Kru Prophet of Rage/Foto Istimewa
Bagi generasi akhir 1990-an yang angkat megaphone karena pengaruh musik, mungkin Rage Against The Machine (RATM) menjadi salah satu inspirasimu.
Grup musik asal Los Angeles, Amerika Serikat, ini menghunjam kapitalisme dengan lirik lagunya keras, menghentak, dan berdaya-gugat. Banyak anak muda di zaman saya yang terbawa pesona pemberontakannya.
Namun, di tahun 2001, RATM pelan-pelan menghilang. Sang vokalis yang legendaris, Zack de la Rocha, keluar dari barisan dan menghilang entah kemana. Sejak itu ada semacam dahaga musik-musik revolusioner.
Dan sekarang: angkat kembali megaphone-mu, kawan! Ada grup musik baru garis bermusik dan politiknya tidak berbeda jauh dengan RATM. Namanya: Prophet of Rage.
Boleh dikatakan, grup musik yang berdiri sejak 2016 ini merupakan hasil penyatuan serpihan personil tiga grup musik progressif: RATM, Public Enemy dan Cypress Hill.
Tiga pentolan RATM bergabung di sini, yaitu Tom Morello, Tim Commerford dan Brad Wilk. Tidak heran, sempat ada kesalahpahaman yang menyebut Prophet of Rage sebagai reinkarnasi dari RATM.
Namun, disamping pentolan RATM itu, ada DJ Lord dan Chuck D. Juga ada rapper dari grup hip-hop Cypress Hill, B-Real. Nah, si Chuck D dan B-Real ini yang jadi vokalis. Biasanya, kalau lagi manggung, si Chuck D ini suka memakai kaffiyeh, tutup kepala khas pria Arab.
Karena hasil penggabungan tiga grup band yang masing-masing punya nama besar, banyak yang menyebut Prophet of Rage sebagai supergroup atau semacam front dalam politik.
Tetapi Tom Morollo, sang nahkoda di grup ini, punya istilah sendiri: gugus tugas atau satuan tugas (Satgas).
“Kami adalah satgas elit dari musisi revolusioner yang bertekad menghadapi bergunung-gunung kebohongan dalam tahun pemilu ini,” tegasnya, seperti dikutip Rolling Stone.
Nama Prophet of Rage sendiri diambil dari judul lagu Public Enemy di album berjudul It Takes a Nation of Millions to Hold Us Back, yang dirilis pada tahun 1988.
Logo grup band ini pun sangat kiri: bintang merah dan tangan terkepal. Mirip-miriplah dengan RATM. Dan tak lekang dari ingatan, gitar warna putih Tom Morello dengan tulisan “Arm the Homeless”-nya masih dibawa-bawa dan dipakai manggung bersama Prophet of Rage.
Tidak bisa dimungkiri, kelahiran Prophet of Rage dipicu oleh kebangkitan populisme kanan di Amerika Serikat yang dimotori oleh Donald Trump. Pasang populisme kanan ini membawa penyakit yang mengancam kemanusiaan, seperti xenophobia, anti-LGBT, dan islamophobia.
“Kita tidak bisa hanya berdiri di pinggir sejarah. Situasi berbahaya menuntut lagu-lagu berbahaya pula,” demikian tertulis di website Prophet of Rage.
Seakan ingin mengimbangi kampanye Trump, Make America Great Again, Prophet of Rage juga mengobarkan kampanye: Make America Rage Again. Make America Rage Again kemudian diracik menjadi kampanye politik melalui tur musik ke sejumlah kota di Amerika Serikat.
Menurut Morello, melalui tur musik Make America Rage Again, Prophet of Rage ingin menyampaikan bahwa persoalan tidak akan selesai hanya dengan memberi suara lewat kotak suara.
“Perubahan progressif, radikal, bahkan revolusioner hanya terjadi jika rakyat biasa berjuang sebelum, selama, dan setelah hari pemilihan,” kata Morello kepada CNN, Juli 2016.
Lagu berjudul “Prophet of Rage” seakan menjadi manifesto politik grup musik ini. Mereka mendaulat diri sebagai “penyambung lidah suara rakyat”: With choice, became the people’s voice/ Shout loud for the ears up in the crowd.
Bagaimana mereka menjadi penyambung lidah?
Morello sangat dipengaruhi Joe Hill, seorang aktivis dan penulis lagu perjuangan keturunan Swedia yang menghabiskan hidupnya di Amerika Serikat.
Ada perkataan Joe yang benar-benar terpapar dalam ingatan Morello dan membuatnya sangat percaya pada dahsyatnya kekuatan lirik lagu: “Sebuah famplet, tidak peduli sebagus apapun, tidak pernah dibaca lebih dari sekali. Tetapi lagu dipelajari dengan hati dan diulang berkali-kali.”
Lagu-lagu Prophet of Rage banyak mengangkat derita rakyat jelata, terutama pekerja dan kaum miskin. Kadang-kadang diungkapkan dengan alegori kemarahan. Seperti dalam sebait lirik di lagu “Unfuck World”: poverty hit home like war zone.
Coba lihat lirik-lirik lagunya yang lain, hampir semuanya merupakan deklarasi politik yang menentang rasisme, fasisme, kapitalisme, xenophobia, islamophobia, dan sejenisnya.
Lagu-lagunya juga kerap mengeluhkan politik yang tidak lagi menjadi wahana perubahan nasib rakyat. Seperti dalam lagu Party is Over, yang mengeritik partai-partai yang hanya menjadi mesin keuntungan (profit) dan mengabaikan suara rakyat.
Sedangkan “No Sleep Till Clevelanda” merupakan seruan perlawanan terhadap kampanye Trump yang cenderung rasis. What we got to say/ Power to the people no delay/ To make everybody see/ In order to fight the powers that be.
Memang, beberapa lagu yang dinyanyikan Prophet of Rage hanya daur ulang dari lagu-lagu RATM maupun Public Enemy, seperti “Killing in the Name” (RATM), “Shut Em Down” (Public Enemy), “Take The Power Back” (RATM), dan lain-lain.
Tetapi, seperti juga RATM, protes Prophet of Rage tidak hanya dikumandangkan lewat lagu. Kadang-kadang melalui orasi politik saat manggung.
Seperti dilakukan Tom Morello saat konser Anti-Inaugural Ball, pada Januari 2017. Dia orasi cukup panjang, berapi-api. Dia menyampaikan lima langkah menghadapi rezim Trump: pertama, bergabung dalam aksi besar “Women March” di hari pelantikan Trump; kedua, berorganisasi; ketiga, abaikan media yang menebar kebencian; keempat, berdirilah bersama kaum minoritas (LGBT, imigran, dan muslim); dan kelima, jangan percaya politikus antek korporasi.
“Berjuanglah untuk sebuah dunia yang tidak ada lagi tunawisma, tidak ada lagi kelaparan. Sebuah dunia dimana setiap anak bisa mendapat pendidikan. Sebuah dunia yang tidak lagi dihantui ketakutan akan ditembak drone seperti di Timur Tengah,” kata Morello berapi-api.
Jadi, kawan-kawan, jangan terlena lama dalam buaian kapitalisme, luapkan kemarahanmu! Make World Rage Again! [Mahesa Danu/Berdikari Online]