Siapa yang tak kenal dengan lagu “Buruh Tani”. Lagu ini selalu dinyanyikan di setiap aksi-aksi demonstrasi hingga saat tulisan ini dibuat. Diciptakan pada tahun 1996 dan baru booming pada tahun 1997.
Siapakah penciptanya?
Tak banyak orang tahu, dan sepertinya tak ada yang berusaha mencari tahu. Coba lihat di YouTube, tidak ada seorang pengunggah pun yang mencantumkan nama penciptanya, atau paling tidak tulislah “NN” (tanpa nama atau tidak diketahui namanya). Ini adalah kode etik ketika seseorang meng-copy sebuah karya orang lain.
Nama penciptanya adalah Safi’i Kemamang. Seorang pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, 5 Juni 1976. Saat dihubungi, Safi’i mengatakan bahwa judul lagu tersebut sebenarnya bukan “Buruh Tani”, melainkan “Pembebasan”.
Apa yang melatarbelakangi terciptanya lagu “Pembebasan”?
Saat lagu Pembebasan dibuat, Safi’i sudah tergabung dengan PRD (Partai Rakyat Demokratik) di wilayah Jawa Timur, yang waktu itu masih bergerak di bawah tanah. Namun ia terpaksa harus muncul legal saat KNPD (Komite Nasional Perjuangan Demokrasi) dibentuk mengingat tidak ada yang mau, akibat trauma peristiwa KUDATULI (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) pada tahun 1996.
Pada saat itu, di tengah-tengah represifitas sebuah rezim, Safi’i maupun kawan-kawannya yang lain butuh penyemangat. Safi’i menyadari, perjuangan politik tanpa musik akan terasa garing (kering). Ia tahu, Soeharto tidak berdiri sendiri. Penguasa Orde Baru itu terkait erat dengan kekuatan yang lain. Satu-satunya solusi untuk menghadapinya adalah perlunya persatuan di antara mereka. Persatuan yang paling mungkin adalah antara buruh, tani, mahasiswa, dan kaum miskin perkotaan. Mengapa? Golongan inilah yang paling merasakan dan menjadi korban dari segala kebijakan yang diambil oleh Sang Rezim.
“Intinya, harus membuat garis penghubung yang jelas antara semangat, persatuan dan aksi yang mampu menjaga konsistensi perjuangan. Dan salah satu instrumen untuk menjaga garis konsistensi tersebut adalah syair dan musik,” imbuhnya.
Menurut Safi’i, secara personal ia tidak terlahir dari keluarga musisi. Tetapi murni sebagai keluarga petani yang sangat menderita pada saat itu. Tidak jelasnya masa depan pertanian membuat kedua orang tuanya harus pergi meninggalkan sawah dan kebun mereka, pergi merantau ke kota menjadi kaum Urban. Sejak saat itu mulai timbul ketidakterimaan dalam dirinya.
“Saya baru mulai mengenal bermain gitar ketika duduk di bangku STM. Musik-musik perjuangan dari negeri lain, saya tidak tahu. Baik karena susahnya akses, juga karena faktor penguasaan bahasa asing-ku yang buruk. Satu-satunya referensi hanya lagu perjuangan dalam negeri, seperti Halo-Halo Bandung, Garuda Pancasila, dan sebagainya,” tambahnya.
Tentang lirik lagu “Pembebasan”
Selain judul lagu yang banyak orang tidak tahu, lirik lagu yang kerap kita dengar pun melenceng dari aslinya. Entah siapa yang mula-mula merubahnya. Dari beberapa video yang diunggah di Youtube, kebanyakan mereka mengambil dari salah satu video versi akustik yang dinyanyikan oleh beberapa laki-laki dan perempuan (tertulis dalam judul video tersebut: Marjinal – Buruh Tani).
Nah, video inilah yang mereka jadikan referensi untuk mengunggah video-video selanjutnya dengan mengambil musiknya saja, lalu mengganti visualnya dengan foto-foto aksi atau video aksi. Rata-rata mereka memberi judul pada videonya: Marjinal – Buruh Tani, sehingga akan kita temukan banyak sekali video dengan judul yang sama. Kalau mereka ingin menyanyikannya sendiri (tidak mengambil musik dari video tersebut), maka pada judul video akan tertulis: “Marjinal – Buruh Tani (Cover: nama penyanyi)” atau “Nama si pembawa lagu – Cover Marjinal”.
Di sini, seolah-olah Marjinal-lah Sang Pencipta Lagu. Dan karena liriknya tidak sesuai dengan aslinya, maka hasilnya pun sama semua. Begitu pun yang terjadi saat aksi demonstrasi atau asal bernyanyi di segala tempat, orang membawakan lagu tersebut dengan lirik yang tidak sesuai dengan aslinya. Jadi salah kaprah. Semua seolah berkiblat pada sebuah video dengan judul yang tertulis: Marjinal – Buruh Tani.
Begini lirik lagunya:
Buruh, tani, mahasiswa, rakyat miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terciptanya masyarakat sejahtra
Terbentuknya tatanan masyarakat
Indonesia baru tanpa Orba
Marilah kawan mari kita kabarkan
Di tangan kita tergenggam arah bangsa
Marilah kawan mari kita nyanyikan
Sebuah lagu tentang pembebasan
Di bawah kuasa tirani
Kususuri garis jalan ini
Berjuta kali turun aksi
Bagiku satu langkah pasti
Dan ini lirik aslinya:
Buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terbebasnya massa rakyat pekerja
Terciptanya tatanan masyarakat
Demokrasi sepenuhnya
Marilah kawan mari kita kabarkan
Di tangan kita tergenggam arah bangsa
Marilah kawan mari kita nyanyikan
Sebuah lagu tentang pembebasan
“Lagu ini saya ciptakan di Surabaya pada akhir tahun 1996, dan mulai kuajarkan kepada kawan-kawan: ke Riski, Dominggus, dan lain-lain, sejak awal 1997,” ungkapnya.
Bagaimana Kabar Sang Pencipta Lagu “Pembebasan” saat ini?
Safi’i kini tinggal bersama istri dan anak-anaknya di Negara Timor Leste sejak Provinsi Timor Timur itu dinyatakan merdeka dari Indonesia. Selain bekerja sebagai staf ahli di kementerian, aktivitasnya sehari-hari tetap seperti dulu saat berjuang bersama PRD, yaitu mengorganisir dan membangun organisasi massa perlawanan rakyat Timor Leste.
“Saat ini yang menjadi fokus pengorganisiran adalah mahasiswa dan kaum miskin perkotaan dengan menggunakan strategi Gerilya Kota (Guerilha Urbana),” terangnya.
Selamat berjuang dan teruslah berjuang, Bung. Semoga tetap konsisten di garis massa dengan suara-suara kritismu!
Tari Adinda, pengurus Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker)
Sumber: Berdikari Online