Foto Istimewa/Bung Karno dan Warga Bengkulu
Ketika berita mengenai keadaanku yang sedang sakit keras sampai di Jakarta, Thamrin mengajukan protes di Volksraad. "Kami meminta Tuan bertanggung jawab terhadap kesehatan Sukarno. Dia harus dipindahkan ke tempat yang lebih besar dan sehat, dan dia selayaknya mendapatkan perhatian yang lebih baik."
Demikian ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Edisi Revisi, Yayasan Bung Karno dan Penerbit Media Pressindo, Cetakan Ketiga, 2014.
Pada tahun 1938, Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu dari Ende. Meski sebagai orang buangan, ia tetap disambut bagai seorang pemimpin besar.
Beberapa sumber menyebutkan sebelum tinggal di kediamannya yang terletak di Anggut Atas, Bung Karno sempat menginap di Hotel Sentrum yang sekarang menjadi Hotel Asia. Lalu ia juga pernah tinggal sebentar di kawasan Tanah Patah menyewa rumah milik Haji Middin hingga akhirnya menetap di Anggut Atas bersama istrinya Inggit Garnasih dan dua orang anak angkat, Ratna Joemi dan Sukartik.
Kebiasaan Bung Karno di Bengkulu, pagi hari ia keluar dari kediaman dengan sepeda merek Vongers kesayangannya. Setiap keluar, Bung Karno selalu berpakaian rapi, serba putih, berdasi dan kopiah hitam. Sifatnya yang ramah membuatnya mudah akrab dengan siapa saja, termasuk dengan para tokoh Muhammadiyah.
Jika dalam pembuangan Ende, Bung Karno tampil sebagai orang yang rajin beribadah. Di Bengkulu, Bung Karno aktif dalam perkumpulan Muhammadiyah. Dia bahkan dipilih sebagai Ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu.
Tapi awalnya, keberadaan Bung Karno di tengah-tengah warga Bengkulu yang religius tidak mudah. Pertama kali menghadiri pertemuan, dia melepas tabir atau kain pemisah antara jamaah perempuan dan laki-laki yang berada di dalam musala atau masjid.
Dalam pandangan Bung Karno, tabir adalah bentuk diskriminasi dan perbudakan terhadap kaum perempuan yang tidak diharuskan dan dikehendaki oleh Allah SWT. Saat itu, sebuah tabir memisahkan Bung Karno dengan penduduk Kota Bengkulu.
"Ini sangat menyedihkanku, terutama karena aku benar-benar membutuhkan perkawanan," kata Bung Karno kepada Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman 167.
Namun pada suatu pagi, tanpa memberitahunya lebih dulu, Bung Karno ditemui oleh Hassan Din, Ketua Muhammadiyah Bengkulu saat itu. Waktu itu ia mengajak Bung Karno untuk menjadi guru di sekolah rendah agama milik Muhammadiyah.
"Ketika di Ende, Bung memiliki hubungan akrab dengan salah satu organisasi Islam di Bandung, Persatuan Islam, dan kami dengar Bung sepaham dengan pandangan Ahmad Hassan, guru yang terpelajar itu. Apakah Bung bersedia membantu kami menjadi seorang guru?"
"Kuanggap permintaan ini sebagai satu kehormatan," jawab Bung Karno.
"Tapi ... ingat ..... jangan bicara soal politik."
"Pasti tidak," Bung Karno tersenyum setuju. "Kecuali hanya akan kusebut bahwa Nabi Muhammad selalu mengajarkan kecintaan terhadap tanah air," ujar Bung Karno menambahkan dalam dialog dengan Hassan Din sebagaiman tercantum dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman 168.
Bung Karno pernah gundah ketika melihat kondisi masjid di Kota Bengkulu yang tampak kotor, tak terpelihara dan tua. Ia kemudian merancang Masjid Jamik yang saat ini masih berdiri kokoh dan tampak megah di antara bangunan-bangunan tinggi di pangkal Jalan Suprapto, pusat pertokoan Kota Bengkulu saat ini.
Selain aktif mengajar di sekolah Muhammadiyah, Bung Karno juga mengajar murid perempuan Taman Siswa di rumahnya setiap Minggu, dan sempat bekerja di perusahaan mebel temannya. [Ahmad Runako]
Sumber Tulisan:
*Bob Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Sebuah Biografi 1901-1945, Hasta Mitra, Jakarta 2003.
*Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Edisi Revisi, Yayasan Bung Karno dan Penerbit Media Pressindo, Cetakan Ketiga, 2014.