Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Masih Adakah Kemauan Politik Menyelesaikan Kasus Munir?

BENGKULU, PB - Pada September 2004, aktivis HAM Munir Said Thalib dibunuh dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam. Inilah kasus pembunuhan aktivis HAM terbesar dalam sejarah Indonesia.

Tahun 2004, tak lama setelah memangku jabatan Presiden, SBY mengeluarkan Keppres nomor 111 tahun 2004 tentang pembentuk Tim Pencari Fakta (TPF) kasus meninggalnya Munir.

Tim ini beranggotakan 14 orang, diantaranya Brigpol Marsudi, Asmara Nababan, Hendardi, Usman Hamid, Retno LP Marsudi (Menlu RI sekarang) dan lain-lain.

TPF Munir bekerja tahap pertama hingga Maret 2005. Lalu, melalui Keppres nomor 12 tahun 2005, masa tugas TPF Munir diperpanjang hingga 23 Juni 2005.

Dalam 3 bulan pertama tugasnya, TPF menyimpulkan bahwa pembunuhan Munir adalah kejahatan konspiratif. Bukan kejahatan perseorangan atau pribadi.

Kemudian, pada ringkasan Laporan TPF yang diserahkan kepada SBY disebutkan bahwa pembunuhan Munir melibatkan pihak-pihak dalam Garuda Indonesia dan BIN.

TPF Munir merekomendasikan ke Presiden RI untuk memerintahkan Kapolri agar memdalami keterlibatan beberapa orang, yakni Indra Setiawan (Garuda), Ramelgia Anwar (Garuda), Hendropriyono (BIN), Muchdi PR (BIN), dan Bambang Irawan (BIN).

Dokumen TPF sudah di tangan SBY sejak tanggal 24 Juni 2005. Sayang, hingga jabatan SBY berakhir Oktober 2014 lalu, atau 9 tahun setelah dokumen TPF ditangannya, tidak ada tindak lanjut serius untuk mengungkap dalang pembunuhan Munir. Orang-orang yang disebut dalam dokumen itu tidak semuanya dipanggil, diperiksa dan dihadapkan ke pengadilan.

Muchdi PR, yang namanya disebut di dokumen itu, sempat dibawa ke pengadilan. Namun, Desember 2008, Muchdi malah divonis bebas.

Belakang, Februari 2016, muncul ribut-ribut soal hilangnya dokumen TPF itu. Kantor Sekretariat Negara mengaku tidak punya dokumen itu.

Karena itu, pada April 2016, KontraS menggugat Kemensetneg di Komisi Informasi Pusat (KIP). Tujuannya: mendesak Negara membuka dokumen itu ke Publik.

Kemudian, pada 10 Oktober 2016, KIP memenangkan gugatan kontraS. Artinya, Negara—dalam hal ini Kemensetneg—dituntut untuk membuka dokumen itu ke publik.

Ternyata itu tidak terjadi. Kemensetneg melakukan gugatan balik melalui PTUN. Dan ironisnya, Kamis (16/2) lalu, PTUN memenangkan gugatan Kemensetneg. Tidak hanya itu, PTUN juga membatalkan putusan KIP.

Lantas, bagimana nasib kasus Munir?

Sebetulnya, jika serius mau mengungkap kasus Munir, dengan mengacu pada kesimpulan dan rekomendasi TPF, sebetulnya tidak begitu rumit. Selama ada kemauan politik, Presiden Jokowi pasti melakukannya.

Tidak sulit melacak hasil temuan TPF itu. Salinannya ada dipegang oleh SBY. Bahkan, di internet juga ada (silahkan download di sini: http://indo-leaks.blogspot.co.id/…/dokumen-investigasi-kasu…). Jadi, ribut-ribut soal dokumen yang hilang bisa dipending dulu.

Masalahnya, adakah kemauan politik Presiden Jokowi untuk mengungkap dalang pembunuhan Munir?

Saat kampanye sebagai Capres di Pilpres 2014, Jokowi berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran di masa lalu. Termasuk kasus Munir, tentu saja. “Kasus HAM itu harus dituntaskan, (dicari) siapa yang bertanggung jawab,” kata Jokowi di hadapan pendukungnya, di Surabaya, (28/6/2014), seperti dikutip Tempo.co.

Kemudian, pada 8 Januari 2016, Jokowi kembali membuat janji. “Semuanya dituntaskan tahun ini,” kata Jokowi seperti dikutip Kompas.com.

Sayang, sudah 2 tahun lebih di tampuk kekuasaan, belum terlihat langkah-langkah politik Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Termasuk kasus Munir.

Masalahnya, Jokowi tersandera agenda politiknya. Sejak awal, bahkan saat berjuang untuk memenangi Pilpres, dia mengakomodasi orang-orang yang punya rekam jejak pelanggar HAM. Saya tidak perlu menyebut satu-satu, baca ini saja: http://www.bantuanhukum.or.id/…/35-jenderal-pendukung-joko…/.

Begitu juga dalam kasus Munir. Dua orang yang disebut di dokumen TPF, yakni Hendropriyono dan Muchdi PR, sekarang berada di barisan Pak Jokowi.

Inilah ironinya. Di satu sisi, Pak Jokowi menyatakan komitmen menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu. Tetapi di sisi lain, dia membuka pintu lebar-lebar bagi terduga pelanggar HAM di koalisi politik dan pemerintahannya.

Sekarang, ada wacana menyelesaikan kasus pelanggaran HAM melalui jalan non-yudisial, yakni Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Skenario ini bermasalah karena: pertama, proses non-yudisial ini dipimpin oleh seorang terduga pelanggar HAM, yakni Menko Polhukam Wiranto; dan kedua, proses ini terkesan mengabaikan aspek pengungkapan kebenaran, pemenuhan rasa keadilan, dan rehabilitasi korban.

Saya kira, DKN ini terkesan bukan hanya jalan pintas pemerintah untuk cari muka soal penyelesaian pelanggaran HAM, tetapi juga untuk melindungi aliansi/pendukung politiknya yang diduga terlibat kejahatan HAM berat di masa lalu. Ini jahat sekali!

Jadi, di penutup artikel ini, saya masih berharap Presiden Jokowi kembali pada komitmennya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Tentu saja dalam koridor hukum, pengungkapan kebenaran, dan pemenuhan rasa keadilan. [Berdikri Online]