Kisah Jenuk Pimpinan Perkumpulan Puyang Serunting
Pada Tanggal 14 Februari 1941, pasukan payung tentara Jepang diterjunkan di lapangan terbang Talang Betutu Palembang, terus menuju kota Palembang tanpa perlawanan, karena tentara Belanda sudah mundur. Dari Palembang tentara Jepang terus bergerak melalui jalan darat, menguasai Curup.
Pada tanggal 24 Februari 1942, pasukan Jepang dengan kendaraan perang dan logistik di bawah pimpinan Kolonel Mamsuki Keresidenan Bengkulu mengepung Belanda tanpa perlawanan. Prajurit KNIL Kerajaan Belanda yang biasanya begitu gagah dan bengis dalam memperlakukan rakyat Bengkulu mundur ketakutan. Mereka berlari menyelamatkan diri ke Bintuhan dan dengan kapal mereka menuju Australia.
Pada awalnya rakyat Bengkulu merasa lega, karena Belanda telah menyerah pada Jepang, sesama bangsa Asia. Rakyat Bengkulu mengira Jepang bertindak sebagai pembebas. Namun harapan itu seakan hanyalah mimpi. Ibarat keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya. Tentara Jepang bertindak lebih bengis dan kejam. Stasiun Radio disegel, surat-surat keluar diperiksa. Berbicara harus berhati-hati. Rakyat dipaksa bekerja tanpa upah atau Romusha. Harta benda dirampas, padi, palawija atau apapun yang dihasilkan rakyat harus diserahkan pada Jepang.
Kempetei (Polisi Militer Jepang) bertindak lebih kejam lagi. Ada dua orang pimpinan Kempetei Jepang yang sangat kejam, bernama Kakida dan Fukuda. Mereka merekrut orang-orang untuk menjadi kaki tangannya. Banyak sudah tokoh-tokoh masyarakat dan warga biasa yang ditangkap, kemudian dihukum pancung karena dianggap membangkang. Salah satunya adalah Masawang dari Padang Ulak Tanding. Kepalanya dipancung. Kemudian ditancapkan beberapa hari di depan Benteng Malaorough.
Perkumpulan-perkumpulan warga selalu diawasi dan dimata-matai. Di Alas Maras dan sekitarnya ada sebuah perkumpulan yang bernama Perkumpulan “Puyang Serunting”. Perkumpulan itu bergerak dalam berbagai bidang. Pertanian, perdagangan dan Beladiri. Jepang merasakan perkumpulan itu sangat mengancam Jepang. Maka seluruh anggota perkumpulan Puyang Serunting ditangkap. Laki-laki maupun perempuan di bawa ke Bengkulu dengan menggunakan beberapa truk Jepang. Mereka diinterogasi.
Karena tidak ada bukti pembangkangan, mereka dilepaskan. Dengan syarat membubarkan perkumpulan, tidak ada aktifitas bela diri dan menyerahkan Pimpinan Perkumpulan Puyang Serunting yang bernama “Jenuk” sebagai tumbal dan peringatan. Akhirnya hanya Jenuklah yang masih ditahan oleh Jepang. Jepang memberikan hukuman pancung kepada Jenuk.
Saat Algojo mulai beraksi dengan samurai, menebas kepala Jenuk. Ternyata pedang Samurai itu patah dan tak bisa melukai kulit leher Jenuk. Karena beberapa kali di coba dengan samurai lain juga hasilnya sama. Maka Jenuk pun akan dihabisi dengan hukuman tembak. Saat Regu tembak memuntahkan peluru dari senapan, tak sebutir peluru pun yang bisa menembus tubuh Jenuk. Bahkan di berondong dengan senapan mesin Type 92 heavy machine gun pun Jenuk tidak roboh, semua peluru seakan membentur tembok dari karet tebal.
Pihak Jepang seakan kehabisan akal. Namun Fukuda, pimpinan Kempetai Jepang di Bengkulu lebih cerdik. Anggota perkumpulan Puyang Serunting ditangkap lagi dan disiksa. Agar Jenuk memberitahukan kelemahannya. Kempetai Jepang mengancam akan menembak satu persatu anggota Puyang Serunting bila Jenuk tetap bertahan.
Jenuk tak sampai hati mengorbankan anggotanya. Jenuk meminta pihak Jepang untuk melepaskan anggota Puyang Serunting. Setelah semua anggota Puyang Serunting dibebaskan, barulah jenuk memberitahukan kelemahannya.
Sesuai informasi dari Jenuk kepada pihak Jepang tentang kelemahannya. Maka Jenuk dimasukkan ke dalam karung goni. Diikat dengan kuat, kemudian dengan menggunakan perahu, dibawalah Jenuk yang sudah berada dalam karung ke tengah laut. Di tengah laut karung berisi tubuh Jenuk tadi ditenggelamkan dengan memberikan batu besar sebagai pemberat. Akhirnya Jenukpun tewas. Pihak Jepang lega. Bagi Jepang itu adalah sebuah peringatan untuk mempertegas kekuasaannya. Agar rakyat Bengkulu tak berani menentang Jepang.
Jasad Jenuk berhari-hari dibiarkan di dalam air laut. Jenuk, orang biasa yang rela menukarkan nyawanya untuk menyelamatkan ratusan jiwa anggota Perkumpulan Puyang Serunting. [Elvi Ansori/Komunitas Ayo Menulis Bengkulu]