BENGKULU SELATAN, PB – Meski dalam polemik dan ‘sengketa’ dengan pihak TNI AU, ternyata ada sebagian masyarakat Pagar Dewa yang tinggal di lokasi yang sering disebut Lapter II memiliki legalitas kepemilikan tanah yang jelas.
Baca juga : Soal Lapter II, Warga Minta Dirwan Ingat Janji Kampanye
Terbukti sebagian lahan yang dikuasai oleh penduduk Pagar Dewa yang katanya tinggal di lahan Lapter II memiliki Sertifikat Hak Milik yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Tokoh Masyarakat Desa Pagar Dewa, Sapli yang juga Kepala Desa Ke-2 sejak berdirinya Desa Pagar Dewa atau periode 1991-1999.
“Kalau yang di sekitar sini, rata-rata sudah memiliki sertifikat. Dulunya sebenarnya sudah ada semua sertifikatnya, tapi banyak yang tidak ditebus di Kantor Pertanahan. Rumah saya ini ada sertifikatnya, dikeluarkan tahun 1988. Sebenarnya saya mau kasih lihat, tapi kebetulan sertifikat saya lagi digadaikan di Bank. Kalau tidak salah, sejak sekitar tahun 1994 Kantor Pertanahan tidak mau lagi mengeluarkan sertifikat di seputaran sini,” ujar Sapli yang kelahiran asli Desa Pagar Dewa pada 2 April 1958 silam.
Sebagai contoh, Lanjut Sapri, beberapa nama warga Pagar Dewa yang memiliki sertifikat lahan di Lapter II di antaranya Mudin, Rustam, Aidin Basrin, Adi, Maryoto, Baswardin, Bukhari, Jailani, Resunip, Hamid, Nopian, Sibueya dan Yurman.
“Sebenarnya masih banyak, tapi saya lupa,” tambah Sapli.
Diakuinya, bahwa lahan Lapter I memang sudah memiliki sertifikat atas nama kepemilikan TNI AU yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan pada tahun 1994. Ketika itu, Sapli masih menjabat sebagai Kepala Desa. Namun untuk Lapter II yang saat ini tengah berpolemik, TNI AU belum memegang sertifikat.
“Kalau dari cerita orang-orang tua di sini, ada dua istilah yakni Lapangan Lama yang sering disebut Lapter I adapula Lapangan Baru yang disebut Lapter II. Nah Lapter I itu zaman dulu memang sebagai lapangan terbang milik Tentara Jepang. Nah untuk Lapter II ini dinamakan Lappter II ini memang pernah ada, tapi belum sempat beroperasi. Ceritanya dulu di daerah Pagar Dewa dulu zaman Jepang dijadikan Lumbung Makanan tempat penyimpanan ubi, nah di Kantor Bupati sekarang ini, zaman dulu jadi tempat lumbung atau penyimpanan terung atau kalau bahasa daerah Selatan ini Biding Silau dan Biding Terung,” urai Sapli.
Diceritakannya pula, pada masa kecilnya dulu pernah melihat bangkai atau puing-puing pesawat milik tentara Jepang pada zaman dulu.
“Pesawat itu dulu memang ditarik dari Lapter I dan puing-puing atau bangkainya itu disimpan di lokasi yang saat ini dibangun jadi Kantor Bupati Bengkulu Selatan,” tuturnya.
Masih menurut Sapli, pada era orde baru, memang sudah pernah ada pelarangan mendirikan bangunan di area Lapter II. Ketika dirinya menjabat Kades, pernah dipanggil ke Makodim lantaran ada warganya yang mendirikan rumah di lokasi Lapter II.
Selain itu, pada kisaran tahun 1988, juga ada warga Pagar Dewa yang memiliki usaha cetak batu bata namun dipaksa pindah oleh Pihak TNI.
“Dulu pernah diukur pada zaman Gafar masih di DPRD, untuk Lapter II, itu mulai dari Muara Air Belimbing yang lokasinya dekat dengan Rumah Pribadi Bupati Dirwan terus lurus ke arah tebing sebelum Talang Manyan. Terus sampai ke Laut. Dulu dipojok-pojok ada dibangun pondok tempat peninjauan milik tentara. Tapi jumlah luasnya kami tidak pernah tahu. Pun juga batas-batasnya juga tidak jelas,” tandasnya.
Masyarakat Pagar Dewa, menurutnya, tidak mengakui bahwa lahan yang selama ini mereka tempati adalah milik AURI. Mereka beralasan bahwa lahan tersebut telah turun temurun dari zaman dahulu. Bahkan menurutnya bahwa, Dusun Belimbing Pauk Sembilan yang juga diklaim milik TNI AU pada zaman dahulu adalah Dusun Tertua di sekitar sana, buktinyaada lokasi pemakaman nenek moyang dan area persawahan yang juga peninggalan nenek moyang masyarakat sana.
“Menyikapai rencana pemerintah yang akan melakukan sosialisasi, pendataan dan penertiban, kami menawawrkan solusi kepada Pemetintah daerah dan TNI AU, lahan Lapter II ini harus segera ada kejelasannya. Dan ini juga harus dibagi dengan jelas. Dibagi tiga saja meskipun tidak merata, tapi harus jelas. Mana yang milik masyarakat dan sah, mana yang milik Pemerintah Daerah seperti lahan perkantoran dan mana yang milik TNI AU, dibagi aja, kan selesai. Tapi harus jelas, mana yang Pemda, mana yang TNI AU dan mana yang milik masyarakat,” harap Sapli. (Apd)