JAKARTA, PB – Sidang perdana kasus penistaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI non aktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diwarnai isak tangis saat dia membacakan nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (13/12/2016) kemarin. "Saya tidak habis pikir mengapa saya bisa dituduh sebagai penista agama Islam," kata Ahok.
Baca juga: Ahok Tersangka Penistaan Agama dan Aksi ‘Gelar Sejadah’ 2 Desember Tetap Menuntut Ahok Ditahan
Dalam nota keberatan setebal 8 halaman tersebut, Ahok membeberkan program pemerintahannya baik saat ia menjabat di Bangka Belitung maupun di Ibukota DKI Jakarta. Program tersebut berkaitan dengan bantuan kepada umat muslim. Ahok juga mengutip pernyataan dari buku yang dibuatnya pada tahun 2008 dengan judul 'Berlindung Dibalik Ayat Suci'.
Menanggapi hal tersebut, pengamat politik Nicholay Aprilindo menyangkan eksepsi atau nota keberatan yang dibacakan baik oleh pengacara maupun Ahok sendiri mengaburkan fakta hukum dan lebih bermuatan politis. "Ini tidak ada relevansinya dengan kasus dugaan penistaan agama ini,” kata Nicholay dalam wawancara dengan iNews TV, Selasa (13/12/2016).
Menurut Nicholay, seharusnya penasihat hukum tidak membawa trik opini untuk menggiring masyarakat seolah-olah Ahok tak bersalah, walaupun itu memang tugas pengacara. "Ahok dan penasihat hukum memang perlu untuk meyakinkan hakim bahwa Ahok telah berbuat baik terhadap Islam. Namun, yang perlu dibuktikan ialah pidato Ahok di Kepulauan Seribu itu berpotensi menghina atau tidak," terangnya.
Dilansir dari Teropongsenayan, Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), Fadli Nasution juga menyatakan hal yang sama, eksepsi yang disampaikan tim pembela Ahok blunder, lantaran bernada nota pembelaan atau pledoi.
"Eksepsi yang disampaikan seperti pledoi. Padahal, ini kan baru sidang perdana. Ingat, persidangan di pengadilan itu ada tahapannya, hari ini kan baru pembacaan dakwaan oleh JPU, kemudian diberikan kesempatan kepada terdakwa untuk menyampaikan tanggapannya," kata Fadli di Jakarta.
Menurut Fadli, eksepsi terdakwa terhadap surat dakwaan JPU berdasarkan Pasal 156 ayat (1) KUHAP hanya terkait dengan tiga hal. Pertama, kewenangan pengadilan untuk mengadili. Kedua, kewenangan menuntut gugur. Ketiga, dakwaan tidak memenuhi syarat formil.
"Jadi eksepsi itu masih seputar dakwaan jaksa, belum masuk ke dalam pokok perkara. Tapi, tadi setelah kita dengar eksepsi dari tim pembela Ahok isinya justru pembelaan terhadap terdakwa, makanya jadi blunder," terang Fadli.
Karenanya, Fadli yakin, Majelis Hakim tidak akan terpengaruh dengan eksepsi yang disampaikan Ahok dan tim pembelanya. Kata dia, persidangan akan tetap berjalan dimana eksepsi akan dipertimbangkan dalam putusan akhir. "Kasus penistaan agama ini sebenarnya sudah jelas dan terang benderang berdasarkan Fatwa MUI yang menyatakan pernyataan Ahok di Pulau Seribu yang teah menghina Al-Quran dan ulama yang memiliki konsekuensi hukum," beber Fadli.
Untuk diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyusun dakwaan kasus Ahok dengan pasal alternatif. Pasal pertama adalah Pasal 156 a KUHP yang ancaman hukuman lima tahun penjara. Sementara itu, pasal kedua adalah Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman empat tahun penjara. Hal tersebut terkait dengan pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu yang menyinggung Surat Al Maidah ayat 51. (Yn)