Setiap bangsa butuh infrastruktur. Tidak terkecuali Indonesia, negeri yang luasnya nomor 13 di dunia dan terdiri dari 17.508 pulau. Bagaimana menjahit teritori luas dan pulau-pulau itu kalau bukan dengan pelabuhan, bandara, jalan raya, jembatan dan jaringan kereta api?
Disamping itu, infrastruktur juga membawa banyak faedah: mengurangi biaya logistik, mengurangi kesenjangan antar-daerah, menciptakan kantong-kantong ekonomi baru, dan menggerakkan ekonomi nasional.
Sayang, meski sudah 71 tahun merdeka, infrastruktur Indonesia masih banyak tertinggal. Masih banyak daerah yang terpencil dan terisolir di Indonesia. Masih banyak anak Indonesia berjalan kaki berkilo-kilometer ke sekolah karena tidak ada infrastruktur jalan dan transportasi. Juga masih ada desa yang gelap-gulita, belum dijangkau oleh aliran listrik.
Karena itu, ketika pemerintahan Joko Widodo menjadikan infrastruktur sebagai panglima pembangunannya, kita patut mendukungnya. Kerja agung mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu masyarakat adil dan makmur, akan niscaya tercapai tanpa daya dukung infrastruktur.
Namun, patut diingat, pembangunan infrastruktur tidak otomatis bermuara pada kebutuhan rakyat. Ada banyak fakta sejarah yang justru menuturkan kisah berbeda.
Melayani ekspansi kapital
Tahun 1853, Karl Marx menulis tentang pembangunan jaringan kereta api oleh Inggris di India. Filsuf Jerman itu menyimpulkan: proyek tersebut “tidak berguna” bagi orang-orang India. Tentu saja, Marx tidak bermaksud mengatakan bahwa jaringan kereta itu tidak ada faedahnya bagi orang India.
Sebetulnya, Marx mengendus motif lain di balik proyek pembangunan jaringan kereta itu. Rupanya, disamping untuk menihilkan ongkos mobilisasi militer, proyek kereta itu untuk melayani kepentingan kapital Inggris: pengangkutan bahan baku dari berbagai pelosok India untuk industri Inggris.
Sukarno juga punya cerita serupa. Dalam buku yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno bercerita pembangunan irigasi dan jalan di Hindia-Belanda. Kata Sukarno, irigasi yang dibangun bukan terutama untuk mengairi sawah rakyat, melainkan untuk pengairan perkebunan tebu dan tembakau milik kapitalis.
Begitu juga dengan proyek jalan raya. Jalan raya tidak dibangun untuk menembus hutan atau antar pulau, sehingga melancarkan mobilitas penduduk dan barang-barang, melainkan untuk melayani transportasi logistik dan hasil produksi kapitalis.
Cerita yang sama juga pernah disampaikan Sukarno dalam pledoi mashurnya, Indonesia Menggugat, bahwa jalan raya, kereta api, pelabuhan-pelabuhan yang dibangun Belanda hanya untuk menggampangkan gerak modal partikelir.
“Tetapi tidak dapat disangkal bahwa alat lalu-lintas modern itu menggampangkan geraknya modal partikelir. Tidak dapat disangkal bahwa alat-alat lalu lintas itu menggampangkan modal itu jengkelitan di atas padang perusahaannya, membesarkan diri dan beranak di mana-mana, sehingga rezeki rakyat kocar-kacir oleh karenanya,” tulis Sukarno di risalah Indonesia Menggugat.
Singkat kata, di mata Sukarno, proyek infrastruktur kolonial itu dibangun semata-mata untuk melayani ekspansi dan eksploitasi kapital asing.
Politik infrastruktur
Dari penjelasan Sukarno, seolah-olah dalam pembangunan infrastruktur ada pertarungan kepentingan. Dalam hal ini, pertarungan kepentingan antar rakyat versus kapital; publik versus swasta. Dan memang begitu.
Pembangunan infrastruktur adalah soal politik. Maksudnya, pembangunan infrastruktur tidak lepas dari urusan keberpihakan; kemaslahatan publik atau swasta. Di sini, saya tidak beranggapan pembangunan infrastruktur tidak butuh kapital atau swasta. Namun, swasta harus akur dengan kepentingan publik.
Kita bisa merujuk pada pengalaman SBY-Boediono sebagai contoh. Saat itu proyek infrastruktur mengabdi pada apa yang disebut Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Padahal sejatinya MP3EI adalah pemetaan geo-ekonomi untuk mempermudah investor asing mengeruk sumber daya alam dan semua potensi ekonomi Indonesia. Artinya, infrastruktur dibangun untuk mendukung sistem logistik dan konektivitas yang memudahkan investor asing, mulai dari pasokan bahan baku, produksi hingga distribusi.
Maka jangan heran, tol beratus-ratus kilometer di bangun, sementara banyak jalan antar kabupaten, antar desa, bahkan antar provinsi, yang rusak berat. Masih banyak desa yang kekurangan sekolah, fasilitas kesehatan, dan sarana komunikasi.
Sebetulnya, tempo hari Pemerintahan Jokowi sudah menyatakan akan meninggalkan skema MP3EI. Tetapi faktanya: proyek infrastruktur Jokowi belum bergeser jauh dari skema MP3EI. Banyak diantara proyek itu ditujukan untu menjalankan sistem logistik dan konektivitas yang mendukung jaringan industri rantai pasokan, baik regional maupun global.
Tidak hanya itu, karena keterbatasan anggaran APBN (proyek infrastruktur butuh anggaran kurang lebih Rp 5000 triliun, sedangkan kesanggupan pemerintah hanya Rp 1500 triliun), pemerintahan Jokowi mengundang pihak swasta. Sebagian besar melalui Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership (PPP) dan sekurititasi aset BUMN. Kedua skenario ini membuka pintu pada privatisasi.
Memihak kepentingan rakyat
Politik infrastruktur harus mengabdi pada cita-cita nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Karena itu, kepentingan rakyatlah yang harus diutamakan.
Pertama, proyek infrastruktur harus melihat kebutuhan rakyat dan kepentingan nasional yang prioritas. Supaya infrastruktur itu benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat yang paling prioritas, sesuai dengan daerah/wilayah masing-masing, maka perlu pelibatan/partisipasi rakyat dalam memutuskan proyek infrastruktur apa yang akan dibangun.
Kedua, proyek infrastruktur tidak boleh bergantung pada utang luar negeri. Selain membebani generasi di masa depan, utang juga merupakan jerat dari negara kreditur untuk mendiktekan kebijakan ekonomi-politik yang merugikan kepentingan nasional kita.
Ketiga, proyek infrastruktur harus dijauhkan dari agenda privatisasi. Kita tidak alergi dengan campur tangan asing. Namun, pemanfataan infrastruktur itu tidak boleh dalam logika bisnis/profit.
Keempat, proyek infrastruktur harus memperhatikan daya dukung sosial dan lingkungan. Proyek infrastruktur tidak boleh merampas ruang hidup/penghidupan rakyat dan merusak lingkungan.
Ada yang bilang, infrastruktur itu sifatnya jangka panjang, manfaatnya tidak langsung terasa. Saya kira pendapat itu tidak betul. Proyek infrastruktur bisa didorong mendatangkan efek langsung, misalnya penyerapan tenaga kerja, penggunaan bahan baku dan barang penunjang dari dalam negeri, hingga mendorong geliat ekonomi daerah sekitar.
Amerika membuktikan itu di masa Franklin Delano Roosevelt lewat program New Deal-nya. Proyek infrastruktur, yang menyerap para penganggur, berhasil menyelamatkan Amerika dari depresi ekonomi.
Lagi-lagi, dalam soal pemastian adanya efek langsung ini, infrastruktur butuh politik: mulai dari anggaran, kontraktor, penggunaan tenaga kerja, penggunaan bahan baku dan penunjang, hingga celah untuk pelibatan UKM/UMKM dan koperasi-koperasi rakyat. [Rudi Hartono/Berdikari Online]