daya manusia yang dimiliki untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan untuk memperbesar jumlah cadangan migas, sekaligus meningkatkan angka produksi migas," pungkasnya. (Yn)
*Diolah dari berbagai sumber