Chile, negeri yang dijuluki “ujung daratan” itu, adalah gudangnya seniman kerakyatan. Negeri ini melahirnya dua penyair peraih nobel sastra, yaitu Gabriela Mistral dan Pablo Neruda. Maestro musik kerakyatan Victor Jara juga lahir di negeri ini. Dan satu lagi yang tak boleh dilupakan: Violeta Parra.
Violeta adalah penggagas gerakan musik kerakyatan yang disebut Nueva Canción (nyanyian baru). Gerakan nyanyian baru itulah yang melahirkan nama-nama besar, seperti Victor Jara, Inti-Illimani dan Quilapayun. Gerakan nyanyian baru berusaha memadukan lagu-lagu rakyat, musik khas Amerika Latin, dan protes sosial.
Violeta lahir tanggal 4 Oktober 1917 di sebuah kota kecil bernama San Carlos. Ibunya meninggal ketika ia masih sangat kecil. Jadinya, ia hanya hidup dengan bapaknya. Tetapi mereka hidup sangat miskin dan melarat. Violetta kecil merasakan betul tekanan hidup di bawah kemiskinan.
Bapaknya, yang frustasi dengan keadaan itu, berusaha menghibur diri dengan alkohol. Violeta sendiri terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena kemiskinan. Namun, Violetta kecil sudah akrab dengan musik. Ia punya gitar pemberian ibunya. Dengan bekal gitar itulah, dia mulai menyanyi di kereta api, kota-kota kecil, Restoran dan sirkus.
Setelah bapaknya meninggal, Ia pindah ke Santiago. Bersama saudara perempuannya, ia membentuk grup “Parra Bersaudara”, yang selalu menyanyikan lagu-lagu rakyat. Memang, sejak awal musiknya punya cita-rasa kerakyatan. Lagunya selalu berbicara tentang kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan.
Kecintaannya terhadap musik rakyat sangat kuat. Itu pula yang mendorongnya berkeliling ke berbagai tempat untuk mengumpulkan lagu-lagu rakyat. Lagu-lagu rakyat itu kemudian direkamnya dan dimasukkan dalam repertoirnya.
Dari perkawinan pertamanya, Violeta dikaruniai tiga anak: Angel, Isabel, da Rosita. Kelak -anak-anaknya ini yang menjadi pewaris musiknya. Pada tahun 1953, setelah muncul di koran “Neruda House”, Radio Chile memanggilnya untuk sebuah program lagu-lagu rakyat. Sejak itu nama Violetta Parra mulai terkenal.
Tahun 1954, ia terpilih sebagai penyanyi lagu rakyat terbaik. Tahun itu juga ia diundang ke Polandia. Ia kemudian mengunjungi Uni Soviet dan Eropa. Ia sempat tinggal dua tahun di Perancis dan merekam lagunya di sana. Namun, ketika mendengar anak bungsunya meninggal, ia pulang ke Chile.
Di Chile, ia sempat bekerja di Universitas Concepcion sebagai pengarah museum seni kerakyatan. Ia juga terus melakukan penelitian lagu-lagu rakyatnya dan menggelar konser di mana-mana.
Di akhir tahun 1950-an, Violeta mulai menggeluti seni lukis, patung, dan keramik. Padahal, seperti diakuinya dalam sebuah wawancara, semua ilmu itu dipelajarinya secara otodidak. Dan yang lebih penting: karya-karyanya selalu mewakili suara rakyatnya yang tertindas.
Antara tahun 1961 hingga 1964, bersama suami keduanya, Gilbert Favre, ia kembali mengunjungi Eropa dan Uni Soviet. Ia juga sempat menetap kembali di Paris, Perancis. Selain kehebatan musiknya, ternyata karya lukis dan dekorasinya juga dikagumi. Ia adalah seniman Amerika Latin pertama yang bisa pameran di Louvre. Saat itu pula, tepatnya tahun 1962, ia merekam lagunya yang terkenal “La Carta” (Surat).
Namun, karena berselisih dengan suami keduanya, Violeta kembali ke Santiago bersama dua anaknya, Angel dan Isabel. Di sinilah, berkat sokongan seorang Walikota, ia mendirikan “La Peña de Los Parra”, sebuah pusat seni kerakyatan. Di Peña digelar berbagai bentuk seni kerakyatan, seperti musik, tarian, sirkus, dan lain-lain. Victor Jara lahir dari sini. Musisi dari negeri tetangga, seperti Bolivia, juga datang manggung di tempat ini.
Tak hanya itu, Ia juga mendirikan “La Carpa de la Reina“, yang diposisikannya sebagai pusat budaya dan lagu-lagu rakyat. Namun, pemerintah tentu mulai terusik oleh musiknya yang revolusioner, yang terang-terangan memihak klas pekerja dan tertindas. Lagu-lagu rakyat mulai dicekal dan dipersulit masuk ke radio dan industri rekaman. Sementara itu, “La Carpa” dan Violeta juga makin terbebani dengan kondisi ekonomi yang sulit.
Bersamaan dengan itu, hubungan dengan suami keduanya juga memburuk. Suami keduanya memilih pergi Bolivia dan menjadi penyanyi di sana. Dengan berbagai tekanan, Violeta mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri tanggal 5 Februari 1967. Tragisnya, sebelum ia menembak dirinya sendiri, ia lebih dahulu menyanyikan lagunya yang terkenal “Gracias a la vida” (Terima Kasih Kehidupan).
Tahun 2011 lalu, kehidupan Violeta Parra diangkat ke layar lebar oleh sutradara Chile, Andrés Wood, melalui film berjudul “Violeta Went to Heaven”. Film ini menyingkap sebagian perjalanan hidup dan gagasan musisi revolusioner Chile tersebut.
Ira Kusumah, Kontributor Berdikari Online