Maya Pransiska, M.Pd*
Secara harfiah budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap daerah memiliki ciri khas budaya masing-masing.
Dalam pesta pernikahan masyarakat Bengkulu Selatan, jika mengadakan acara adat, namanya adalah “Bimbang Adat”. Pada acara bimbang adat ini prosesi yang dilakukan antara lain Seni Dendang, Gegerit, Makan Sepagi, Numbak Kebau, dan Tari Palak Tanggau.
“Gegerit” merupakan salah satu budaya warisan nenek moyang bumi Sekundang Bengkulu Selatan yang diadakan saat pesta pernikahan (bimbang adat).
Orang Bengkulu Selatan asli pasti tahu dan mengenal yang namanya Gegerit ini. Kalau pada malam hari sayup-sayup kita mendengar alunan bunyi kelintang maka biasanya ada acara Gegerit yang sedang diadakan pada suatu pesta pernikahan warga Bengkulu Selatan.
Alunan bunyi musik kelintang ini biasanya dipadu dengan ketukan bunyi rabana. Kedua musik ini berpadu indah mengiringi gerakan penari dalam acara tari Andun. Kita yang mendengar alunan musik kelintang dan rebana ini seakan diajak terhanyut dalam ketukan khas nada indahnya.
Gegerit diambil dari kata “gerit” dalam bahasa suku Serawai yang berarti menghilangkan rasa gerit/kesemutan pada anggota badan kedua pengantin yang sudah duduk lama dalam peghumput tempat acara Seni Dendang untuk diajak nari Andun. Acara Gegerit dalam bimbang adat ini digandeng dengan acara Seni Dendang.
Menurut para orang tua, kalau mengadakan Gegerit maka harus ada Seni dendangnya, tapi kalau acaranya Seni dendang saja boleh tidak ada Gegeritnya. Dalam acara Gegerit, proses seni dendangnya dilakukan sampai pada “Mutus Tari”, biasanya tari yang dilakukan adalah tari Payung, tari Redok, tari Kain Panjang, dan tari Rendai.
Seni dendang dilakukan untuk menghibur para orang tua, sedangkan tari Andun dilakukan untu k hiburan yang muda-mudinya.
Kedua pengantin yang sudah diakadnikahkan dibawa ke sebuah arena/lapangan luas untuk diajak menari bersama para bujang gadis. Kedua pengantin didudukkan di atas kasur (bukan kursi) di sebuah tempat yang namanya “Atar-atar”.
Atar-atar itu diberi atap/ditutupi dengan daun niur, sebagai tempat peristirahatan penganten sebelum dan sesudah nari Andun. Di sini kedua pengantin duduk bersama para gadis penari, sedangkan para bujang duduk di luar atar-atar.
Pakaian pengantin lanang adalah kemeja putih yang dilapisi dengan jas hitam (dengan bunga dalam kantong jas dan diberi hiasan rantai kecil), bagian kepala memakai peci lancip yang disebut dengan “Gitar” yang terbuat dari kain songket, dan bagian bawahnya memakai celana dasar hitam dilapisi kain songket.
Sedangkan pakaian pengantin perempuan/bunting adalah baju bludru merah dan kain songket. Hiasan kepala bunting disebut dengan “Tajuak” yang terbuat dari tembaga berwarna kuning keemasan dengan banyak sunting yang menghiasi.
Pada prosesi acara Gegerit bimbang adat ini dilakukan kegiatan tari adat yang disebut dengan “Tari Andun”. Andun menurut para orang tua berarti pergi berandunan (bersama-sama) ke rumah orang bimbang/nikah.
Tari andun digunakan sebagai tempat pertemuan para bujang gadis sebagai ajang kenalan dan cari jodoh. Selain itu sebagai wujud perpisahan sepasang pengantin dengan kawan-kawannya semasa lajang.
Gerakan tari Andun ini hanya ada 3 macam, yaitu:
1. Naup; yaitu kedua tangan ditarik kesamping sejajar bahu (gadis) dengan keempat jari tangan seperti mengepal bertumpu pada jari jempol. Sedangkan para bujang tangannya sejajar telinga membentang seperti bentuk tanduk kerbau. Maju 4 langkah, mundur 4 langkah sambil terus berbelok 4 penjuru (depan, belakang, kanan, dan kiri). Makna gerakan “Naup” ini adalah doa semoga sepasang pengantin dapat meraup banyak rezki, hidup rukun, kompak, dan keempat jari yang bertumpu pada jari jempol tadi bermakna kepatuhan istri pada suami sebagai imamnya.
2. Mbuka; yaitu seluruh jari dibuka dengan telapak kanan menghadap ke luar. Gerakan kakinya tetap maju 4 langkah dan mundur 4 langkah . Makna gerakan ini adalah sebagai doa semoga terjalin keterbukaan antara suami istri dalam mengarungi hidup berumah tangga.
3. Nyentang/nyengkeling; gerakan ini menggunakan property selendang. Nyentang adalah gerakan para gadis yang membentangkan selendangnya selebar-lebarnya tangan, menutupi kedua buah dada. Makna gerakan nyentang ini yaitu adanya keterikatan bathin antara suami istri yang sedang menikah dan diharapkan sang istri dapat menjaga kehormatannya hanya untuk suaminya saja. Sedangkan Nyengkeling adalah gerakan pengantin lanang dan para bujang yang menarik tangannya ke belakang sambil membentangkan selendang. Gerakan nyengkeling ini bermakna bahwa seorang suami harus dapat melindungi hidup istrinya dan bermakna juga bahwa seorang istri sudah berada dalam ikatan suaminya.
Tari Andun dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Tari Kebanyakan;
Tari kebanyakan ini maksudnya adalah semua warga menari serempak tanda dimulainya acara Gegerit. Tari kebanyakan ini juga dibagi menjadi 2 tahap, yaitu:
~ tahap pertama dimulai dengan pengantin Lanang menari di tengah-tengah dikelilingi para lelaki baik tua maupun muda yang membentuk lingkaran/melingkar. Menari dengan aturan langkah kaki maju 7 langkah dan mundur 3 langkah sambil terus berkeliling sampai kembali lagi ke tempat semula berdiri tadi.
~ tahap kedua pengantin perempuan (bunting) menari di tengah-tengah dikelilingi para perempuan, baik ibu-ibu maupun gadis juga membentuk lingkaran. Aturannya tetap sama menari dengan aturan langkah kaki maju 7 langkah dan mundur 3 langkah sambil terus berkeliling sampai kembali lagi ke tempat semula berdiri tadi.
2. Tari Lelawanan;
Pada tari lelawanan ini sepasang pengantin beristiratat di atar-atar, giliran bujang gadisnya yang menari berpasang-pasangan. Biasanya bujang gadis menari serempak dua pasang. Para bujang memilih sendiri gadis yang diinginkannya untuk menari bersamanya dengan perantara”bujang inang” yang menyampaikan pada gadis yang diinginkan. Pada tari Lelawan ini sang bujang menari di depan sang gadis. Bujang gadis menari berpasangan tetapi tidak boleh berhadapan, mereka menari dibatasi dengan tiang pembatas yang disebut dengan “Lunjuak”. Kalau sampai berhadapan maka bujang gadis itu akan kena sanksi adat atau istilahnya “Tejambar”.
Aturan langkah kaki penari adalah maju 4 langkah mundur 4 langkah sambil berbelok sampai 4 penjuru/arah. Untuk pakaian yang dipakai para bujang adalah kemeja putih dilapisi jas hitam, kain sarung dan memakai peci hitam. Sedangkan para gadisnya memakai kebaya belah depan, berkain panjang, dan rambut memakai sanggul tempel.
Pada tari Lelawan ini para bujang gadis menari dengan suka cita terus bergiliran sampai semua gadis mendapatkan giliran menari. Terkadang di tari Lelawan inilah para bujang gadis berkenalan dan saling jatuh hati.
3. Tahap ketiga;
Selesai tari Lelawanan bujang gadis, kembali pengantin dan bunting menari. Tapi kali ini pengantin menari dengan mantan pacarnya saat bujang, tetapi izin dulu dengan bunting. Setelah itu giliran bunting yang menari dengan mantan pacarnya saat gadis dulu, dan tentu saja izin juga dulu dengan pengantin lanang. Tahap ini bisa dikatakan sebagai bentuk perpisahan sepasang pengantin pada mantan-mantan pacar mereka, dengan syarat tidak boleh mengulang lagi masa pacaran dengan mantan itu.
Selesai tahapan acara Gegerit ini, maka acara diakhiri dengan pembagian lemang untuk para bujang gadis. Lemang itu sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang tanda mereka sudah berperan serta dalam acara Gegerit itu. Bujang gadis pulang ke rumah mereka dan sepasang pengantin dibawa masuk ke rumah lagi.
Keesokan harinya bimbang dilanjutkan dengan prosesi “Numbak Kebau”. Acara numbak kebau ini diawali dengan acara “Makan Sepagi” yaitu tuan rumah mengajak masyarakat/tamu undangan untuk makan kue (juadah).
Selanjutnya sepasang pengantin dibawa ke arena tari tempat tari andun semalam. Sebelum mulai acara, muka bunting masih ditutupi dengan “Singal panjang” sampai ke pinggang. Kalau tidak pakai singal panjang maka ditutup dengan selendang warna merah. Tutup muka ini dibuka setelah nari kebanyakan.
Seekor kerbau yang sudah ditutup mata dan telinganya disiapkan bersama dengan ayam jago dan niur/kelapa untuk santan gulai hari jamuan itu.
Acara berikutnya adalah tari kebanyakan lagi, hadirin menari Andun dengan menari 7 putaran mengelilingi kerbau tadi. Pada putaran ketujuh, kerbau tadi ditombak. Kalau dulu memang ditombak dengan tombak baja tapi sekarang hanya dengan 7 batang lidi kelapa hijau, sebagai tanda kerbau tadi sah untuk disembelih dimasak bersama ayam jago dengan menggunakan kelapa untuk santannya sebagai lauk bimbang adat hari itu.
Selesai acara Numbak Kebau, sepasang pengantin beristirahat di atar-atar. Sementara kaum tua-tua memasak gulai, yang muda-mudanya menari Andun sebagai hiburan sambil menunggu gulai masak. Tari Andun baru berhenti kalau sudah ada panggilan dari tua kerja yang mengatakan bahwa gulai sudah masak.
Ketika sudah ada panggilan dari tua kerja, pengantin dibawa ke rumah. Tetapi masih ada prosesi terakhir yaitu “Tari Palak Tanggau” yang maknanya mertua dan ipar-ipar menyambut sepasang pengantin dan mengumumkan pada khalayak ramai bahwa pengantin baru itu sudah sah menjadi bagian dari keluarga mereka. Selesai tari Palak Tanggau, acara dilanjutkan dengan acara jamuan makan bersama. Dengan berakhirnya acara jamuan maka selesai pula acara bimbang adat hari itu.
Semoga acara bimbang adat ini terus terjaga dan dilestarikan di bumi sekundang Bengkulu Selatan ini. Sebagai generasi penerus, cintailah adat budaya yang diwariskan nenek moyang kita ini. Jangan malu mempelajari tari Andun dan seni Dendang. Karena kalau bukan kita penduduk Bengkulu Selatan, maka siapa lagi yang melestarikannya?
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk terus melestarikan kebudayaan Gegerit dan Andun ini, antara lain:
1. Masyarakat:
a. Pada pesta pernikahan anaknya, hendaknya lebih mengutamakan mengadakan acara adat seperti Gegerit, Andun, dan Seni Dendang ini daripada mengadakan acara organ tunggal.
b. Saat mengadakan acara HUT kemerdekaan RI yang biasanya mengadakan berbagai lomba, hendaknya diadakan juga lomba Tari Andun dan Seni Dendang.
c. Para orang tua/ datuk nenek terus mengajarkan cara menari Andun dan Dendang pada cucu atau putra-putrinya di rumah mereka.
*Penulis adalah keturunan asli Kota Manna yang lahir di Manna, 1 Januari 1980. Penulis adalah PNS sebagai guru Bahasa Indonesia di SMPN 1 Bengkulu Selatan. Penulis tinggal bersama keluarga kecilnya di Jl. Buldani Masik, Ibul Kota Manna Bengkulu Selatan. Email: pransiskamaya@yahoo.co.id