KONTROVERSI ucapan Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama atas Surat Al Maidah ayat 51 mencapai titik didih dalam aksi damai serentak di seluruh Indonesia, 4 November 2016. Tak terkecuali di Provinsi Bengkulu. Meski mantan Bupati Belitung Timur itu akan diperiksa oleh Bareskrim Polri, Senin (6/11/2016), mendatang, langkah jutaan orang yang mendesak agar ia dihakimi tak surut ke belakang.
Ahok, demikian sapaan akrabnya, memang dikenal sebagai sosok emosional. Ia kerap ceplas-ceplos ketika berbicara. Namun pernyataannya terkait Surat Al Maidah ayat 51 sudah terlanjur menyakiti hati banyak orang. Ia pun mengakui dan meminta maaf. Pun begitu, tuntutan agar ia diproses secara hukum dan dihakimi, tetap tak berhenti.
Ucapan Ahok tentang Surat Al Maidah ayat 51 disampaikan ketika dia melakukan sosialisasi ke Kepulauan Seribu dan berdiskusi dengan warga dan pemangku kepentingan setempat, 27 Oktober 2016. Yang disosialiasikan sebenarnya tentang program koperasi usaha tambak untuk warga setempat, bukan tentang Surat Al Maidah ayat 51.
Ahok dipilih rakyat bukan sebagai Gubernur. Penganut Kristen Protestan itu dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta pengganti Joko Widodo yang menjadi presiden pada 19 November 2014. Sebelumnya, Joko Widodo juga menyerahkan jabatan Wali Kota kepada Fransiskus Xaverius (FX) Hadi Rudyatmo 19 Oktober 2012 ketika ia terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dua peristiwa yang menyebabkan perdebatan tentang politik identitas tak terelakkan. Hanya saja, polemik Ahok jauh lebih kencang ketimbang FX Hadi Rudyatmo.
Politik identitas itulah yang mengiringi kepemimpinan Ahok. Pro dan kontra terus mengemuka. Pendukung Ahok berargumen bahwa kepemimpinannya baik dan bersih. Sementara Surat Al Maidah ayat 51 menjadi dalil yang digunakan untuk menolak kepemimpinan Ahok. Aksi 4 November 2016 adalah puncak dari aksi-aksi yang sudah seringkali terjadi sejak awal Ahok memimpin. Bedanya, aksi 4 November 2016 lebih meluas, lebih massal.
Apa yang dilakukan Ahok menjadi pembelajaran penting bagi setiap pemimpin untuk menjaga ucapannya. Di sebuah negara yang menjunjung tinggi penegakkan hukum, Ahok harus diproses sesuai dengan tingkat kesalahannya. Sebelumnya, Forum Kampung Kota sudah memberikan kritik atas kesalahan Ahok.
Misalnya pertama, Ahok dikatakan menjadi penyebab angka kemiskinan di ibukota meningkat. Kedua, meningkatnya penggusuran warga miskin. Ketiga, penggunaan instrumen kekerasan dalam penggusuran. Keempat, menguatnya keberpihakan pada korporasi dalam orientasi kebijakan Pemprov DKI. Kelima, melemahnya kegiatan kebebasan berpendapat di ibukota.
Lepas dari politik identitas, lima kritik Forum Kampung Kota telah membuka tabir bahwa Ahok tak bedanya dengan kebanyakan para pemimpin yang mengikuti skema ekonomi neoliberalisme, dimana kepemimpinannya tetap membuat pemerintah DKI Jakarta melepas pengaturan ekonominya kepada mekanisme pasar. Banjir, kemiskinan, pengangguran, pengkonsentrasian kekayaan di tangan segelintir orang, masih menghiasi wajah ibukota Indonesia, hingga saat ini.
Seseorang yang bersalah atas ucapannya harus dihakimi. Namun dosa yang lebih besar seperti membawa hidup banyak orang dalam kubang kemiskinan dengan kebijakan ekonomi-politik neoliberalimse tak kalah mendesak untuk diadili dan dihakimi. Sebab, seperti yang pernah diucapkan Ali bin Abu Thalib, kemiskinan itu mendekatkan manusia pada kekufuran.
Sejak masa penjajahan Belanda, bangsa Indonesia kerap diadu domba dengan sentimen isu agama, ras dan kesukuan. Pada masa neoliberalisme atau penjajahan gaya baru saat ini, upaya adu domba itu tak berhenti, bahkan makin hebat lagi. Sehingga upaya untuk menyelamatkan bangsa ini dengan persatuan nasional anti penjajahan gaya baru terasa kian mendesak agar ketimpangan, kemiskinan dan segala hal yang bisa menjerumuskan rakyat Indonesia kepada kekafiran itu dapat dihindari.
Bila kita tidak menginginkan pemimpin yang zalim, pemimpin yang memiskinkan, pemimpin yang menggusur rakyatnya dengan kekerasan, pemimpin yang tidak mampu memenangkan cita-cita kemerdekaan nasional dan memanifestasikan nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan pemerintahannya, pemimpin yang tidak mampu mewujudkan masyarakat adil dan makmur, pemimpin yang dilindungi oleh orang-orang berkuasa dari kesalahannya, maka kita masih punya satu bentuk penghakiman, penghakiman dalam kotak suara, menolak memilih pemimpin itu dalam wadah demokratis bernama Pemilihan Kepala Daerah secara langsung.
Kita harus menginsafi bahwa langkah kita memilih orang-orang yang bertopeng kepemimpinan yang bersih, kepemimpinan yang merakyat, kepemimpinan yang keras terhadap korupsi dan suap, belum menjadi jaminan untuk mewujudkan masyarakat yang islami, adil dan makmur.