Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Menghadapi Manuver Freeport

BENGKULU, PB - Jika merujuk ke UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, PT Freeport Indonesia (PTFI) seharusnya membangun pabrik pemurnian paling lambat 12 Januari 2014.

Namun, karena pemerintah saat itu lemah, Freeport tetap diberi celah untuk ekspor konsentrat melalui PP nomor 1 tahun 2014. Padahal, aspirasi rakyat saat itu sudah hampir bulat: ambil-alih Freeport.

Tanggal 11 Januari 2017, aturan relaksasi ekspor konsentrat itu berakhir. Dan PTFI belum selesai membangun smelter. Saat itu, pemerintah buru-buru mengeluarkan PP nomor 1 tahun 2017.

PP itu sebetulnya masih sangat moderat. PTFI tetap diberi ruang untuk ekspor konsentrat, asalkan bersedia mengubah Kontrak Karya (KK) menjad Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Paling yang agak mencerahkan dari beleid baru itu adalah kewajiban PTFI melepaskan 51 persen kepemilikan sahamnya. Tetapi divestasi itu tidak akan menjadi apa-apa kalau jatuh ke tangan swasta. Sebab, berkaca dari pengalaman sebelum-sebelum, swasta nasional akan pinjam uang ke pihak asing juga. Karena itu, divestasi saham PTFI harus terpastikan ke tangan BUMN sebagai representasi Negara.

Seturut dengan beleid itu, Freeport sudah mengajukan rekomendasi ekspor tanggal 16 Februari 2017. Besoknya, Dirjen Minerba menerbitkan rekomendasi ekspor untuk PTFI.

Belakangan, PTFI menolak rekomendasi ekspor itu. Perusahaan tambang emas terbesar di dunia itu tetap bersikukuh: diberi izin ekspor dan Kontrak Karya (KK) 1991 tetap berlaku. PTPI menolak ketentuan pemerintah, yakni divestasi 51 persen (maunya cuma 30 persen sesuai KK) dan pajak sesuai UU (prevailing law).

Berbagai manuver dilakukan PTFI untuk menggertak pemerintah Indonesia. Mulai dari ancaman merumahkan pekerjanya hingga menyeret Indonesia ke badan Arbitrase. Ini cara lama korporasi asing untuk mencekik kedaulatan negara merdeka.

Lantas, apa maunya perusahaan Amerika itu?

Saya kira, dengan mempertahankan KK mati-matian, kelihatannya PTFI hendak mempertahankan model bisnis yang lama. Model bisnis yang mereka nikmati sejak rezim militer mengambil kendali negeri ini. Model bisnis yang memposisikan diri mereka sebagai “Tuan”, sedang pemerintah negeri ini sebagai “Pelayan”.

Model bisnis itulah yang menyebutkan rakyat Indonesia, termasuk di Papua, hanya menikmati sejumput saja keuntungan dari eksploitasi tembaga, emas dan perak di perut bumi Papua. Sebagian besar dinikmati oleh Tuan Besar Freeport, pejabat pelayannya di Indonesia, dan aparat keamanan yang jadi centengnya.

Jadi, kalau Tuan Besar Freeport, Richard C. Adkerson, bicara tentang kontribusi PTFI terhadap Indonesia, antara lain dengan setoran Rp 214 triliun ke Indonesia, itu jangan ditelan mentah-mentah.

Faktanya, Papua tidak pernah keluar dari 5 besar provinsi termiskin di Indonesia. Kita juga kerap mendengar berita kelaparan yang mematikan saudara-saudara kita di Papua. Belum kita hitung kerusakan ekologis dan sosial akibat kehadiran Freeport di Papua.

Yang kedua, PTFI ingin Indonesia tetap sebagai negara “penyuplai bahan baku” dalam pembagian kerja internasional. Mereka ingin kita tetap menjadi negara “ekstraktivisme”, yaitu negara yang bergantung pada eksploitasi dan ekspor SDA. Tidak dibolehkan bergerak menjadi negara berbasis industri dan berpengetahuan maju.

Struktur ekonomi macam begini oleh Bung Hatta dinamai “ekonomi kolonial”. Jadi, dengan mempertahankan Indonesia sebagai pengekspor konsentrat, PTFI ingin mempertahankan warisan kolonial dalam struktur ekonomi Indonesia.

Kalau mau jujur, sejak awal kehadiran Freeport di Papua bermasalah. Banyak analisa orang terpelajar yang menyebut kehadiran PTFI sebagai “hadiah” rezim militer Indonesia atas andil barat (Amerika Serikat dan CIA) dalam menggulingkan pemerintahan nasionalis progressif Sukarno. Baca lengkapnya di sini: http://www.berdikarionline.com/freeport-dan-tonggak-neokolonialisme-di-indonesia/

Perlu diketahui juga, KK pertama Freeport itu cacat hukum. Pertama, KK itu diteken ketika Papua belum resmi masuk NKRI (pengakuan internasional). Ingat, Pepera baru dilakukan tahun 1969, itupun banyak tuduhan kecurangan. Kedua, Pejabat Indonesia yang meneken KK itu bukan Presiden legitimate, melainkan pejabat sementara Presiden, yaitu Suharto. Suharto resmi diangkap jadi Presiden pada 27 Maret 1968.

Jadi, model KK yang cacat hukum ini yang mau dipakai menjerat leher kami. Tidak bisa, dan tidak akan pernah. Jangan anggap Bangsa Indonesia hari ini persis sama dengan era Orde Baru.

Lantas, apa manuver yang akan dilakukan Freeport untuk terus mengikat kita dalam perjanjian bisnis yang merugikan kepentingan nasional kita.

Pertama, ancaman PHK terhadap pekerja. Seperti sebelum-sebelumnya, PTFI akan menggunakan cara ini untuk menggertak pemerintah pusat. PTFI juga akan berusaha merangkul dan mengatasnamakan tokoh masyarakat lokal. Saya kira, kita tidak asing lagi dengan politik divide et impera semacam ini.

Kedua, menyeret pemerintah RI ke badan Arbitrase. Cara ini lazim dipakai korporasi asing untuk melumpukan kedaulatan negara merdeka. Namun, Indonesia jangan gentar. Kita pernah menang di Arbitrase melawan Churchill Mining dan Newmont.

Ketiga, perjanjian stabilisasi investasi yang berpotensi mengikat pemerintah Indonesia kedepan. Nah, ini yang perlu juga untuk dicermati?

Perjanjian stabilisasi investasi adalah perjanjian perdata. Jika Indonesia dan PTFI meneken perjanjian ini, tentu sebagai subjek hukum perdata, ini akan membelenggu kewenangan Indonesia sebagai subjek hukum publik dalam membuat peraturan/UU.

Artinya, jika suatu hari nanti pemerintah Indonesia membuat aturan yang dianggap mengganggu bisnis PTFI, maka bisa dikatakan pelanggar perjanjian ini. Jadi, ini semacam jebakan batman.

Nah, menghadapi manuver itu, kita berharap pemerintah jangan gentar. Aspirasi rakyat yang sudah bulat menghendaki PTFI jatuh ke pangkuan NKRI harus diorganisasikan menjadi gerakan untuk mengawal pemerintahan Jokowi-JK bernegosiasi dengan bos-bos Freeport. Ini momentum untuk konsolidasi nasional, termasuk dengan saudara-saudara kita di Papua. Dan yang terpenting, ini momentum untuk menyatukan kekuatan bangsa dalam memperjuangkan tegaknya Pasal 33 UUD 1945. [Berdikari Online]