Rudi Hartono*
Meski kata-kata “keadilan sosial” itu umum dinyatakan dalam kehidupan kenegaraan, dari Dasar Negara, Konstitusi, kampanye politik, hingga acuan Undang-Undang, tetapi faktanya: Indonesia adalah negara dengan tingkat ketimpangan tertinggi di dunia.
Laporan terbaru Oxfam dan INFID, yang diterbitkan pada Kamis (23/2/2017), menyebut tingkat ketimpangan Indonesia berada di peringkat 6 terburuk di dunia.
Betapa tidak, menurut laporan tersebut, kekayaan 4 orang terkaya Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 40 persen atau 100 juta penduduk termiskin Indonesia.
Disebutkan juga bahwa sebanyak 49 persen dari total kekayaan Indonesia dikuasai hanya oleh 1 persen warga terkaya—termasuk 4 orang terkaya tadi. Sementara 51 persen diperebutkan oleh 99 persen penduduk.
Tentu ada yang bertanya, kenapa itu terjadi?
Akhir-akhir ini makin banyak yang khawatir dengan ketimpangan itu. Tidak terkecuali Presiden Joko Widodo dan Menteri-Menterinya. Jauh sebelum dilantik jadi Menkeu lagi, Sri Mulyani juga getol bicara ketimpangan.
Hanya saja, pembicaraan soal ketimpangan jarang dikaitkan dengan neoliberalisme. Padahal, sebagai panduan kebijakan ekonomi yang dominan sejak 1980-an, neoliberal berkontribusi banyak dalam memperparah ketimpangan.
Itu bukan pendapat saya saja. Tetapi Dana Moneter Internasional (IMF), lembaga yang sering dipersepsikan sebagai instrumen kapitalisme global, juga punya pendapat yang sama.
Bulan Mei 2016 lalu, tiga orang dari Departemen Penelitian IMF, yaitu Jonathan Ostry (Wakil Direktur), Prakash Loungani (Kepala Divisi) dan Davide Furceri (ekonom), menulis paper di majalah tiga bulanan IMF, Finance & Develovment.
Mereka menunjukkan bahwa banyak janji-janji neoliberalisme yang tidak ditepati. Sebagai misal, perluasan perdagangan global akan mengangkat jutaan orang dari lembah kemiskinan. Bahwa investasi asing akan menghasilkan transfer teknologi dan pengetahuan. Bahwa privatisasi akan mengefisienkan layanan publik dan mengurangi beban fiskal pemerintah.
Ternyata semua itu hanya mitos. Kebijakan neoliberal, seperti liberalisasi kapital, penghematan/pemangkasan belanja publik, dan privatisasi, telah memperparah ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi.
Saya kira, kesimpulan paper itu penting, karena diutarakan oleh orang-orang yang berkecimpung di IMF. Kesimpulan mereka telah memberi legitimasi akademis atas kritik-kritik yang dilontarkan banyak penentang neoliberalisme. Termasuk di Indonesia.
Di Indonesia, anda tidak sulit melihat jalinan antara neoliberalisme dan ketimpangan. Silahkan cek data perkembangan rasio gini Indonesia sejak akhir 1990-an hingga 2016. Di akhir 1990an, rasio gini Indonesia masih 0,29. Tetapi di tahun 2007 sudah 0,35. Dan 2015 sudah mencapai 0,41.
Bersamaan dengan itu, agenda neoliberal menderas lewat Letter of Intent (LoI)-nya IMF. Dan makin menggila dalam 2 periode kepemimpinan SBY: 2004-2014.
Mungkin ada yang bertanya, bagaimana bentuk konkret kebijakan neoliberal mendorong ketimpangan? Baiklah, saya beri beberapa contoh.
Satu, neoliberalisme mendorong privatisasi dan komoditifikasi barang-barang yang seharusnya dikuasai publik (common good), seperti tanah, air, hutan, pangan, dan lain-lain. Semuanya kemudian dikonversi menjadi milik korporasi besar.
Bayangkan, barang-barang yang sebelumnya gratis, yang keberadaannya sangat vital bagi kehidupan, tiba-tiba harus diakses dengan daya beli. Orang terpaksa merogoh kocek lebih banyak untuk mengakses barang-barang itu. Privatisasi menyebabkan mengalirnya uang orang miskin ke tangan pemilik korporasi besar.
Belum lagi, privatisasi sumber daya tersebut didahului dengan penyingkiran (exclusion) terhadap penduduk yang berdiam di atasnya. Mereka yang tersingkir ini rentan kehilangan sumber utama penghidupannya.
Dua, neoliberalisme mempromosikan perdagangan bebas barang dan jasa. Faktanya, liberalisasi perdagangan dan jasa menghancurkan usaha produksi dalam negeri: produksi berskala menengah/kecil (UMKM dan usaha rumah tangga), perdagangan berskala menengah/kecil, dan pertanian rakyat.
Dalam konteks itu, produsen skala kecil dan menengah akan dipaksa bersaing dengan produsen skala besar (korporasi besar) yang ditopang oleh teknik produksi yang lebih tinggi dan permodalan yang kuat. Imbasnya sudah jelas: produsen kecil dan menengah itu akan hancur-lebur. Yang terjadi, korporasi besar berjaya, sementara pemilik usaha kecil dan pekerjanya jatuh melarat.
Tiga, neoliberalisme mendorong privatisasi layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, listrik, air minum, kereta api, jalan umum dan lain-lain. Padahal, layanan publik itu menyangkut kebutuhan dasar manusia. Nah, setelah layanan publik dikomersialisasi, harga layanannya pun mengikuti mekanisme pasar. Akibatnya, golongan menengah ke bawah harus merogoh kocek lebih banyak lagi.
Empat, neoliberalisme mendorong liberalisasi investasi. Demi memanggil sebanyak-banyaknya investor asing, biasanya pemerintah menjanjikan kondisi atau iklim yang bersahabat dengan investasi, seperti upah murah, pasar tenaga kerja yang liberal (sistim kerja kontrak dan outsourcing), gerakan/serikat buruh lemah, dan lain-lain. Yang terjadi, buruh bukan hanya kehilangan daya-tawarnya, tetapi juga dipaksa hidup “race to bottom” (berpacu ke bawah) alias kemiskinan massal.
Lima, kebijakan pajak yang tidak adil. Biasanya juga, agar investor mau datang berbondong-bodong, pemerintah memberikan insentif berupa pengurangan (tax allowance) atau penghapusan pajak (tax holiday). Jadi, pebisnis-pebisnis besar itu diberi keringanan pajak. Ironisnya, pada sisi yang lain, rakyat banyak dipaksa membayar pajak lebih banyak. Hampir semua aktivitas hidup (ngongkrong, ke WC, belanja, parkir, dll) dipajaki.
Begitulah. Jadi, kalau mau memerangi ketimpangan, pemerintah harus mengoreksi kebijakan ekonominya yang berhaluan neoliberal. Sudah semestinya kita menerjemahkan pasal 33 UUD 1945 dalam bentuk kebijakan.
*Pimpinan Redaksi Berdikari Online