Di samping isu penistaan agama yang sedang ramai-ramainya di media sosial saat ini, sayup-sayup muncul pemberitaan tentang pengadilan kasus pembunuhan dua Warga Negara Indonesia (WNI), yaitu Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih, di Hongkong.
Kejadian pembunuhan sadis itu terjadi pada akhir Oktober 2014. Namun, sejak kejadian itu hingga persidangan pelaku pada November 2016, media dan perhatian banyak orang di Indonesia kurang tertuju pada kasus itu.
Di media sosial, nyaris tak ada orang yang benar-benar membicarakan pembunuhan ini. Dan kalau pun ada percakapan, nadanya jauh dari simpati pada dua perempuan korban.
Apa penyebab pembunuhan dua WNI itu terkesan diabaikan?
Menurut Anis Hidayah dari Migrant Care, kedua korban sudah distigma oleh pers sebagai Pekerja Seks Komersil (PSK). Dan terkesan, karena keduanya berstatus PSK, mereka pantas disiksa dan dibunuh.
Ya, karena status pekerjaan, orang mendapat perlakuan berbeda. Begitulah yang dialami oleh dua perempuan Indonesia di Hongkong, Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih. Lantaran label mereka sebagai PSK, pembunuhan sadis terhadap keduanya dianggap “angin lalu” saja. Padahal, siapapun tidak boleh disiksa dan dibunuh, tidak peduli apapun profesinya.
Memang, di Indonesia, prostitusi dianggap penyakit sosial. Perempuan yang bekerja sebagai PSK dianggap sebagai pendosa, kotor, dan sampah masyarakat. Mereka dijauhi dan dikucilkan. Lebih parah lagi, para penjaga moralitas selalu menempatkan “prostitusi” sebagai musuh yang harus dimusnahkan, tetapi mengabaikan faktor sosial-ekonomi yang menyuburkan prostitusi.
Padahal, prostitusi bukan melulu soal moral yang rusak. Di dalamnya juga berkelindan persoalan sosial-ekonomi, seperti kemiskinan dan ketidakadilan. Orang juga lupa, bahwa perempuan yang bekerja sebagai PSK sangat rentan terhadap kekerasan.
Bagaimana kita menyikapinya? Apa akar penyebab prostitusi ini? Mari kita coba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Sekilas tentang Prostitusi
Banyak yang bilang, sejarah prostitusi seumur dengan kehadiran manusia di muka bumi ini. Artinya, sejak manusia ada prostostitusi pun sudah ada.
Friedrich Engels dalam bukunya, Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara, membantah anggapan itu. Menurut dia, prostitusi muncul seiring dengan penaklukan seks/gender perempuan oleh laki-laki dan munculnya kepemilikan pribadi. Itu terjadi seiring dengan runtuhnya masyarakat komunal primitif dan cikal bakal lahirnya masyarakat berkelas (perbudakan).
Dalam fase itu muncul keluarga monogami, yang menempatkan supremasi pada laki-kaki, dan tujuannya untuk memproduksi/melahirkan anak ayah (paternity). Paternity ini penting dan memastikan kekayaan sang ayah terwariskan secara alami pada anak ayah itu.
Dalam keluarga monogami itu, kemerdekaan seks (hak atas tubuh) perempuan hilang. Sedangkan laki-laki tetap punya kemerdekaan untuk memiliki budak perempuan guna dijadikan gundik atau istri simpanan.
Pada saat itu juga berkembang hetaerisme. Menurut Lewis H Morgan, seorang anthropolog Amerika Serikat yang meneliti soal asal-usul keluarga, hetaerisme adalah praktek hubungan seksual antara laki-laki dengan ‘perempuan lajang’ di luar pernikahannya. Hetaerisme ini, menurut Engels, berkembang menjadi pelacuran umum. Di Yunani ada istilah ἑταιρίστριαι (hetairistriai: pelayan perempuan).
Engels juga bercerita tentang penyerahan paksa perempuan untuk membayar kesuciannya. “Penyerahan (diri) demi uang pertamakalinya adalah tindakan relijius: terjadi pada kuil dewa-dewa cinta, dan awalnya uang beralih ke bendahara kuil,” tulis Engels.
Tradisi pelacur kuil bukan hanya di kuil-kuil Yunani kuno, tetapi juga terjadi di Asia. Terutama di India, yang disebut dengan sistim devadasi, yaitu gadis-gadis yang “mendedikasikan dirinya” untuk pemujaan dan pelayanan kepada dewa atau kuil sepanjang hidupnya.
Di Indonesia, di mata banyak penulis, bentuk samar pelacuran mulai nampak di zaman feodalisme, ketika terjadi penyerahan paksa perempuan untuk melayani raja sebagai gundik.
Pelacuran dalam bentuk yang menyerupai sekarang mulai marak seiring dengan masuknya kolonialisme. Hendrik E Niemeijer, sejarawan asal Belanda yang telah mengarungi samudra arsip VOC di Indonesia, mengungkapkan soal pelacuran di Batavia zaman VOC dalam Batavia: een koloniale samenleving in de zeventiende eeuw yang terbit pada 2005.
Kontribusi Kapitalisme
Kapitalisme punya kontribusi besar dalam melanggengkan prostitusi hingga hari ini.
Pertama, dalam masyarakat patriarkal, tubuh perempuan seringkali dikonstruksikan sekedar sebagai alat reproduksi dan alat pemuas (seksual dan kerja pelayanan lainnya). Ini yang membuat perempuan rentan menjadi objek seksual.
Masalahnya, kapitalisme sedikit banyak melanggengkan anggapan patriarkal ini. Bahkan, bedanya dengan masyarakat patriarkal, kapitalisme mengkomoditifikasinya. Lihatlah, misalnya, tubuh perempuan diumbar untuk memancing dorongan seks dalam penjualan produk-produk kapitalis.
Tubuh perempuan sebagai objek seksual dibisniskan. Inilah yang nampak pada industri pornografi dan hiburan. Saking menggiurkannya bisnis ini, banyak perempuan yang dijerat masuk ke sana. Biasanya melalui kasus perdagangan perempuan.
Kedua, banyak perempuan, terutama kalangan bawah, yang terseret dalam prostitusi karena faktor ekonomi, yakni kemiskinan. Kita sudah akrab dengan cerita-cerita perempuan yang terpaksa menjadi pelacur karena kemiskinan.
Di sisi lain, karena kapitalisme masih melanggengkan patriarki, perempuan rentan terhadap pemiskinan. Dalam masyarakat patriarkal, perempuan hanya dianggap petugas rumah tangga (domestifikasi). Alhasil, mereka terpisah dari ruang sosial dan produksi.
Kalaupun mereka dipaksa keluar rumah untuk bekerja, karena kapitalisme membutuhkan limpahan tenaga kerja, mereka rentan terhadap upah murah, sistim kerja kontrak dan outsourcing. Ada dua alasan untuk ini: pertama, karena domestifikasi, perempuan tidak dianggap prioritas dalam pendidikan dan mengejar keahlian/keterampulan; kedua, karena masyarakat patriarkal menganggap perempuan hanya pencari nafkah tambahan (pencari nafkah utamanya laki-laki). Itulah yang membuat perempuan rentan sekali terhadap pemiskinan.
Ketiga, hasrat memiliki barang-barang mewah (luxury goods). Hasrat akan barang mewah ini menjadi motif pelacuran di kalangan yang sebetulnya dianggap “sudah berkecukupan”, seperti prostitusi yang melibatkan selebritis atau perempuan kelas menengah.
Awalnya, hasrat konsumsi barang mewah ini adalah strategi domestifikasi atau houzewifization, sebagaimana diterangkan oleh Maria Mies dalam Patriarchy and accumulation on a World Scale. Menurut Mies, salah satu strategi housewifization adalah luxury comsumption atau “konsumen barang mewah”. Maksudnya, supaya perempuan betah di dalam rumah atau ranah domestik, maka mereka coba dipuaskan dengan konsumsi barang-barang mewah.
Di sisi lain, dalam perkembangan kapitalisme sekarang ada yang disebut “kebutuhan untuk eksis”, yakni kebutuhan di luar kebutuhan dasar (papan, sandang dan papan) yang diperlukan seseorang untuk eksis di tengah pergaulan sosial. Misalnya sekarang, terlepas dari seberapa penting kegunaannya, smartphone sudah dianggap barang yang penting dalam pergaulan sosial. Tidak punya smartphone akan dianggap katrok, ketinggalan zaman.
Beberapa rekomendasi
Mengatasi prostitusi tidak bisa dengan pendekatan moral belaka, apalagi dengan berusaha melarangnya menggunakan hukum, tanpa menyelesaikan akar strukturalnya: patriarki dan kapitalisme.
Tetapi beberapa tawawan berikut setidaknya bisa untuk memberi pilihan kepada perempuan untuk menjauhi prostitusi.
Pertama, membuka akses pendidikan seluas-luasnya kepada perempuan. Sebab, dengan pendidikan, perempuan akan punya kesempatan untuk menentukan tubuh dan hidupnya.
Kedua, mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan, termasuk memastikan kesetaraan dan pemenuhan hak-hak perempuan di lingkungan kerja. Negara harus membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya untuk seluruh warga negara usia angkatan kerja, termasuk perempuan.
Ketiga, mendorong negara hadir untuk melindungi perempuan dari praktek perdagangan perempuan dan eksploitasi seksual.
Karena prostitusi sulit dihilangkan, apalagi di tengah kemiskinan dan ketimpangan yang merajalela, maka negara perlu turun tangan melindungi perempuan pekerja seks. Mereka harus dilindungi dari penyakit, berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Rini Hartono, aktivis Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini