Pemilu Belanda, yang berlangsung 15 Maret kemarin, membawa banyak kejutan. Populisme kanan, yang baru-baru ini memicu Brexit di Inggris dan kemenangan Trump di Amerika Serikat, gagal bertahta di Negeri Kincir Angin.
Partai berhaluan fasis, yakni Partai Kebebasan (Partij voor de Vrijheid, PVV), terjungkal. Partai yang dipimpin oleh Geert Wilders ini harus puas di tempat kedua dengan 13,1 persen suara.
Kejutan penting lainnya adalah keberhasilan partai Kiri Hijau (GroenLinks) meraih dukungan suara yang sangat signifikan: 9 persen atau 14 kursi. GroenLinks terbentuk 1989 sebagai hasil fusi banyak partai kiri, seperti partai komunis, sosialis pasifis, partai radikal dan kristen kiri.
Menariknya lagi, sejak 2015 partai ini dipimpin seorang anak muda bernama Jesse Klaver. Dan yang tak kalah menariknya, pemuda berusia 30 tahun ini punya darah Indonesia. Ayahnya seorang Maroko, sedang Ibunya campuran Indonesia.
Sepak terjang politik Klaver tidaklah baru. Di usia 20 tahun, dia bergabung dengan sayap pemuda GroenLinks, de GroenLinkse jongerenorganisatie (DWARS). Di tahun 2010, Klaver masuk daftar caleg Groenlinks. Dan berhasil duduk sebagai anggota parlemen mewakili partainya.
Tahun itu juga dia dihitung sebagai politisi pendatang baru yang bermasa depan. Jurnalis politik Belanda mendaulatnya sebagai “political talent of the year”. Dia juga masuk kategori “lima politisi muda terbaik”.
Tahun 2015, Klaver mendapat mandat untuk memimpin partainya. Karena tampangnya mirip Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, Klaver sering disebut “Trudeu-nya Belanda”. Namun, dia sendiri menganggap dirinya lebih dekat secara politik dengan politisi Amerika Serikat, Bernie Sanders.
Dalam metode kampanye, Klaver dan partainya mencoba mengkombinasikan antara teknologi-informasi, terutama media sosial, dengan pengorganisasian massa di dunia nyata. Dia menggarap rapat umum di dalam ruangan, bincang-bincang politik, hingga pertemuan besar. Awalnya hanya 200-an orang, tetapi lama-lama berkembang jadi ribuan orang.
Tampilannya yang parlente, dengan lengan kemeja digulung dan celana panjang, Klaver berhasil menarik banyak kaum muda ke dalam partainya. Sejak menjabat ketua, partainya berhasil menambah 6.459 anggota baru. Sepertiga dari mereka berusia 30 tahun ke bawah.
Tetapi, sebenarnya, tumbuh-kembangnya partai ini banyak dipicu oleh bangkitnya populisme kanan di daratan Eropa. Mulai dari kasus Brexit, menguatnya partai fasis di Perancis, hingga terpilihnya Donald Trump di Amerika Serikat.
Di Belanda, populisme kanan diwakili oleh Geert Wilders dan partainya, PVV. Wilders sangat anti-Islam. Partai ini mengkampanyekan penutupan masjid, melarang peredaran Qur’an, dan mendeislamisasi Belanda.
Wilders, yang juga berdarah Indonesia, sangat segaris dengan Trump dan Le Pen di Perancis dalam beberapa hal: anti-imigran, xenophobia, islamophobia, dan chauvinis.
Klaver muncul sebagai antitesa dari Wilders: pro-imigran, pro-pluralisme, inklusif, dan anti-chauvinisme. Dalam ekonomi, dia menjanjikan kesetaraan dan perlindungan lingkungan. Dalam politik, dia mengadvokasi pluralisme dan kebebasan. Ketika bicara ketimpangan ekonomi, dia banyak mengutip ekonom Perancis, Thomas Pikkety.
GroeLinks sekarang menjadi kekuatan kiri terbesar di Belanda. Disamping partai Sosialis, yang punya tradisi maois, harus rela menerima penurunan suara tipis: dari 9,6 persen (15 kursi) di pemilu sebelumnya menjadi 9,1 (14) kursi di pemilu sekarang.
Pukulan terbesar dirasakan oleh partai sosial demokrat, yaitu partai Buruh (Partij van de Arbeid, PvdA). Partai berhaluan kiri-tengah ini benar-benar ditinggalkan pemilihnya: dari 24,8 persen (38 kursi) di pemilu sebelumnya menjadi tinggal 5,7 persen (9 kursi).
Memang, pemilu Belanda kali ini masih miliknya partai kanan. Empat partai peraih suara terbanyak semuanya kanan: Partai Rakyat untuk Kemerdekaan dan Demokrasi (VVD) pimpinan Mark Rutte sebesar 21,3 persen, PVV pimpinan Geert Wilders dengan 13,1 persen, Kristen Demokrat (CDA) dengan 12,5 persen, dan Demokrat 66 (D-66) sebesar 12 persen. [Raymond Samuel/Berdikari Online]