BENGKULU, PB - Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti merasa perlu untuk memberikan pandangannya terkait kebijakan 5 hari sekolah. Menurutnya, Permendikbud No 23 tahun 2017 itu dilandasi semangat PP No 19 tahun 2017 tentang guru dan kepala sekolah, yang mengandung dua isu penting.
Pertama, masalah beban kerja guru. Di dalam UU guru dan dosen, beban kerja guru itu minimal 24 jam tatap muka di kelas dalam seminggu. Jadi selama ini kerja guru itu hanya diakui tatkala berada di depan kelas. Ternyata dalam praktiknya banyak guru yang tidak bisa memenuhi. Karena pelajaran yang diampu jamnya Hanya sedikit. Misalnya pelajaran Antropologi, bahasa asing, agama dan lain-lain. Kalau guru ingin dapat tunjangan profesi maka harus mencari tambahan jam, harus cari di sekolah lain.
"Tentu itu mengganggu proses pendidikan di sekolah. Dan itu sudah menjadi masalah kronis selama bertahun tahun, termasuk di Provinsi Bengkulu" ujar Ridwan Mukti di Bengkulu, Minggu (18/6).
Beberapa tahun terakhir anggaran untuk tunjangan profesi guru ini menjadi Silpa yang cukup besar. Kemendikbud mencari solusi dengan merubah beban kerja guru dengan mengikuti standar ASN, yaitu 40 jam seminggu. Dan berdasar Perpres, kerja ASN itu 5 hari kerja dalam seminggu. Oleh sebab itu, perhari menjadi 8 jam. Selama delapan jam itu guru melaksanakan tugas tugas lain misalnya, merencanakan, mengoreksi, memberi konsultasi dan lain-lain itu bisa dihitung sebagai beban kerja guru, sehingga cukup untuk syarat mendapatkan tunjangan profesi.
Guru, lanjutnya, juga tidak perlu keluyuran mencari tambahan jam mengajar di sekolah lain. Dengan demikian bisa fokus mendampingi siswanya. Itulah yang mendasari sekolah masuk lima hari. Atas dasar PP tersebut di atas antara lain kemudian terbit Permendikbud No 23 tahun 2017, tentang Hari sekolah.
"Itu sebabnya, daerah khususnya Provinsi Bengkulu mendukung peraturan Menteri tersebut, meski dibutuhkan aturan teknis yang lebih jauh agar di lapangan bisa berjalan dengan baik," tegas Gubernur RM, sapaan akrab Ridwan Mukti.
Di dalam hari sekolah, 8 jam itu termasuk pelaksanaan kegiatan ko dan ekstra kurikuler dalam rangka program penguatan pendidikan karakter (P2K). P2K yang diplesetkan sebagian kalangan menjadi full day itu, adalah realisasi salah satu Program Aksi dari Nawacita, janji kampanye Jokowi-JK di bidang pendidikan. Yaitu pendidikan karakter. Di samping program KIP, pendidikan vokasi, dan peninjauan ulang Ujian Nasional.
Dalam hal sekolah lima hari, delapan jam perhari itulah ada yang dikhawatirkan sejumlah kalangan mematikan diniyah. Padahal di dalam permen tersebut malah ada pasal yang mengatur kerjasama antara sekolah dengan Madrasah Diniyah.
Pedomannya sekarang sedang disusun oleh tim Kemendikbud dengan Kemenag. Singkatnya, kalau ada siswa yang sorenya belajar di Madrasah Diniyah, maka kegiatan belajar di diniyah itu dapat diakui sebagai bagian dari 8 jam sekolah itu. Sebagai kegiatan ko-kurikuler yang memperkuat karakter keagamaan (religiusitas). Hasil kegiatan belajar di MD nantinya bisa di konversi menjadi komponen nilai mata pelajaran agama.
"Jadi bukan mematikan Madin, malahan Madin bisa menjadi partner sekolah dalam pembentukan karakter siswa" tegas mantan anggota DPR RI tersebut.
Di dalam lima hari sekolah dalam seminggu, Kemendikbud sudah menghitung kegiatan intrakurikuler rata-rata bisa diakhiri sekitar jam 13.30 WIB. Sehingga untuk sekolah yang sudah menjalin kerjasama dengan Madin, siswanya bisa melanjutkan belajar di Madin. Dan kegiatan belajar di Madin tersebut dihitung sebagai bagian dari 8 jam diatas.
Pemprov Bengkulu sendiri sudah mensosialisasikan permendikbud tersebut ke segenap jajaran terkait.
"Meski sejatinya sekolah yang lebih paham kondisi dan kebutuhan masing-masing, Pemprov sudah mendorong sekolah-sekolah untuk menyesuaikan aturan yang terkait dengan pendidikan karakter itu," ungkap Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, Ade Erlangga. [Ms]