Belum lama, pada Nopember 2016, sejumlah dalang mengadakan pentas wayang listrik di Museum Nasional Jakarta. Mengangkat tema “Wayang for Student”, mereka mengenalkan epik Ramayana kepada ratusan pelajar dari SMP dan SMU yang hadir dari beberapa wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Pentas wayang yang selama ini kita kenal memakai kain geber sebagai latarnya, lampu minyak untuk penerangan, gedebong pisang tempat gagang wayang ditancapkan, juga kulit sebagai bahan dasar, maka pada “Wayang for Student” Dalang I Made Sidia dari Bali menyertakan laptop, proyektor LCD, visual effect, skateboard untuk pergerakan wayang agar dinamis, serta bahasa Indonesia – Inggris dan Bali sebagai media komunikasinya. Juga sterofoam, kaca mika, kardus, busa sebagai media wayangnya.
Kejadian diatas dapat kita garisbawahi dan tegaskan bahwa inovasi, kreatifitas dan keberanian “mendamaikan” seni tradisi dengan produk-produk globalisasi adalah mutlak harus dilakukan oleh para pekerja seni tradisi yang masih tersisa saat ini maupun penggiat seni modern (kontemporer).
Contoh lain, di seni pertunjukan, khususnya musik, para pekerja seni kita ini sudah lebih dulu berkarya dan melalui proses merenung yang panjang untuk menghasilkan bunyi dengan menyertakan – mencari unsur-unsur lokal atau tradisi sebagai roh bermusiknya. Meski sebagian besar industri musik (yang melulu cari profit itu) menolak musik model ini (karena tak laku dijual) tapi mereka tidak berhenti berkreatifitas.
Fushion, world music, new age, kontemporer dan lain sebagainya adalah istilah-istilah atau genre yang disematkan ke mereka. Apapun itu, bagi saya, itu adalah kerja kreatifitas agar jiwa tak kering dalam fase berkarya, karena berapa lama mereka sanggup memainkan musik ngak-ngik-ngok meski kesuksesan telah diraih, popularitas sudah digenggam, tapi akhirnya merasa mandeg.
Kita tak asing dengan nama-nama seperti Dwiki Dharmawan, I Wayan Balawan, Tohpati, Vicky Sianipar yang khatam dalam bermusik. Tapi ketika mereka bergaul dengan musisi mancanegara di panggung berskala internasional, sebut saja macam Jakarta International Java Jazz Festival, atau diundang tampil di even musik luar negeri, maka I Wayan Balawan meleburkan jazz dengan pentatonik nada-nada Bali. Tohpati menampilkan komposisi etnik Indonesia bersama grupnya Tohpati Etnomission. Lalu ada Vicky Sianipar yang punya misi me-modernisasi lagu-lagu klasik Batak, nada-nada Sunda, Banyuwangi yang semua itu bisa kita simak di albumnya Toba Dream dan Indonesia Beauty.
Dwiki Darmawan bersama grupnya Krakatau sudah tampil di panggung internasional seperti: Midem-Cannes 2000 Perancis, Sziget Festival 2003 – Hongaria, Lincoln Center Out of Door Festival 2004 – New York, North Sea Jazz Festival 2005 – Belanda, Montreux Jazz Festival 2005 – Swiss serta puluhan kali tampil di Cina, Jepang, Australia, Spanyol, Bulgaria, Romania, Serbia – Montenegro, Republik Ceko, Republik Slovakia, Venezuela, Malaysia, dan Singapura, hingga mendapat pengakuan internasional sebagai bagian penting dari khazanah World Music berkat kemampuan memadukan gamelan dengan jazz serta mengeksplorasi musik Sunda, Aceh, Melayu, Jawa, Bali, dan musik-musik dari wilayah Indonesia Timur.
Hingga tahun 2006 bersama Krakatau Dwiki menghasilkan 8 (delapan) album: First Album (1987), Second Album (1988), Kembali Satu (1989), Let There Be Life (1992), Mystical Mist (1994), Magical Match (2000), 2 Worlds (2006), dan Rhythm of Reformation (2006).
Ian Antono legenda musik rock Indonesia itu di God Bless boleh saja unjuk skil luar biasa, gitarnya menggerung dengan distorsi menampar-nampar telinga, tapi pada akhirnya Ian sanggup menafsirkan rock yang bercita rasa barat itu menjadi rasa Melayu, menemukan jati dirinya sebagai pemusik dan mampu membuat kita dengan mudah menangkap rasa musiknya Ian meski ia sedang menggarap albumnya Nicky Astria, Anggun C. Sasmi, Nike Ardilla, Jossy Lucky, Mel Shandy, Iwan Fals, Grass Rock, Elpamas dan seterusnya.
Proyek idealis Ian Antono ada saat ia menukangi Gong 2000 yang telah menghasilkan 3 (tiga) album studio: Bara Timur (1991), Laskar (1994) dan Prahara (1998) dimana Ian berkolaborasi dengan seniman musik dari Bali I Gusti Kompyang Raka.
Sebagai tambahan referensi, di belahan bumi lain juga ada musisi yang mengalami semacam kegersangan jiwa. Adalah Max Cavalera sewaktu masih bersama Sepultura. Band metal asal negeri Amerika Latin jajahan Portugis yakni Brazil ini di awal-awal lewat album Bestial Devastation (1985), Morbid Visions (1986), Schizophrenia (1987), Beneath The Remains (1989), Arise (1991) menggempur – menggeram marah lewat musik yang sangat keras dan cepat dalam rangka mencari perhatian publik musik lokal dan dunia.
Tapi Max sepertinya lantas tersadar, bila Sepultura musiknya hanya modal keras dan cepat (ditambah dari Brazil pula..) maka mereka tak akan bisa bersaing secara popularitas dengan band-band Thrash Metal Amerika dan Eropa dimana saat itu dunia musik metal dikuasai oleh yang namanya The Big Four Of Thrash: Metallica, Slayer, Megadeth and Anthrax.
Maka pada album keenam dan ketujuh (Chaos A.D, 1993 dan Roots, 1996) Max menurunkan tempo musiknya, lirik lagu mengangkat isu-isu sosial politik yang sedang hangat terjadi di berbagai belahan dunia dan di dalam negeri Brazil sendiri seperti Territory, Refuse/Resist, Dictatorshit. Max mulai bereksperimen dan berkreasi menambahi tetabuhan (instrumen perkusi) musik lokal, merekam mantera-mantera yang terdengar keramat milik suku Indians Xavante di Brazil, Roots Bloody Roots dan Ratamahatta adalah hasilnya.
Sepultura pun mendapat pencapaian sukses luar biasa, band Amerika Latin yang memperoleh pengakuan dunia, punya jadwal tur padat ke seluruh pelosok Amerika dan Eropa. Tak ayal ketika mudik mereka disambut sebagai pahlawan oleh rakyat Brazil.
Koran-koran yang terbit di Amerika: The New Times, Daily News dan Los Angeles Times memuji dan menulis “Album Roots sebagai musik campuran metal dengan instrumen asli unsur-unsur dari negeri Brazil yang menghadirkan suara-suara dari masa lalu dan memiliki efek memabukkan. Sepultura yang akan menentukan arah masa depan musik metal“.
Kritikus musik heavy metal Martin Popoff mengapresiasi positif album Roots; “Ini adalah musik metal yang spektakuler dan futuristik, sebuah pencapaian karya yang dibuat dengan hati dan kecerdasan yang sangat besar”, lanjut Popoff.
Juga majalah musik metal terkenal Kerrang! pada edisi bulan Januari 1998 memuji dan memberi peringkat kedua (dibawah Nirvana dengan “In Utero”nya) kepada Sepultura lewat Roots-nya dan mencatat sebagai “100 album rock yang harus Anda dengar sebelum mati”.
Kemudian ada nama Marty Friedman salah satu dewa gitar kelahiran Washinton DC. Marty memainkan gitar tidak sekedar kecepatan tapi bagaimana nada melodius yang dihasilkan harus mampu memberi rasa. Jason Becker, rekan satu band saat awal-awal mereka masih bersama di Cacophony pernah bilang: “Setiap nada yang dimainkan Marty mencerminkan penjiwaan yang sangat dalam. Anda akan merasakan sendiri ketika Anda memainkan salah satu lagu miliknya”.
Tahun 1990 Marty melamar dan diterima sebagai gitaris resmi Megadeth, bersama band inilah ia mencapai kesuksesan popularitas dan finansial dengan penjualan album jutaan copy di seluruh dunia. Megadeth sendiri menjadi band metal papan atas dunia dan (seperti sudah disebutkan diatas) masuk dalam “The Big Four Of Thrash” bersama Metallica, Slayer dan Anthrax.
Tapi seiring berjalannya waktu, ternyata popularitas menjulang juga kesuksesan tidak mampu membuat nyaman hidup seorang Marty, ada kegelisahan untuk terus mencari dan menemukan roh bermusiknya. Maka pada tahun 2000 saat sedang jaya-jayanya Marty memutuskan minggat dari Megadeth, pindah dan menetap di Jepang. Marty belajar seni dan budaya Jepang, membuat eksperimen musik penggabungan seni modern dan tradisional. Marty menyukainya dan menemukan roh bermusik yang selama ini ia cari. Di Jepang Marty bertemu dengan Kitaro lalu menggarap album solo pertamanya “Scenes” tahun 1993.
Kembali ke dalam negeri, maka kenapa tidak Pemerintah lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Keputusan kepada pelaku atau even-even organiser seni pertunjukan berskala besar untuk memberi ruang kepada seniman tradisi tampil. Harusnya festival-festival musik sebesar Soundrenaline, Jakarta International Java Rockin’ Land, Hammersonic, Djakarta Warehouse Project memberi porsi Kelompok Kesenian Kuda Lumping, Gambang Kromong, Debus, Reog, atraksi Pencak Silat dan sebagainya. Juga kepada seluruh stasiun televisi swasta wajib mempunyai slot acara yang mengulas, menayangkan, mengapresiasi karya-karya dari para pekerja seni tradisi. Itulah salah satu cara yang diharap akan berdampak bagi kelangsungan hidup dan terjaganya kreatifitas para penggiat seni tradisi milik leluhur kita.
Dengan kreatifitas, dengan ketekunan para seniman kontemporer itu adalah dalam rangka merawat seni budaya tradisi kita agar tidak punah, mengemas dan mengenalkannya secara modern kepada generasi yang lahir di tahun 2000-an keatas yang hanya kenal dan memuja habis-habisan boy band atau girl band K-Pop, Justin Bieber, Bruno Mars, Taylor Swift atau Lady Gaga, sementara ada nama-nama lain seperti Sruti Respati, Sujiwo Tedjo, Jubing Kristianto, I Gusti Kompyang Raka, Manthous, Djaduk Ferianto, Sa’ Unine String Orchestra, Saung Angklung Udjo dan banyak nama lagi yang telah bekerja keras merawat seni budaya kita dengan karya-karyanya yang indah dan teramat sayang untuk dilewatkan. ***
________________________
* Tejo Priyono, Ketua Umum Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER); Kontak : tedjopriyono@gmail.com