Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Skema Gross Split Menggantikan Cost Recovery

kilang-minyak-migas_20141217_014733JAKARTA, PB - Kementerian ESDM resmi memberlakukan bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) gross split, menggantikan cost recovery. Skema baru ini dianggap mendorong kontraktor lebih efisien dan bisa meningkatkan penerimaan negara.

Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, mengilustrasikan perbedaan 2 skema bagi hasil itu dengan sebotol air mineral. Harga air kemasan tersebut bisa berbeda di setiap tempat dan setiap penjual. Hal inilah yang kemudian jadi pemicu perdebatan dalam penetapan cost recovery.

Dia mengibaratkan, pedagang air mineral adalah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), sementara dirinya adalah negara yang diwakili SKK Migas.

"Berapa harga sebotol air? Ini kalau dijajakan di pinggir jalan costnya Rp 2.000, kalau saya beli di restoran pemilik restoran harganya Rp 5.000, kalau saya beli di hotel mewah, pengelola hotel bilang harganya Rp 15.000," papar Arcandra di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (20/1/2017).

"Loh ada yang bilang harganya Rp 2.000, terus satunya Rp 5.000, satunya lagi Rp 15.000, siapa yang harus saya approve (setujui). Ini jadi debat, salah kah pemilik hotel mengajukan harga Rp 15.000? Tidak salah, karena dia punya cost structure sendiri, karena ada komponen lain seperti kenyamanan dibanding pedagang kaki lima," tambahnya.

Penetapan biaya antara KKKS dan SKK Migas inilah yang menurutnya selalu diperdebatkan. Di sisi lain, SKK Migas harus hati-hati dalam menyetujui item-item yang dikeluarkan oleh KKKS.

"Ini sampai kapan debatnya. Kontraktor mengajukan cost air mineral ke saya Rp 15.000, saya bilang ke dia, kemarin saya dapat barang yang sama harganya Rp 2.000. Yasudah saya tetapkan harganya Rp 7.000 saja jalan tengah, yang pedagang kaki lima senang, karena harga air mineral Rp 2.000 tapi dihargai Rp 7.000, untung banyak, tapi pemilik hotel jadi rugi.

Itu baru perkara air perdebatan harga air mineral. Harga teknologi yang dipakai para KKKS tentu lebih rumit lagi penyelesaiannya. Apalagi jika dalam hal ini, SKK Migas tidak terlalu memahami harga 'pasaran' teknologi tersebut.

"Celakanya kalau teknologinya hanya dikuasai satu kontraktor. Exxon bilang harganya Rp 10.000, BP (British Petroleum) bilang enggak tahu, karena yang punya teknologi itu hanya Exxon," terang Arcandra seperti dilansir Detik.com.

Diungkapkannya, gross split selain mendorong efisiensi di banyak hal, juga memaksa kontraktor bisa memilih teknologi yang tepat sesuai dengan kondisi blok migas yang dikelolanya.

"Kalau dia salah pilih teknologi, costnya mahal, kalau dia pilih teknologi yang tepat, costnya bisa turun. Siapa yang tahu persis teknologi yang harus dipakai, ya kontraktor. SKK Migas tidak perlu lagi approve, hanya mengawasi saja. Kalau pakai cost recovery, apa yang terjadi kalau SKK Migas salah approve? Itu bisa jadi temuan BPKP," ujar Arcandra. (Yn)