Viral di media sosial, ledakan bom panci bunuh diri di Terminal Kampung Melayu pada Rabu (24/5) malam, menuai keutukan dari berbagai penjuru di Indonesia. Kadiv Humas Polri, Irjen Setyo Wasisto menyebutkan, ada 15 orang yang menjadi korban ledakan ini. Mereka terdiri dari dua pelaku tewas, tiga anggota Polri, lima anggota Polri luka dan lima masyarakat sipil terluka.
Ketiga polisi yang tewas itu adalah Bripda Topan Al Agung dari Unit 1 peleton 4 Polda Metro Jaya, Bripda Ridho Setiawan dan Bripda Imam Gilang Adinata. Ketiganya sedang melakukan patroli pawai obor di sekitar TKP sesaat sebelum ledakan terjadi.
Seketika setelah peristiwa itu terjadi, foto korban dengan bagian tubuh yang terpotong-potong cepat menyebar seiring dengan larangan dan imbauan agar foto-foto itu tidak disebar. Sebab, aksi terorisme dilakukan untuk menyebarkan rasa takut. Ketika foto-foto itu tersebut, maka tujuan sang peneror tercapai.
Presiden Jokowi menilai peristiwa ledakan bom yang terjadi dua kali pada pukul 21.00 WIB dan 21.05 WIB ini sebagai tindakan yang keterlaluan. Perintah kepada Kapolri sudah dikeluarkan. Apa dan siapa jaringan-jaringan pelaku bom ini harus terungkap.
Hampir seluruh media massa mengeksplorasi detail tentang peristiwa yang mengejutkan itu. Misalnya kumparan merilis polisi menemukan beberapa buku catatan kecil di lokasi kejadian yang berisi kode-kode misterius. Semua buku itu penuh dengan kata-kata singkat yang diberi kotak dan dihubungkan satu sama lain, persis seperti sebuah kode.
Beberapa tulisan terbaca dengan jelas, sisanya samar. Di antara tulisan yang terbaca adalah "Presiden", "Adolf Hitler", "Lake Toba", "HKBP". Belum diketahui dengan pasti apakah catatan ini milik pelaku atau bukan. Sebelumnya polisi juga menemukan struk pembelian panci di TKP. Diduga kuat, panci yang dibeli di Padalaran ini yang digunakan dalam ledakan bom tersebut.
Paus Fransiskus, pemimpin gereja Katolik fenomena terorisme yang merebak akhir-akhir berkait erat dengan ketidakadilan sosial dan penghambaan terhadap uang. Menurutnya, ketikadilan sosial, pengangguran, kemiskinan membuat banyak orang tidak punya pilihan. Akhirnya, karena terjepit oleh tekanan ekonomi dan keharusan bertahan hidup, banyak yang mengambil jalan lain: narkoba, alkohol dan menjadi anggota gerakan fundamentalis.
Dikutip dari Berdikari Online, Paus menolak mentah-mentah pengaitan Islam dengan terorisme. Atau agama apapun dengan terorisme. Sebab, semua agama membawa misi duniawi yang sama: perdamaian. Paus juga menolak mentah-mentah anggapan bahwa Islam identik dengan fundamentalisme dan kekerasan. Menurutnya, semua agama, termasuk Katolik, punya kelompok fundamentalis.
Selama ini banyak yang melihat terorisme sebagai persoalan doktrin agama yang ekstrim saja. Ada lagi yang melihatnya sangat psikologis: persoalan kebencian semata. Mereka menceraikan terorisme dari persoalan ekonomi-politik.
Padahal, terorisme memang tidak bisa dipisahkan dari problem ekonomi-politik: ketidakpastian kerja, ketimpangan, dan kemiskinan. Persaingan kerja dan alienasi sosial terkadang orang membuat patah semangat, lalu mencari perlindungan pada politik identitas.
Situasi ekonomi yang buruk, ditambah lagi dengan kehidupan politik yang kian berjarak dengan massa rakyat, memicu apa yang disebut oleh sosiolog Émile Durkheim sebagai “anomie”, yaitu keadaan yang kacau, tidak ada aturan, tidak ada otoritas yang dihormati.
Massa rakyat yang terperangkap dalam “anomie” sangat gampang terperangkap dalam propaganda yang menawarkan obat terhadap keterasingan, ketersingkiran, dan ketidakadilan. Kalau orang kiri menawarkan obat “revolusi sosial”, maka kaum kanan/fasis menawarkan obat xenophobia, anti-imigran, rasisme, chauvinisme, dan sejenisnya. Sedangkan kanan fundamentalis menawarkan obat bernama “Surga Akhirat”.
Warga Indonesia selalu kompak mengecam aksi-aksi terorisme yang terjadi dan tak sedikit yang mengaktualisasikannya melalui beragam saluran di media sosial. Tapi kekompakkan kecam mengecam itu tak pernah membuat aksi-aksi terorisme berhenti, karena memang jarang yang menelisik persoalan secara mendasar.
Karena itu, memerangi terorisme tidak bisa dengan mengeliminasi para pelaku terornya saja, tetapi juga mengeliminasi kondisi sosial yang memaksa orang mengambil pilihan hidup sebagai teroris. Dibutuhkan kekompakkan untuk mengecam terorisme yang berwujud imprealisme dengan praktik kebijakan neoliberalismenya, sebagai biang timbulnya ketikadilan sosial, pengangguran, dan kemiskinan. (**)