Foto Mobgenic
Revolusi Indonesia bukan hanya mendobrak tatanan ekonomi dan politik kolonial, tetapi juga melahirkan bentuk-bentuk kebudayaan baru. Salah satunya: wayang suluh.
Suluh berarti penerangan, pencerahan, atau pembebasan pemikiran rakyat. Dengan demikian, wayang suluh berarti wayang yang diperuntukkan untuk memberikan pencerahan sekaligus jalan pembebasan bagi rakyat.
Dalam Kronik Revolusi Indonesia, yang disusun oleh Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil, disebutkan bahwa wayang suluh digagas oleh Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Pada Kongres pertamanya, 10 Maret 1947, di Madiun, Jawa Timur, wayang suluh pertamakali dipentaskan.
Wayang ini dibuat dari kulit. Yang menarik, tokoh-tokoh yang diangkat berasal dari realitas dunia nyata, seperti kaum buruh, tani, pemuda, guru, dan lain-lain. Tidak jarang, tokohnya malah mengacu pada pemimpin pergerakan rakyat Indonesia, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Amir Sjarifuddin, Diponegoro, dan lain-lain.
Musik pengirim wayang suluh ini adalah gamelan, orkes, dan alat musik rakyat lainnya. Sementara lagu-lagu pengiringnya kebanyakan lagu-lagu perjuangan rakyat.
Berbeda dengan wayang pada umumnya, yang banyak mengangkat lakon Ramayana dan Mahabharata, wayang suluh justru mengangkat realitas yang bersinggungan langsung dengan denyut nadi perjuangan rakyat dan revolusi Indonesia.
Meskipun masih memakai tokoh-tokoh Mahabharata, tokoh-tokohnya sudah direvolusionerkan. Seperti tokoh Arjuna dan Bima yang memakai seragam pejuang, dan digambarkan turut bertempur dalam melawan kolonialisme Belanda (A Fragile Nation: The Indonesian Crisis; Khoon Choy Lee).
Di masa revolusi, wayang ini benar-benar banyak berguna. Wayang ini menjadi medium untuk mengobarkan semangat revolusi anti-kolonial. Di daerah yang dikuasai Belanda, wayang ini menjadi penjaga semangat juang rakyat.
Pada tahun 1947, BKPRI membagikan 47 setel wayang kulit kepada pengurusnya dari berbagai daerah. Wayang itu juga dikirim ke Sumatera. Dalam sekejap, wayang suluh digemari rakyat, hingga bisa mengumpulkan ribuan orang di setiap pertunjukannya. Menariknya lagi, tidak hanya laki-laki, wayang suluh juga punya dalang perempuan.
Versi lain menyebut penemu wayang suluh ini adalah R.M. Sutarto Harjowahono, dari Surakarta, Jawa Tengah, pada tahun 1920-an. Dia mendorong agar cerita-cerita wayang berpijak di atas realitas. Saat itu masih dinamai wayang sandiwara.
Di zaman Orde Baru, keunggulan wayang suluh sebagai alat propaganda tetap diakui. Hanya saja, rezim Orba menggunakan wayang ini media sosialisasi berbagai program pemerintah, seperti pemilu, KB, dan lain-lain.
Namun, setelah Orba tumbang, nasib wayang suluh pelan-pelan memudar dan menghilang. Wayang ini, seperti juga jenis wayang yang lain, tersingkir oleh gempuran produk kebudayan baru, terutama dari luar. [Ira Kusumah/Berdikari Online]