Dalam penulisan sejarah resmi, Kartini dikenalkan paling banyak hanya sebagai tokoh emansipasi perempuan. Itupun tanpa eksplorasi yang mendalam mengenai gagasan emansipasinya.
Para pembaca yang budiman, ternyata kiprah Kartini lebih luas dari itu. Inilah beberapa hal lain yang digeluti oleh Kartini semasa hidupnya.
#1 Penganjur dan pelopor pendidikan pribumi
Kartini merupakan salah satu perempuan pencetus sekolah pertama untuk pribumi Indonesia. Dia ingin mengubah wajah pribumi yang terbelakang menjadi maju melalui pengetahuan. Dia sadar betul, bahwa pendidikan adalah alat yang tepat untuk mencerdaskan rakyatnya, mengeluarkannya dari kebodohan, sebagai senjata melawan ketertindasan.
Kartini mengatakan, “pendidikan adalah jalan satu-satunya untuk mengubah pola pikir mereka, yakni penanaman kesadaran bahwa saat ini mereka tertindas, tanpa pendidikan mereka akan terus terjajah dan tidak menyadari bahwa diri mereka sebenarnya terbelenggu (The Chronicle of Kartini, 2010:360).
Tidak hanya sebatas gagasan, Kartini bersama adiknya, Roekmini, mendirikan sekolah wanita pada tahun 1903. Yang menarik, sekolah tersebut terbuka kepada siapapun, tanpa memandang status sosial dan kekayaan. Sekolah tersebut mengajari membaca, memasak, memelihara kebersihan, dan kerajinan tangan.
#2 Pengarang yang suka menggunakan nama samaran
Dalam masa kehidupannya, Kartini dikenal sebagai seorang sebagai pengarang. Bagi Kartini, menjadi pengarang adalah tugas sosial. Dalam hal ini, mengarang adalah manifestasi dari kesadaran akan kewajiban-kewajibannya bagi rakyatnya.
“Sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikan derajat dan peradaban rakyat kami.” (Panggil Aku Kartini Saja, 2003:180)
Sayang, karangan-karangan Kartini menggunakan bahasa Belanda. Diantara karangan yang pernah terbit adalah “Een Gouverneur-Generaalsdag”, di majalah Belanda De Echo. Karangan itu berkisah tentang Kartini dan saudari serta ayahnya berkunjung kepesta besar untuk menghormati kedatangan Gubernur Jenderal Rooseboom dan istrinya di Semarang.
Karangan-karangan Kartini banyak ditumpahkan melalui catatan harian, puisi, dan prosa. Prosanya, antara lain, berkisah tentang tanah kelahirannya, Jepara, yang berjudul Van Een Vergeten Uithoekje atau Pojok yang Dilupakan.
Yang perlu diketahui, setiap menulis karangannya Kartini menggunakan nama samaran. Dia tidak suka pujian. Ia akan segera marah jika nama samarannya terbongkar. “Benar-benar aku sebal, karena aku ingin tiada orang tahu kalau aku memainkan pena,” katanya.
#3 Punya bakat sebagai pelukis
Sangat jarang yang tahu, bahwa Kartini adalah seorang pelukis. Lukisannya antara lain sebuah lukisan kecil bergambar empat ekor angsa sedang berenang-rendang damai di sebuah kolam.
Dari mana muncul bakat melukis Kartini? Dalam suratnya kepada Nj Abendanon, 5 Maret 1902, Kartini menjelaskan, “seni gambar rupa-rupanya sudah warisan bagi Jepara; kacung-kacung kecil, bocah-bocah pengangon kerbau, pandai sekali menggambar wayang, baik di pasir, di tembok-tembok, maupun di jembatan-jembatan, pada tangan-tangannya.”
Rupanya, bakat lukis Kartini menurun dari leluhurnya: orang-orang Jepara. Sayang, dalam berbagai surat dan artikelnya, Kartini jarang menulis pendapatnya soal seni lukis.
#4 Kartini pencinta fotografi
Dalam Engineers of Happy Land (2002), Rudolf Mrázek menceritakan kecintaan Kartini pada dunia fotografi. Ketika mengunjungi desa-desa bersama ayahnya, Ia akan senang jika ayahnya atau salah satu tukangnya mengambil foto.
“Amat sulit membuat bahkan satu saja foto di desa….(ada) takhyul…..(mereka takut) umurnya dapat diperpendek bila mereka membiarkan kami mengambil fotonya,” keluh Kartini seperti diceritakan Mrázek.
Kartini sangat ingin punya kamera sendiri. Dengan begitu, ia bisa bebas mengambil foto rakyatnya sendiri. Dengan foto-foto itu, berikut keterangannya, di mata Kartini, akan membuka mata orang Eropa untuk melihat rakyat pribumi.
#5 Kartini sebagai ahli batik
Tak disangka, Kartini yang keturunan ningrat itu menyukai pekerjaan tangan, yaitu membatik. Kartini mulai membatik di usia 12 tahun. Dia belajar pada seorang pekerja tetap di kadipaten. Namanya Mbok Dullah.
Diceritakan, Kartini suka mengenakan sarung batik buatan sendiri. Tidak hanya itu, Kartini juga banyak melakukan riset dan menulis catatan mengenai seni batik itu sendiri. Hingga, sebuah karya tulisnya yang berjudul Handchrift Jepara memikat ibu suri kerajaan Belanda.
“Sebuah karangan tentang batik, yang tahun lalu kutulis buat pameran karya wanita, dan sejak itu tak terdengar kabar beritanya, akan diterbitkan didalam karya-standar tentang batik, yang segera akan terbit.” (Jepara, 6 November 1899, Panggil Aku Kartini Saja, 2003:183).
#6 Kartini sebagai pencinta musik
Kartini juga peminat musik. Terutama sekali musik tradisional dari bangsanya: gamelan. Gamelan yang disukainya adalah Ginonjing. “Musik sangat berpengaruh di atas kami,” katanya. Melalui musik gamelan, Kartini seperti berayun ke masa lalu bangsanya. Ke masa kegemilangan rakyat dan bangsanya.
Selain menyukai gamelan, Kartini juga menyukai musik barat. Ia mengaku jatuh cinta pada piano. Ia kerap mencuri waktu untuk menyaksikan konser musik kala itu. “Aku terkenang pada suatu malam belum lama berselang. Seorang kenalan membawa kami berdua mengunjungi sebuah konserta di sebuah gedung kesenian di Semarang,” tulisnya.
#7 Pengusung jurnalisme progressif
Siapa sangka, di masa hidupnya yang singkat itu, Kartini pernah mencurahkan pikirannya tentang jurnalisme yang semestinya, yaitu jurnalisme yang memperluas pengetahuan dan kecerdasan rakyat.
Kartini sangat sebel dengan jurnalisme mainstream saat itu, yang hanya menyajikan berita-berita tentang kebakaran, pencurian, dan pembunuhan, ataupun penghinaan serta pemfitnahan yang tak ketentuan asalnya.
Sebaliknya, bagi Kartini, jurnalisme seharusnya menjadi “mingguan dan bulanan, dimana dimuat segala-galanya yang memperluas pengetahuan, memperkembangkan kecerdasan serta membersihkan kalbu.
#8 Menyukai Kereta Api (Kemajuan)
Dari catatan sejarah, kereta api pertama di Indonesia muncul di tahun 1862, di Semarang, Jawa Tengah. Tidak begitu jauh dari kampung halamannya Kartini di Jepara.
Kartini sangat menyenangi kereta api. Sayang, selama hidupnya yang sangat singkat itu, Kartini hanya sekali naik kereta api. Itupun sudah membuat Kartini sangat bergembira luar biasa. “Sekarang, kami terbang dengan sebuah badai di atas jalan besi itu,” tulis Kartini kepada temannya, Ny.R.M. Abendanon-Mandri. “Jangan terbang terlalu cepat di atas jalur-jalur besi yang rata, kamu monster beruap yang bersin-bersin, jangan membiarkan perjumpaan indah itu berakhir dengan begitu cepat..Saya berharap agar perjalanan itu tak akan pernah berakhir…Tetapi, Aduh! Juru apinya tak mendengar aku,” keluhnya.
Ada hal yang membuat Kartini dengan angkutan massal tersebut. Di kereta, ia berjumpa dengan banyak orang, bersentuhan dengan mereka, dan mendengarkan banyak cerita dan desas-desus dari mereka.
#9 Kartini seorang Vegetarian
Siapa sangka, Kartini juga seorang vegetarian yang konsekuen. Dalam sebuah suratnya kepada sahabatnya, Ny RM Abendanon-Mandri, 27 Oktober 1902, Kartini menulis: “Kami sekarang pantang makan daging. Sudah lama kami merencanakan itu, dan bahkan beberapa tahun saya hanya makan tanaman saja, tetapi tidak punya cukup keberanian susila untuk bertahan. Saya masih muda sekali, masih berusia 14, 15 tahun.”
Diceritakan, Kartini mulai menjadi vegetarian setelah sembuh dari sakit keras. Bagi Kartini, vegetarian adalah doa tanpa kata kepada Yang Maha Tinggi.
#10 Penentang Feodalisme dan Kolonialisme
Kartini memang lahir dari keluarga ningrat. Namun, sepanjang hidupnya berisi penentangan terhadap struktur masyarakat feodal yang mengekang rakyatnya. Sampai-sampai Kartini enggan disebut gelar kebangsawanannya. “Panggil aku Kartini saja—itulah namaku,” tulis Kartini kepada temannya, Estella Zeehandelaar, 1899.
Kartini menyebut feodalisme sebagai penyakit yang menyebabkan hilangnya kesetia-kawanan, merendahkan martabat manusia, dan menghalangi kemajuan masyarakat. “Bahwa yang terbaik harus dikangkangi sendiri dan dianggap sebagai hak pribadi kaum aristokrat, bersumber pada faham sesat, bahwa kaum bangsawan adalah mutlak sebagai manusia lebih mulia, makhluk lapisan teratas daripada Rakyat, dan karena berhak mengangkangi segala hal yang terbaik,” tulis Kartini. (Nota Kartini tertanggal Jepara, Januari 1903).
Sebaliknya, Kartini memilih berpihak pada rakyat. Ia merasa sangat bahagia ketika diposisikan sebarisan dengan rakyat. “Disebut bersama dengan rakyatku; dengannyalah dia akan berada buat selama-lamanya! Aku sangat bangga, Stella, disebut dengan satu nafas dengan rakyatku” (Jepara, 17 Mei 1902, Panggil Aku Kartini Saja, 2003:86)
Kartini juga seorang anti-kolonialis. Ia sadar, kolonialisme adalah penyakit yang menguras kekayaan negerinya dan memiskinkan rakyatnya. Dia pernah menulis: “Sejumlah orang Belanda mengumpati Hindia sebagai ladang kera yang mengerikan. Aku naik pitam jika mendengar orang mengatakan Hindia yang miskin. Orang mudah sekali lupa kalau negeri kera yang miskin ini telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal di sini” (Vissia Ita Yulianto, 2004).
Rini S.Pd, pengurus Dewan Pimpinan Pusat Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini
Sumber: Berdikari Online