Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Kartini: Pers Itu untuk Menaikkan Derajat Rakyat!




ORDE baru telah meminimalkan peran dan perjuangannya. Ia ditulis sebagai pejuang emansipasi perempuan saja, padahal pikiran-pikiran dan sumbangsihnya sebetulnya lebih luas dari itu. Itulah Kartini, perempuan keturunan bangsawan Jawa yang meminta dipanggil dengan nama “Kartini” saja.

Kartini adalah pejuang anti-kolonial yang bersenjatakan pikiran-pikiran yang meninju muka kolonialisme. Dia juga manusia multitalenta, dari pengarang, ahli batik, tokoh pendidikan, pelukis, pencinta fotografi, pencinta musik, hingga pengagum perkembangan teknologi.

Seorang penerjemah surat-suratnya, Joost Cote, menyebut Kartini sebagai simbol pemutusan secara radikal terhadap masa lalu (feodalisme) dan pemikiran modern yang menjadi akar bagi kelahiran nasionalisme bangsanya. Sedangkan sastrawan terkemuka Pramoedya Ananta Toer menyebut Kartini sebagai sang pemula dari pemikiran modern di Hindia-Belanda.

Dari Bung Pram, kita mengetahui bahwa Kartini beroperasi pada ruang gagasan dan keahlian yang sangat luas, tidak sebatas soal isu-isu soal hak kaum perempuan. Dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja”, karya Bung Pram, kita tahu bahwa Kartini punya minat besar dan pandangan progressif tentang jurnalisme.

Sebagai Pengarang

Selain melalui bacaan berupa buku-buku, Kartini juga mengenal dunia luar melalui majalah-majalah. Dari majalah-majalah itulah Kartini mengetahui situasi dan perkembangan pada masanya.

Sebagaimana dituliskan oleh Pramoedya, beberapa majalah koleksi Kartini sebagian besar berbahasa Belanda, diantaranya: terbitan BKI v.LTV v NI (Batavia), Neerlandia (Nederland), Eigenhaard (Jogjakarta), De Echo (Jogjakarta), De Nederlandsche Taal (Probolinggo), dan De Gids (Nederland).

Tidak hanya suka mengunyah bacaan dari berbagai majalah, Kartini juga kerap menulis di majalah-majalah itu. Tulisannya pernah muncul di De Echo, di Jogjakarta, dengan nama samaran “tiga saudara”. Tulisan itu berjudul “Een Gouverneur-Generaalsdag”, yang bercerita mengenai pengalaman Kartini-bersaudara bersama ayahnya saat menyambut kedatangan Gubernur Jenderal Rooseboom dan Nyonya di Semarang.

Tidak jarang Kartini menjadi kesal. Ayahnya, RM Adipati Ario Sosrodiningrat, pada awalnya sangat mendukungnya untuk menulis, tetapi di lain waktu terkadang melarangnya.

Ketika seorang Belanda, Nyonya Ter Horst, menyediakan ruang khusus di majalahnya untuk Kartini tentang pentingnya pembelaan kepentingan wanita Jawa, Kartini menyambutnya dengan senang. Dia suka menulis dengan menggunakan nama samaran. Tetapi Kartini yang tidak suka pujian itu, akan segera marah ketika nama samarannya terbongkar dan ia menjadi buah bibir orang. “benar-benar aku sebal, karena aku ingin tiada orang tahu kalau aku memainkan pena,” katanya melalui surat kepada kawan Belanda-nya, Estelle “Stella” Zeehandelaar.

Kartini juga merasa senang, beberapa tulisan-tulisannya di majalah pribumi dan belanda menjadi bacaan bagi kaum pribumi. “Pengajaran pribumi bagi gadis-gadis,” katanya.

Kartini sangat yakin, karangan-karangannya yang termuat di majalah-majalah akan menjadi alat mewujudkan cita-citanya. “Sebagai pengarang,” kata Kartini, “aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami.”

Fungsi Pers

Pada masanya Kartini, sebagaimana dituliskan Pram, majalah berbahasa melayu atau jawa masihlah terbatas. Jauh sebelum jamannya Kartini, tepatnya di abad ke-17, dunia persurat-kabaran sudah tumbuh di Hindia-Belanda.

Pada jamannya Kartini, kebanyakan yang dimuat oleh koran-koran adalah berita-berita dalam dan luar negeri, sensasi-sensasi murah, dan fitnah terhadap orang-orang yang tidak disukai. Pada saat itu, koran dapat dipergunakan untuk memfitnah, sekaligus dijadikan alat untuk meraih kedudukan.

Terhadap isian majalah atau koran yang seperti ini, Kartini menyampaikan kekecewaannya. “Koran biasa dengan berita-berita kebakaran, pencurian, dan pembunuhan, ataupun penghinaan serta pemfitnahan yang tak ketentuan asalnya,” kata Kartini.

Kartini pun mengajukan posisi bagaimana seharusnya media itu: “Mingguan dan bulanan, dimana dimuat segala-galanya yang memperluas pengetahuan, memperkembangkan kecerdasan serta membersihkan kalbu.”

Kartini pun menganggap pers sebagai alat yang ampuh untuk perjuangan. Kartini menyambut gembira berdirinya koran berbahasa melayu, Bintang Hindia, yang diredakturi oleh Abdul Rivai. “Pemuda-pemuda yang penuh kecintaan dan semangat bagi tanah air dan bangsanya yang hendak mereka bawa ke arah peradaban,” tulis Kartini untuk menyambut terbitnya Bintang Hindia.

Koran ini, meskipun masih dalam haluan politik etis, tetapi sangat mengagung-agungkan intelektualitas dan daya-pengetahuan. Dan, seperti ditulis Harry A. Poeze dalam tulisan “Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950”, Bintang Hindia berjasa dalam menyediakan bacaan yang baik dan murah kepada rakyat/kaum pribumi.

Terhadap Bintang Hindia, Kartini pun menulis dukungannya sebagai berikut: “Dan selalu menjadi maksudku, untuk mengangkat suara-suara keras, karena hanya publikasi saja dapat membawakan perbaikan yang kita harapkan atas keadaan yang begitu membutuhkan perbaikan itu..”

Malahan, atas desakan seorang kawannya, Kartini bercita-cita mempunyai penerbitan sendiri. Ia diminta oleh kawannya untuk “mengasah penanya buat kerja menaikkan derajat rakyat.”

Begitulah, beberapa tahun setelah meninggalnya Kartini di tahun 1904, koran-koran pergerakan telah tumbuh dengan suburnya dan telah menjadi garda depan dalam perjuangan anti-kolonial.

Rini Hartono, Pimpinan Redaksi Berdikari Online