Sejak 1911, tahun pertama peringatan Hari Perempuan Sedunia, isu yang diangkat selalu mewakili persoalan besar yang dialami oleh kaum perempuan dan masyarakat luas.
Tahun ini, dunia sedang diperhadapkan dengan persoalan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Bayangkan, 70 persen orang miskin di dunia ini adalah perempuan. Situasi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Indonesia.
Kemiskinan berdampak serius terhadap perempuan. Sebab, kemiskinan berarti berkurangnya akses terhadap pendapatan dan sarana-sarana kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, pangan, sandang, dan lain sebagainya. Kemiskinan terhadap perempuan juga akan semakin mengukuhkan ketidaksetaraan.
Kemiskinan dan ketiksetaraan berjalin erat. Mereka yang tidak setara di dalam masyarakat berarti mereka juga kurang punya akses kekuasaan, uang/pendapatan, tanah, layanan publik, perlindungan dari kekerasan, dan ruang politik. Artinya, perjuangan untuk kesetaraan harus bergandengan erat dengan perjuangan menghapus kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.
Di Indonesia, seperti dicatat BPS, dari sekitar 28 juta orang miskin di Indonesia, sekitar 63 persen tinggal di pedesaan. Dari jumlah itu sebagian besar adalah perempuan. Tekanan kemiskinan membuat banyak anak perempuan desa dijerat pernikahan usia dini. Belum lagi, kemiskinan juga mendorong KDRT, perdagangan perempuan, kekerasan seksual, dan lain-lain.
Ketidakadilan dan alienasi sosial juga memberi lahan subur bagi menguatnya intoleransi dan fundamentalisme agama. Situasi yang juga menyebabkan menguatnya kekerasan-kekerasan intoleran yang menyasar kaum minoritas, baik minoritas agama maupun minoritas sosial seperti LGBT.
Kenapa perempuan rentan terhadap kemiskinan? Karena perempuan masih dibelenggu oleh patriarki. Masyarakat patriarkal menganggap perempuan hanya sebagai “pengurus rumah tangga”. Ini membawa rentetan konsekuensi.
Pertama, peluang perempuan di dunia kerja masih kecil. Hanya 51 persen perempuan Indonesia berusia 15 tahun ke atas menjadi bagian tenaga kerja. Bandingkan dengan laki-laki yang mencapai di atas 80 persen.
Kedua, perempuan dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi. Data BPS menyebutkan, sebanyak 75,69 persen perempuan usia 15 tahun ke atas hanya berpendidikan tamat SMP ke bawah. Bahkan, semakin tinggi tingkat pendidikan, persentase partisipasi pendidikan perempuan semakin rendah: SMA (18,59 persen), diploma (2,74 persen), dan universitas (3,02 persen).
Ketiga, perempuan hanya dianggap sebagai “pencari nafkah tambahan” di dunia kerja. Sebab, anggapan patriarkal yang menganggap laki-laki sebagai pencari nafkah utama. International Labor Organization (ILO) mencatat gender pay gap di Indonesia pada tahun 2012 menyentuh angka 19 persen.
Kemiskinan dan ketimpangan juga memberi imbas pada kekerasan terhadap perempuan. Baik kekerasan di ranah privat (pasangan/rumah tangga), komunitas maupun negara. Dalam konteks negara, konflik agraria maupun perburuhan sering menyasar kaum perempuan.
Karena itu, di Peringatan Hari Perempuan Sedunia 2017 ini, Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini menuntut:
Pertama, program pengentasan kemiskinan harus punya perspektif keadilan gender. Negara harus mendekatkan akses modal, keterampilan, dan pekerjaan kepada perempuan.
Kedua, sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Ketiga, negara harus hadir untuk melindungi perempuan dari kekerasan, diskriminasi dan perdagangan perempuan.
Jakarta, 8 Maret 2017
Minaria Christyn Natalia, Ketua Umum API Kartini