Belum lama ini kita dihebohkan dengan beredarnya video anak-anak yang melakukan pawai keliling namun menyanyikan lagu bernuansa kekerasan. Tanpa merasa bersalah, anak-anak itu dengan lantang menyanyikan lagu tersebut sambil berpawai.
Itu hanyalah salah satu contoh dari darurat toleransi beragama di Indonesia. Sebelumnya netizen juga terkejut dengan viralnya surat intimidasi yang dilakukan seorang anak SD terhadap temannya dengan mengatakan kafir.
Sebagaimana dikutip dari laman Kompas.com, psikolog dan pemerhati anak, Seto Mulyadi, mengatakan, perilaku anak-anak tersebut merupakan cerminan dari apa yang diterimanya dari lingkungan terdekatnya, mulai dari keluarga, sekolah, atau lingkungan teman-temannya.
"Sebenarnya mereka belum mengerti dengan apa yang diucapkannya. Tapi, bagaimana dengan 10 atau 20 tahun mendatang ketika anak-anak itu menjadi dewasa," kata pria yang akrab disapa Kak Seto ini ketika berbincang dengan Kompas Lifestyle (6/6/2017).
Ia mengungkapkan, usia anak-anak adalah waktu yang tepat untuk membentuk karakternya. Sampai dengan anak berusia 15 tahun, karakter anak didapat dari proses belajar dan menyerap lingkungannya.
"Bisa menulis, lancar berbicara, atau bernyanyi itu semua didapatkan dari proses belajar. Demikian pula dengan menghujat, melontarkan senyum, atau tahu berterimakasih," ujar Ketua Komnas Perlindungan Anak ini.
Sayangnya, menurut dia, saat ini kita sebagai orang dewasa lebih sering mempertontonkan kekerasan pada anak, baik secara formal atau nonformal.
"Kita lupa mengajarkan indahnya kebersamaan, kita lupa mengajarkan indahnya perbedaan dan keragaman. Selain itu, anak juga selalu dihadapkan pada gadgetnya dan televisi dan bukan tidak mungkin ia akan mudah meniru suatu perilaku tertentu," ucapnya.
Anak-anak mengenal kebencian dan sikap intoleran dari doktrin yang diterima dari orang dewasa di sekitarnya. Menurut Kak Seto, ini adalah bibit munculnya radikalisme.
Sebagai orangtua, seharusnya kita menjauhkan anak dari jeratan radikalisme, dimulai dengan mengajarkan indahnya keberagaman. Gunakan bahasa yang mudah dimengerti anak, sesuai dengan tingkat usianya.
"Berikan contoh indahnya bunga-bunga yang ada di taman. Keberagaman bunga yang ada di taman bisa diibaratkan seperti lingkungan sehari-hari, ada orang keturunan Arab, ada China, Jawa, Batak dan lainnya, mana yang paling baik? Semuanya adalah baik. Itu yang harus ditanamkan kepada anak-anak," sarannya.
Jika kita tidak ingin melihat generasi penerus yang intoleran dan penuh kekerasan, ajak mereka berdiskusi dan berikan contoh nyata pentingnya bersikap terbuka terhadap masyarakat Indonesia yang majemuk. (**)