BENGKULU, PB - Sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa, sebetulnya merupakan pengakuan (rekognisi) terhadap kehidupan dan kemerdekaan beragama rakyat Indonesia.
Sayang, rumusan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”, seperti dipakai dalam UUD Proklamasi 1945, UUD RIS, dan UUDS 1950, membuka peluang penyangkalan (misrekognisi) terhadap penganut aliran kepercayaan atau agama-agama lokal nusantara yang lebih dulu hidup di Nusantara.
Dan itu terjadi di zaman Orde Baru. Dimulai dari Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1/PNPS/1965 junto Undang-undang Nomor 5/1969, yang menyebut enam agama yang dianut oleh rakyat Indonesia: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Perlahan-lahan muncul istilah agama resmi dan tidak resmi. Ini diperkuat oleh Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1974 tentang pengisian kolom agama di KTP. Dalam beleid itu, hanya lima agama yang diakui negara: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha.
Ini berimbas juga pada perkawinan. Pasalnya, di dalam pasal 2 UU nomor 1/1974 tentang perkawinan dikatakan bahwa perkawinan akan sah bila sesuai hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Tentu saja, agama yang dimaksud beleid itu, sebagaimana ditafsirkan SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama zaman itu, hanya lima agama resmi.
Sejak itulah, pemeluk agama dan kepercayaan di luar lima agama itu, termasuk agama-agama lokal nusantara yang berjumlah ratusan, mengalami praktek misrekognisi. Identitas religius mereka tidak diakui oleh negara.
Namun, misrekognisi ini hanya pangkal untuk masalah yang lebih luas. Tidak mengisi kolom agama di KTP bisa mendatangkan masalah besar saat itu. Anda bisa dicap PKI. Kalau sudah begitu, jangan harap ada peluang menjadi PNS dan ABRI.
Seolah tidak ada pilihan, para penganut aliran kepercayaan dan agama-agama lokal terpaksa memilih satu dari lima agama resmi. Meskipun hati dan keyakinan mereka tidak sejalan dengan keyakinan agama tersebut.
Sayang sekali, praktek misrekognisi warisan Orba itu masih terwariskan hingga sekarang. Beberapa waktu lalu ada kabar tentang perpindahan keyakinan warga Suku Anak Dalam (SAD) demi mendapatkan KTP. (Baca di BBC Indonesia dan Deutsche Welle/DW)
Tahun 1957, dalam perdebatan Sidang Konstituante, Njoto sudah mencium potensi misrekognisi dari rumusan sila pertama Pancasila itu. Karena itu, petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) itu mengusulkan perubahan rumusan kalimat sila pertama itu menjadi: Kebebasan beragama.
Dengan rumusan itu, terang Njoto, Pancasila benar-benar melindungi kebebasan beragama rakyat Indonesia, termasuk mereka yang menganut animisme, politeisme, dan lain-lain.
Memang, sebagai negara yang berdiri di atas kemajemukan, termasuk dalam urusan beragama/berkeyakinan, politik rekognisi mesti diletakkan sebagai hal pokok. Tanpa pengakuan atas kesetaraan warga negara, termasuk mengakui hak mereka untuk memeluk agama atau keyakinan tertentu, sulit berbicara kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Di Indonesia ini, jumlah aliran kepercayaan, termasuk agama lokal nusantara, mencapai 245 agama/aliran (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). Pemeluknya berkisar 400 ribu orang yang tersebar di seluruh Indonesia.
Mungkin banyak yang tidak setuju dengan gagasan Njoto itu. Selain karena disuarakan oleh seorang komunis, juga membuka pintu pengakuan terhadap atheisme. Bukankah kita mendeklarasikan diri sebagai bangsa ber-Tuhan?
Lantas, apa jalan keluarnya?
Saya kira rumusan asli Sukarno, sebagaimana disampaikan di pidato 1 Juni 1945, justru relevan. Di situ Sukarno hanya menggunakan rumusan kalima: Ketuhanan.
Dengan rumusan itu, ada pengakuan bahwa seluruh rakyat Indonesia bertuhan menurut keyakinan masing-masing. Mereka merdeka untuk meyakini agama tertentu.
“Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa,” kata Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945.
Di situlah makna kemerdekaan beragama. Setiap orang berhak memeluk agama atau keyakinan yang diyakini benar oleh dirinya. Juga merdeka menjalankan peribadatan sesuai dengan agama atau keyakinannya itu.
Rudi Hartono, pimred berdikarionline.com