Pancasila selain filosofi dan dasar negara, sekaligus bintang arah bagi bangsa dan negara Indonesia.
Pada dasarnya nilai-nilai dalam Pancasila yang dicita-citakan oleh para Pendiri Bangsa kita, secara kualitatif, sampai sekarang belumlah terwujud.
Karena wujud Pancasila adalah terbentuknya masyarakat yang adil makmur, lahir-batin, di atas landasan masyarakat gotong royong, yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia, dan bukan masyarakat yang individual liberalistik.
Masyarakat adil makmur adalah antitesis dari kemiskinan, kesenjangan, kemunduran, dan kecemasan dalam menghadapi kehidupan.
Sedang realitasnya ketimpangan ekonomi di Indonesia tercepat dan tertinggi di Asia (Bank Dunia 2015), yang ditunjukkan dengan naiknya rasio gini 0,30/tahun 2000 menjadi 0,42/tahun 2015.
Pertumbuhan ekonomi tidak seiring dengan pemerataan kesejahteraan sosial. Hanya 20 persen masyarakat yang menikmati pertumbuhan ekonomi tersebut.
Menurut Oxfam dan Infid, kekayaan 4 orang terkaya Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 40 persen atau 100 juta penduduk termiskin Indonesia.
Sebanyak 49 persen dari total kekayaan Indonesia dikuasai hanya oleh 1 persen warga terkaya, sementara 51 persen sisanya diperebutkan oleh 99 persen penduduk.
Mengapa di negara yang sejak awal berdirinya sudah menyatakan Pancasila (bergotong royong dalam membangun kehidupan) sebagai filosofi dan dasar negara, bisa bernasib demikian?
Agar memiliki akar landasan yang kuat, memahami Pancasila tentu tak boleh lepas dari konteks perjalanan sejarahnya.
Pancasila lahir dari perjuangan bangsa Indonesia membebaskan diri dari penjajahan, baik itu dalam bentuk imperialisme, kolonialisme, fasisme, maupun feodalisme. Jadi sudah sangat jelas, bahwa Pancasila bertentangan dengan imperialisme, kolonialisme, fasisme yang merupakan anak kandung dari kapitalisme.
Maka dari itu, Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya termaktub Pancasila sebagai dasar negara adalah satu kesatuan, dwi tunggal, yang tidak bisa dipisahkan dengan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Proklamasi adalah pernyataan bahwa bangsa Indonesia telah bebas dari penjajahan (Kolonialisme, Imperialisme, Fasisme dan Feodalisme), sedangkan Pembukaan UUD 1945 adalah deklarasi dari kemerdekaan bangsa Indonesia yang berisi prinsip-prinsip dasar serta tujuan Indonesia merdeka, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut terlibat aktif dalam menjaga perdamaian dunia, yang berdasarkan Pancasila.
Prinsip-prinsip dasar tersebut, kemudian dijabarkan oleh para Pendiri bangsa kita dalam (walaupun belum sempurna) dalam batang tubuh UUD 1945, dan diturunkan secara konkrit melalui haluan negara.
Artinya bahwa Batang Tubuh UUD 1945 harus selaras (tidak boleh bertentangan) dengan prinsip-prinsip dasar yang tercantum dalam Preambule tersebut, yaitu kemerdekaan, kedaulatan, kemandirian, kepribadian bangsa, sebagai jembatan emas menuju masyarakat Indonesia yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, lahir maupun batin, berdasarkan Pancasila, demikian juga dengan rumusan garis haluan negara.
Proklamasi, Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, Haluan Negara, adalah satu kesatuan yang utuh, menjadi jiwa raga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selama Indonesia belum berdaulat, belum mandiri, belum memiliki kepribadian nasional, belum sejahtera, perjuangan bangsa Indonesia belumlah selesai, yang tempo dulu sering diistilahkan bahwa “Revolusi belum selesai”, perjuangan bangsa Indonesia dalam menghilangkan segala penyakit yang menggerogoti kemerdekaan nasional, yang menghalangi jalan menuju masyarakat Indonesia yang adil makmur, belum selesai.
Apa itu penyakit bangsa Indonesia, yaitu kemunduran serta kemiskinan, kesenjangan sosial yang akut, yang disebabkan oleh dikuasainya bumi Indonesia dengan segala isinya hanya oleh segelintir orang.
Mengapa demikian, karena sistem yang berlaku sekarang ini adalah satu sistem yang dirancang untuk memberikan ruang serta keuntungan bagi segelintir orang untuk menguasai sebagian besar kekayaan tanah air Indonesia.
Satu sistem yang menyeleweng dari filosofi Pancasila!
Perjuangan memenangkan Pancasila, jika jujur dan bersungguh-sungguh, adalah perjuangan mengubah sistem yang mencelakakan kehidupan bangsa Indonesia tersebut, menjadi sistem yang membuat bangsa Indonesia hidup makmur, bahagia, sejahtera, itulah Pancasila.
Pancasila adalah Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, serta Keadilan; Pancasila adalah Gotong Royong.
Maka, sungguh sangat ironi jika di dalam negara yang berdasar Pancasila, yang menganut prinsip gotong royong, kesenjangan sosial sangat tajam. Tentunya ada yang salah, kesalahan tersebut, sadar atau tidak, adalah bentuk penyelewengan terhadap nilai-nilai Pancasila itu sendiri secara sistemik.
Pelaksanaan paham Neoliberalisme lah kesalahan terbesar yang dilakukan oleh para Pemimpin negara kita ini, diawali dengan masuknya modal asing yang berwatak imperialis melalui UU PMA tahun 1967, yang dituntaskan dengan amandemen UUD 1945 yang berwatak liberal, yang bertentangan dengan semangat Preambule UUD 1945, Pancasila serta cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Ketimpangan telah menjadikan ketidakadilan ekonomi dan sosial semakin akut.
Itulah bom waktu itu, yang kapan saja bisa meledak, meluluhlantakkan Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
Problem kesenjangan sosial adalah problem sistemik, yang harus diselesaikan secara sistemik, dengan kembali kepada semangat dwi tunggal yaitu Proklamasi 17 Agustus 1945, serta semangat Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya tercantum Pancasila.
Dengan menyadari bahwa Kapitalisme dan Neoliberalisme telah gagal membawa Indonesia menjadi sejahtera, dan itulah penyakit utamanya, sistem yang membunuh masa depan bangsa, menciptakan kecemasan kolektif rakyat Indonesia.
Fungsi Negara untuk menjadi pelindung serta mensejahterakan rakyatnya, telah dilumpuhkan. Dengan sangat sistematis, Negara dipaksa memberikan ruang seluas-luasnya bagi swasta kapitalis asing maupun dalam negeri menjadi soko guru kehidupan ekonomi serta sosial Negara Indonesia. Padahal dalam Pasal 33 UUD 1945 sudah sangat tegas, bahwa bumi beserta isinya dikuasai negara, dikelola secara kekeluargaan (bukan secara liberal kapitalistik), untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Liberalisme telah membongkar pondasi negara Pancasila, dengan menjadikan swasta sebagai penguasa tanpa batas di atas kehidupan masyarakat Indonesia. Atas nama efisiensi, subsisi sosial, jaminan hak dasar, dana pensiun, dan lain-lain, yang menjadi hak masyarakat dan menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya, dipangkas habis.
Tanah yang menjadi sandaran hidup, yang di dalam nya juga terkandung ikatan kultural, sebagian besar bangsa Indonesia pun dipersembahkan untuk memenuhi kebutuhan swasta dalam membangun usaha bisnisnya, tanah telah menjadi komoditi, menjauhkan fungsi sosialnya.
Inilah yang selalu menimbulkan konflik agraria, antara masyarakat dengan kapitalis, yang pada posisi tersebut negara sering berposisi menjadi pembela dari para Kapitalis, dan menyingkirkan anak kandungnya sendiri, yaitu bangsa Indonesia.
Masyarakat korban konflik agraria bukan hanya kehilangan tanah, tetapi juga rumah, penghidupan, dan kehidupan sosial.
Aset negara yang mestinya digunakan untuk membangun kesejahteraan sosial masyarakat, seringkali atas nama investasi, pertumbuhan ekonomi, kemudian diberikan secara leluasa kepada para kapitalis tersebut secara legal, karena dilindungi oleh UU nomor 25 tahun 2007.
Dan ketimpangan di Indonesia berawal dari ketimpangan penguasaan aset.
Data tentang penguasaan aset tersebut sudah bukan menjadi rahasia lagi, sekitar 56 persen aset nasional hanya dikuasai oleh 2 persen penduduk. Dan sebanyak 87 persen dari 56 persen aset nasional itu berupa tanah.
Dalam sektor keuangan, menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 2015, dari 250 juta penduduk Indonesia yang memiliki rekening di bank sekitar 60 juta orang ( belum termasuk penduduk yang memiliki rekening lebih dari satu).
Banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak memiliki aset tersebut, membuat masyarakat Indonesia selalu hidup dalam kecemasan.
Para kapitalis selain menguasai aset tanpa batas, mereka juga tidak patuh dalam hal pembayaran pajak.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM/2013), jumlah perusahaan tambang baik Kontrak Karya dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) mencapai 10.800 perusahaan, namun hanya 6.000 yang statusnya clear and clean.
Data KPK pada Mei 2017, di sektor sawit dari sekitar 70.918 Wajib Pajak (WP) baik badan maupun perorangan yang terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan, hanya 9,6 persen yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak. Dengan demikian, ada sekitar 63.000 WP yang tak melaporkan SPT Pajak ke Ditjen Pajak. Sementara tingkat kepatuhan WP badan sebesar 46,3 persen, turun dari 70,6 persen pada 2011. Sedangkan tingkat kepatuhan WP perorangan hanya 6,3 persen, atau turun dari 42,4 persen pada 2011.
Apakah mereka yang hidup kaya raya dari negeri Pancasila ini juga memahami hakekat Pancasila, hakekat hidup gotong royong, jika memenuhi kewajiban dalam pembayaran pajak saja tidak patuh?
Agar kesenjangan bisa diatasi, kehidupan para kapitalis ini harus dikontrol, selain dengan pembatasan UU, seperti penguasaan agraria yang diatur dalam UUPA 1960, sistem pajak harus diberlakukan di atas keadilan. Dan karena banyak indikasi justru merekalah yang sering bermain sulap untuk urusan pajak, negara harus membentuk Badan Khusus atau Densus untuk mengejar para wajib pajak yang tidak mau membayar pajak tersebut, karena inilah yang sesungguhnya membahayakan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.
Karena dari uang pajak tersebut negara membangun sumber daya manusia Indonesia, melalui pendidikan yang tidak berorientasi profit, jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya dengan semangat melindungi segenap bangsa Indonesia.
Jika sekarang ini, Pancasila kembali dipanggil hadir, janganlah menjadi kedok politik atau menjadi alat politik kekuasaan seperti pada masa Orde Baru, tetapi harus secara sungguh-sungguh sebagai solusi kebangsaan yang benar-benar mujarab.
Pancasila harus hadir sebagai pedoman, menjiwai serta mewarnai semua penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di mana Pancasila harus ditempatkan secara tepat dalam berbangsa dan bernegara?
Dalam kehidupan ekonomi, politik maupun dalam membangun kepribadian bangsa.
Dalam kehidupan politik, Pancasila harus menjadi arah, bahwa kepentingan bangsa dan negara harus diletakkan di atas kepentingan pribadi maupun golongan.
Demikian juga, dalam kehidupan ekonomi, bahwa kemakmuran masyarkatlah yang harus menjadi tujuan, bukan justru hanya memberikan ruang serta kemakmuran bagi segelintir orang atau golongan.
Kehidupan ekonomi adalah pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945, dengan menjadikan badan usaha milik negara dan badan usaha rakyat, sebagai soko guru ekonomi nasional.
Karakter bangsa, kepribadian nasional harus dibangun di atas jiwa dan semangat gotong royong.
Apakah kehidupan yang berlandaskan Pancasila bisa terwujud dalam sistem yang liberal kapitalistik seperti ini?
Pancasila lahir dari puncak perjuangan bangsa Indonesia dalam melepaskan diri dari sistem kapitalisme (liberalisme), karena sistem tersebut sudah terbukti sejak tahun 1871, menjadikan bangsa Indonesia hidup dalam masa kegelapan, kemelaratan.
Dalam sejarahnya, kapitalisme lahir dari Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Perancis, yang menempatkan para pemilik modal atau kapitalis sebagai penguasa, menggunakan negara untuk melindungi kepentingannya. Ini yang ditentang oleh Pancasila, maka sangat absurd, berbicara pelaksanaan Pancasila, di tengah berkobarnya api liberalisme kapitalisme, yang menyebabkan bangsa Indonesia miskin dan kesenjangan sosial semakin lebar.
Pancasila, sebagai filosofi serta dasar negara, bukan hanya sekedar sebagai pelengkap penderita, hanya sebagai pil atau kapsul yang diminum di saat penyakit datang menyerang tubuh bangsa Indonesia.
Berbicara Kebhinekaan, Persatuan Nasional dalam wadah Pancasila, tetapi membiarkan kesenjangan sosial, ketidakadilan sosial, kemiskinan merajalela adalah OMONG KOSONG, tanpa isi!
Maka jika semua sepakat kembali Pancasila, jalan ini bukanlah jalan main-main, tetapi jalan besar yang membutuhkan keimanan, keberanian serta kekuatan, dalam tugas menyelesaikan REVOLUSI INDONESIA, menegakkan kembali dwi tunggal Pancasila dengan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, dengan mengembalikan Batang Tubuh UUD kita dengan semangat Pembukaan UUD 1945 tersebut.
“Satu jalan yang akan kembali mengguncangkan dunia”.
Kehendak Pemimpin adalah kehendak Rakyat, apa yang dilaksanakan Pemimpin dalam mengemban tugas negara, tidak boleh bertentangan dengan apa yang diinginkan serta dibutuhkan oleh rakyat, itulah Pimpinan yang hikmah, yang sudah selesai dengan urusan-urusan pribadi, atas nama Tuhan Yang Maha Esa, jiwa raganya digunakan hanya untuk mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara, itulah hakekat kepemimpinan Pancasila.
Karena itu, kemenangan Pancasila, kokohnya Persatuan Nasional, hanya bisa diwujudkan jika negara menegakkan prinsip gotong royong dalam membangun bangsa, dengan menjamin kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mari Bung, Menangkan Pancasila!
Salam Gotong Royong
Agus Jabo Priyono, Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Sumber: Berdikari Online