(Mengenang HUT ke-62 Imamat Hans Küng)
Dua variabel yang membentuk judul artikel ini, saya ringkas setelah membaca pelbagai literatur. Kontroversialis yang kritis itu, Hans Küng. Pada 11 Oktober 2016 yang baru lewat, Romo Küng, yang sedang sakit di usia senjanya, merayakan HUT ke-62 imamatnya.
Selain menampilkan sosok teolog, penulis, dan pengajar yang kontroversial di satu sisi serentak kritis di sisi yang lain, artikel sederhana ini juga akan mempromosikan salah satu proyek yang diupayakan Küng. Proyek Küng itu pada akhirnya akan coba saya tawarkan bagi kita di Indonesia, yang kian hari kian ditandai dengan aneka wajah pluralitas.
Kontroversialis yang Kritis
Hans Küng dilahirkan pada 19 Maret 1928 di Sursee, Canton Lucerne, Swiss. Cita-citanya yang kuat untuk menjadi seorang imam dan motivasi teguhnya untuk maju dalam ilmu pengetahuan mengantar Küng pada tahun 1948 menuju Universitas Kepausan Gregoriana, Roma, guna mendalami studi filsafat. Dari Swiss ke Roma, Küng membawa serta kesadaran bahwa ia akan mengalami begitu banyak perjumpaan, mulai dari kebiasaan sampai pada pemikiran, apalagi ia belajar di bawah bimbingan para imam Yesuit.
Kendati demikian, Küng muda yang gigih tetap optimis, sehingga pada tahun 1951, ia meraih licensiat dalam bidang filsafat dengan disertasi berjudul ‘Humanisme Atheis Jean Paul Sartre’. Mulai tahun yang sama, 1951, dan di universitas yang sama, Gregoriana, Küng mendalami bidang teologi. Pada 11 Oktober 1954, Küng ditahbiskan menjadi imam diosesan dalam Gereja Katolik. Dahaga intelektual yang belum terpuaskan mengantar Küng menuju Prancis. Dari tahun 1955 sampai 1957, ia belajar di Sorbonne dan Insitut Catholique, hingga akhirnya berhasil mempertahankan disertasi doktoralnya dengan judul Justificatio: La Doktrine de Karl Barth et Une Reflexion Catholique (Pembenaran: Doktrin Karl Barth dan Sebuah Refleksi Katolik).
Setelah menyelesaikan studi, Küng menjalankan tugasnya sebagai gembala umat dengan menjadi pastor pembantu di Paroki Lucerne, Hofkirche. Pengalaman selama kurang-lebih dua tahun ini memengaruhi horizon pemikiran Küng dan memprovokasinya secara militan untuk menyerang sikap Gereja yang terlalu kaku dan dogmatis. Meski kritis dan gigih dalam melayangkan kritik dan kekecewaannya terhadap Gereja terutama Magisterium, Küng tetap seorang imam Katolik. Küng tidak beralih meninggalkan Gereja. Ia tetap mengabdi Gereja dengan menjalankan tugasnya sebagai pemikir jeli yang progresif.
Sikap Küng yang anti-eksklusivisme dan acap kali secara tajam melayangkan kritik terhadap struktur otoriter Gereja Roma, mengharuskan ia digusur. Klimaks posisi Küng sebagai kontroversialis yang kritis terhadap Gereja khususnya Paus dan para Uskup, menyata dengan diterbitkan bukunya yang berjudul ‘Infallible? An Inquiry’ (Infallibilitas? Suatu Telaah) pada tahun 1970. Karya fenomenal yang berisikan posisi radikal Küng dalam menolak ‘kapasitas yang dimiliki oleh para pemimpin Gereja sebagai anugerah Roh Kudus, yang membuat mereka sanggup mengambil keputusan-keputusan yang tak dapat sesat, dan karena itu menuntut ketaatan dari semua orang beriman’ (Infallibilitas), mengundang polemik hangat, yang pada gilirannya mendepak Küng menuju ‘ruang gelap’. Pada tanggal 15 Desember 1979, Kongregasi Ajaran Iman mencabut missio canonica Küng. Kendati diperlakukan tidak mengenakkan macam itu, Küng tetap bertahan sebagai pengajar di Universitas Tübingen hingga masa pensiunnya (Emeritierung) pada 1996.
Etika Global
Salah satu momentum terbaik yang pernah diperoleh Küng ialah ketika Dewan Parlemen Agama-agama Dunia (The Council for a Parliament of the World’s Religion) memberi kepercayaan kepadanya untuk merumuskan draft Deklarasi Agama-agama untuk Etika Global (Declaration of the Religions for a Global Ethic), pada tahun 1992-1993 di Chicago. Pada bagian paling awal, bagian pengantar dari Deklarasi tersebut, dengan jelas dan tegas termaktub kesadaran fundamental berikut. “The world is in agony. The agony is so pervasive and urgent that we are compelled to name its manifestations so that the depth of this pain may be made clear.” Dunia kita sedang dalam krisis, sedang dalam penderitaan yang mengerikan. Krisis ini kian menusuk dan mendesak, sehingga kita dipaksa untuk menyebutkan perwujudan-perwujudan krisis dimaksud, agar dengan demikian, inti terdalam dari rasa sakit yang mengerikan itu dapat dengan jelas diketahui. Setelah menguak dan mengetahuinya, tentu saja menyembuhkan dan pada gilirannya, menuju perdamaian.
Pada titik ini, ketika berbicara lantang mengenai perdamaian, sebuah etika bersama, Etika Global, terasa begitu penting lagi mendesak. Bagi Küng, agama-agama bertanggung jawab dan berperan amat penting dalam proyek ini. Küng yakin, perdamaian (shalom, salam, eirene, pax) merupakan ciri utama ajaran setiap agama. Dengan demikian, agama-agama haruslah menciptakan perdamaian, pertama-tama di antara mereka sendiri, baru setelah itu, menuju tataran yang lebih global dan kompleks. Untuk tujuan ini, konsensus minimal tentang etika yang ditawarkan Küng, antara lain sebagai berikut. (a) Pemahaman di antara agama-agama tidak boleh menuntut orang-orang beriman untuk berbaris berhadapan dengan orang-orang kafir. Rancangan suatu etika dunia, Etika Global, lebih membutuhkan aliansi orang-orang beriman dan kafir atas etika dasar umum yang baru. (b) Agama-agama pasti memiliki fungsi dan tanggung jawab khusus ketika ia telah menjadi kriteria yang mengikat dan sebagai keyakinan pribadi yang mendasar. (c) Pada tataran yang lebih fundamental, pertanyaannya, apa yang dapat disumbangkan agama-agama untuk menindaklanjuti suatu etika, meskipun terdapat sistem dogma dan simbol yang sangat berbeda di antara mereka?
Respon atas Pluralitas
Proyek Etika Global yang diprakarsai Küng – di samping teologi pluralis yang lebih merupakan diskursus dalam lingkaran para teolog saja – merupakan respon atas realitas keberagaman, yang dibangun di atas konsensus antara agama-agama, yakni ‘konsensus fundamental yang berkaitan dengan nilai-nilai yang mengikat, patokan-patokan yang baku, dan sikap-sikap moral yang mendasar’. Dengan ini, agama-agama memiliki sebuah etika bersama yang sama dan setara dalam upaya mewujudkan perdamaian. Atau, dalam tesis terkenal Küng yang telah menjadi semacam slogan meyakinkan, “No survival without a world ethic. No world ethic without peace between the religions. No peace between the religions without dialogue between the religions.” Tidak ada kehidupan yang layak dan damai tanpa sebuah etika bersama. Tidak ada etika bersama tanpa perdamaian di antara agama-agama. Tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog di antara agama-agama tersebut. Melalui pernyataan termasyhurnya yang mengaitkan dialog antaragama dengan perdamaian, hemat Zainal Abidin Bagir, Küng menjadi salah satu ikon penting dalam dialog.
Pertanyaannya, Etika Global yang ditawarkan Küng bicara apa bagi kita di Indonesia yang terkenal dengan fakta pluralitas inter-dimensional? Hemat saya, kata kunci yang dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam konteks kita hari ini, ialah dialog. Kita membutuhkan sebuah dialog yang memberi dan menerima. Apa yang menjadi matra khas dan kiblat terdalam dari masing-masing agama, mesti dipresentasikan, diperkenalkan. Dialog dalam bingkai Etika Global Küng merupakan dialog yang kritis, mana kala semua agama ditantang untuk tidak hanya menjustifikasi segala sesuatu, tetapi lebih kepada menyampaikan pesan terdalam mereka dengan baik dan tepat. Ringkasnya, dunia dan umat manusia membutuhkan dialog dengan tanggung jawab saling menjelaskan dan sadar bahwa tidak satu pun dari agama-agama tersebut memiliki kebenaran ‘yang telah tercipta’, melainkan semuanya menuju kebenaran ‘yang lebih mulia’. Dialog macam ini menjadi kian efektif, bila berani masuk dan dimasuki hingga ke fondasi-fondasi tiap agama, dengan segala risikonya. Indonesia siap? Sekiranya, sekali kelak, suara lantang Küng ini dapat didengarkan dan diperjuangkan bersama-sama.
***
_______________
*Reinard L. Meo, mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores-NTT, alumnus SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman). Surel: l.meo.reinard@gmail.com