Ratusan perempuan menggelar Women’s March di depan Istana Negara, Sabtu (4/3/ 2017). Acara dimeriahkan dengan pementasan musik Sister in Danger, tari Rejang Shanti dari Bengkel Tari Ayu Bulan, pembacaan puisi dan sejumlah orasi.
Aksi ini merupakan respon sejumlah aktivis perempuan atas aksi 21 Januari, ketika orang-orang dari seluruh dunia menghadiri Women’s March di Amerika untuk memprotes ketidaksetaraan perempuan dan diangkatnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat. Saat itu Indonesia tidak ikut ambil bagian dalam aksi tersebut. Hanya ada pergerakan kecil di seputaran Semanggi yang dilakukan oleh sekitar 25 orang, namun luput dari perhatian media.
Kate Walton, salah satu panitia penyelenggara, mengatakan, Women’s March Jakarta dipicu oleh apa yang terjadi secara internasional, tetapi memiliki tujuan sendiri. Women’s March Jakarta bukan untuk memprotes Donald Trump secara khusus, melainkan memprotes keadaan politik saat ini di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
“Saat kita tidak terlibat aktif dalam Women’s March Januari lalu, bukan berarti isu gender di Indonesia tidak bermasalah. Faktanya Forum Ekonomi Dunia menempatkan Indonesia di peringkat ke-88 dari 144 negara dalam masalah kesetaraan gender,” papar Kate.
Masruchah, salah seorang Komisioner Komnas Perempuan dalam orasinya menyampaikan bahwa Indonesia sedang mengalami darurat kekerasan terhadap perempuan. Angka kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat setiap tahunnya.
“Data tahun 2012 yang dikumpulkan oleh Forum Pengada Layanan, mitra Komnas Perempuan menyatakan bahwa setiap 2 jam 3 perempuan mengalami kekerasan seksual. Sedangkan hasil kompilasi data, dalam kurun lima tahun terakhir angka kekerasan seksual adalah 5.800 kasus per tahunnya. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia memiliki masalah terkait kesetaraan gender dan isu-isu perempuan, “ tegasnya.
Pada bagian lain orasi, Musdah Mulia mengingatkan seluruh peserta aksi akan bahaya intoleransi yang semakin menguat di Indonesia. Ancaman intoleransi ini terlihat pada munculnya banyak Perda-Perda yang diskriminatif terhadap perempuan, termasuk Perda dan Qanun Syari’ah di Aceh.
“Mengapa kita harus mewaspadainya, karena perempuan adalah kelompok paling rentan dari bahaya intoleransi ini. Jika tidak berhati-hati, maka nasib perempuan di Indonesia akan seperti nasib perempuan di Taliban,” tutur Musdah.
Oleh karena itu, dalam kesempatan tersebut Musdah Mulia mengingatkan agar bangsa Indonesia kembali kepada semangat keberagaman dan menuntut pemerintah untuk serius untuk menghapus sejumlah Perda yang diskriminatif terhadap perempuan.
Dalam pernyataan sikapnya sejumlah aktifis perempuan yang tergabung dalam Women’s March Jakarta memiliki 8 tuntutan kepada pemerintah Indonesia, yakni:
Pertama, menuntut Indonesia kembali ke toleransi dan keberagaman.
Kedua, menuntut pemerintah mengadakan infrastruktur hukum yang berkeadilan gender.
Ketiga, menuntut pemerintah dan masyarakat memenuhi hak kesehatan perempuan dan menghapus kekerasan terhadap perempuan.
Keempat, menuntut pemerintah dan masyarakat melindungi lingkungan hidup dan pekerja perempuan.
Kelima, menuntut pemerintah membangun kebijakan publik yang pro-perempuan dan pro-kelompok marjinal lain, termasuk perempuan difabel.
Keenam, menuntut pemerintah dan partai politik meningkatkan keterwakilan dan keterlibatan perempuan di bidang politik.
Ketujuh, menuntut pemerintah dan masyarakat menghormati dan menghapus diskriminasi terhadap kelompok LGBT.
Delapan, menuntut pemerintah dan masyarakat lebih memperhatikan isu global yang berdampak pada perempuan, serta membangun solidaritas dengan perempuan di seluruh dunia.
Siti Rubaidah
Foto: Hollaback Jakarta
Sumber: Berdikari Online