Ketegangan antara Palestina dan Israel terus meningkat paska insiden berdarah Jumat 14 Juli 2017. Israel melakukan pengetatan penjagaan di depan Masjid Al-Aqsa dengan pemasangan metal detektor dipintu masjid bersejarah tersebut.
Mahmoud Abbas, Presiden Palestina, mengeluarkan seruan umum agar rakyatnya memprotes keputusan Israel yang menerapkan pengetatan masuk Masjid Al-Aqsa. Rakyat Palestina turun ke jalan. Sebanyak 50 orang demonstran terluka akibat serangan militer Israel.
Faksi Hamas yang menguasai Gaza juga menyerukan warga Palestina menggelar protes di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Mufti Yerusalem saat ini, Mohammed Ahmed Hussein, mengatakan, tindakan Israel memperketat pengamanan di Masjid Al-Aqsa tidak masuk diakal karena mengubah status quo.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu langsung bereaksi. Ia berkilah negaranya tidak berniat merubah status quo yang sudah berlaku di Masjid Al-Aqsa. Mendengar pernyataan itu, Abbas menghubungi Netanyahu, mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan Israel terhadap warga Palestina.
Sikap kepala batu Israel melakukan kekerasan terhadap rakyat Palestina tentu tidak berdiri sendiri. Di belakang mereka terdapat negara-negara imprealis dunia yang membela Israel sejak tahun 1948. Sejarah mencatat, ketika serangan rudal Israel melukai anak-anak di Gaza, pemerintah Amerika Serikat (AS) masih berikan bantuan kepada militer Israel sejumlah 2,6 triliun rupiah.
Yang perlu digarisbawahi, kegigihan negara-negara imprealis menyokong Israel itu bukan seperti makan siang gratis. Palestina merupakan negara strategis sebagai wilayah pertemuan antara daratan Asia, Afrika dan Eropa.
Imprealis, negara-negara penjajah itu, butuh Israel sebagai sekutu mereka di Timur Tengah. Tim lobby Israel berhasil meyakinkan elit Amerika Serikat tentang hal ini. Sementara negara-negara penentang penjajahan yang melakukan gerakan BDS (Boikot, Divestasi, dan Sanksi), tidak memiliki akses seperti tim lobby Israel.
Gerakan anti penjajahan Israel hanya mendapat sokongan dari rasa kemanusiaan yang bergejolak diseluruh dunia ketika melihat kebrutalan Israel dan kebungkaman elit-elit pemerintah mereka. Dan memang hanya solidaritas yang sebesar-besarnya dari seluruh dunia, baik rakyat maupun pemerintahan berbagai negara yang mampu membendung musnahnya etnis Palestina dan dihapusnya negara berdaulat itu dari peta dunia.
Seperti yang pernah ditulis oleh Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD), Dominggus Oktavianus, solidaritas di sini dalam makna yang sebenar-benarnya. Solidaritas sebagai sesama umat manusia, sesama penghuni bumi yang diwariskan kepada kita tidak secara gratis, tapi menuntut tanggungjawab untuk berpartisipasi dalam kerja besar memanusiakan manusia.
Indonesia, sebagai negara yang pernah mengalami perihnya hidup terjajah, harusnya merupakan negara yang terdepan menghentikan penjajahan Israel atas Palestina. Presiden Joko Widodo harusnya geram ketika melihat satu nyawa orang Israel dibayar dengan 100 nyawa Palestina.
Dalam keheningan roket dan peluru, Palestina terus menjadi “captive market” bagi barang-barang produk Israel. Dengan kekuatan militernya, Israel selalu mencegah Palestina mengembangkan kekuatan ekonominya, khususnya industri semen, yang potensial menyaingi industri Isrel. Sementara Gaza menjadi pasar tenaga kerja murah bagi perekonomian Israel.
Rakyat Indonesia berhak menagih janji Presiden Joko Widodo yang akan berada didepan memperjuangkan kemerdekaan Palestina sebagaimana amanah konstitusi kita bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Bila Presiden Joko Widodo serius, ia tak akan hanya mengutuk. Ia akan berperan aktif untuk mencegah kebrutalan dan kebiadaban Israel terhadap Palestina, melampaui apa yang pernah dilakukan oleh Venezuela.
Venezuela, negera yang mayoritas berpenduduk non muslim ini, secara terbuka selalu menentang masuknya pesawat tempur roket-roket Israel ke Palestina. Mantan Presiden Venezuela, Hugo Chavez, bahkan telah dua kali mengusir Duta Besar Israel di Venezuela.
Padahal, Venezuela sebelum Chavez, memiliki hubungan yang istimewa. Israel aktif mendukung kelompok kontra-revolusioner di Amerika Latin, baik dengan senjata maupun pelatihan militer, untuk memerangi pemerintahan yang dicintai rakyatnya.
Namun setelah Chavez berkuasa, ia memilih membela Palestina, bersama Kuba yang telah memutus hubungan diplomatik sejak tahun 1973. Sikapnya diikuti oleh Bolivia, Brazil, Ekuador, Nikaragua, dan lain-lain.
Tahun 2010, melalui Sekolah Kedokteran Amerika Latin, Venezuela membuka pintu seluas-luasnya bagi pemuda Palestina untuk belajar ilmu kedokteran secara gratis. Venezuela juga menghapus visa masuk bagi warga Palestina.
Pada tahun 2011, Chavez menyurati Sekjend PBB saat itu, Ban Ki-moon, agar hak bangsa Palestina untuk merdeka diakui dan diangkat menjadi anggota PBB. Agustus 2013, Venezuela mengirim minyak dengan harga murah ke Palestina.
Pengganti Chavez, Nicolas Maduro, mewarisi apa yang dilakukan Chavez. Ketika Israel kembali memborbardir Palestina, Juli-Agustus 2014, Nicolas Maduro meluncurkan kampanye “SOS Palestine” untuk menuntut Israel menghentikan agresi militernya.
Sikap Venezuela menunjukkan sikap internasionalisme sejati. Sikap solidaritas terhadap perjuangan rakyat tertindas, tanpa memandang perbedaan agama dan ras. Sikap yang membuat rakyat Palestina menangis ketika Chavez meninggal dunia pada Maret 2013 yang lalu.
Bagaimana dengan Indonesia? Presiden Joko Widodo seharusnya bisa melakukan lebih dari itu.