BENGKULU, PB - Hiruk-pikuk politik belakangan ini mempertontonkan sesuatu yang sangat norak: politisi mempertontonkan gaya hidup mewah. Mereka tidak segan mengumbarnya di tengah-tengah rakyatnya yang dicekik kemiskinan.
Masalahnya lagi, tidak semua gaya hidup mewah itu dibeli dengan keringat sendiri. Tidak sedikit gaya hidup mewah itu dibiayai oleh uang negara, yang notabene uang rakyat. Entah melalui uang gaji dan tunjangan yang dibuat tinggi maupun korupsi.
Padahal, politik sejatinya kerja untuk kebaikan bersama (kepentingan umum). Nilai seorang manusia politik adalah kerja-kerja pengabdian dan asketisme progressif. Nyawa perjuangan seorang manusia politik adalah ideologi dan militansi.
Dahulu kala, ketika Republik ini baru saja dimerdekakan, manusia politiknya benar-benar genuine: manusia-manusia yang bekerja dan berjuang untuk kepentingan rakyat banyak. Gaya hidup mereka sangat sederhana.
Lihatlah Bung Karno. Ketika baru selesai dilantik sebagai Presiden, dia merayakannya hanya dengan 50 tusuk sate ayam. “Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta pengangkatanku sebagai kepala negara,” kenang Bung Karno dalam buku otobiografi, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Jangan tanya fasilitas Presiden zaman itu. Mobil kepresidenan yang pertama itu mobil curian: mobil merek buick 8. Mobil produksi General Motor Amerika Serikat itu dicuri oleh Sudiro, seorang pemuda aktivis Menteng 31, dari tangan pemiliknya seorang pejabat Jepang di Jawatan Kereta Api.
Baju yang dikenakan Bung Karno, yang kelihatan keren itu, juga punya cerita sendiri. Untuk anda ketahui, hampir semua baju yang dikenakan oleh Bung Karno dijahit sendiri oleh istrinya. Kainnya pun rata-rata pemberian kawannya. Pernah suatu hari Bung Karno mendapat kiriman pakaian bekas korps tentara wanita Australia. Pakaian itu kemudian dipermak sendiri dan jadilah pakaian seorang Presiden.
Jaman itu Republik masih susah. Presiden belum mendapat gaji penuh dari negara. Walhasil, banyak kegiatan kenegaraan berlangsung sangat sederhana. Proklamasi kemerdekaan saja sangat sederhana sekali: hanya upacara kecil, tiang bambu biasa, dan pengibaran bendera yang dijahit sendiri oleh Fatmawati.
Rapat-rapat pemerintah juga sederhana, tidak seperti rapat pejabat negara sekarang. Pernah terjadi, Bung Karno dan Menteri-Menterinya sedang menggelar rapat darurat hingga larut malam. Tidak ada segelas kopi pun untuk diseruput. Tidak ada roti pengganjal perut. Akhirnya, Tukimin, salah seorang pembantu Presiden, mengambil inisiatif untuk mencari makanan di luar.
Tahun 1946, Ibukota Republik dipindah ke Jogjakarta. Di sana Presiden menempati sebuah gedung bekas kantor Gubernur zaman Belanda. Gedung itu kosong-melompong. Semua isinya sudah diangkut oleh tentara Jepang.
Jadinya, ketika ada kunjungan tamu Negara, Presiden kebingunan mencari perabot: piring, gelas, sendok, meja, dan lain-lain. Beruntung ada Husein Mutahar, pencipta lagu nasional yang terkenal itu. Saat itu beliau menjadi Ajudan Presiden Sukarno. Mutahar mendatangi restoran Tionghoa untuk meminjam sendok, piring dan sejenisnya. Sedangkan taplak mejanya dipinjam dari penduduk.
Bagaimana kalau ada tamu negara lain yang berkunjung? Ada cerita menarik. Suatu hari Presiden menerima kunjungan pejabat dari Filipina. Tamu dari negara tetangga itu haya dijamu dengan secangkir air putih. “Kami tidak punya anggur. Jadi dia hanya minum air, karena itulah yang ada pada kami,” kata Bung Karno.
Lihat juga kesederhanaan Bung Hatta. Pada November 1945, Bung Hatta menikahi Rahmi Rachim. Anda tahu maskawinnya apa? Hanya sebuah buku yang ditulis oleh Bung Hatta sendiri saat dibuang di Digul pada tahun 1934, Alam Pikiran Yunani.
Bung Hatta, yang Wakil Presiden itu, pernah dihardik oleh kusir bendi hanya karena tawar-menawar harga yang tak kunjung mencapai kata sepakat. “Kalau tak punya uang, jangan tanya-tanya. Tak usah naik bendi, kamu jalan kaki saja ke rumah,” kata kusir itu setengah berteriak kepada Bung Hatta.
Pernah Bung Hatta punya keinginan besar punya sepatu merek Bally. Namun, uang di kantongnya tidak cukup. Tak mau mimpinya menguap, guntingan iklan sepatu Bally diselipkan di buku hariannya, sembari menabung. Sayang, hingga akhir hayatnya, uang tabungan Bung Hatta tidak pernah cukup untuk membeli sepatu impiannya itu.
Pernah membaca surat mengharukan Sukarno kepada Soedirman? Jadi, menjelang HUT Proklamasi RI ke-4 tahun 1949, Sukarno mengirim kain untuk Sudirman. Kain itulah yang dijahit oleh Soedirman dan pakaian kebesarannya di hari Kemerdekaan.
Saya kira, gaya hidup sederhana para pemimpin itu bukan karena situasi sulit zaman itu, melainkan karena memang sudah menjadi prinsip politiknya. Mereka berpolitik untuk kepentingan rakyat dan negaranya. Jangankan melakoni hidup yang sederhana, jiwa dan raga pun siap dikorbankan untuk rakyat dan negara.
Timur Subangun
Sumber: berdikarionline.com