Saya tertarik dengan isu “De-Soekarnoisasi Jilid Dua” yang dipekikkan oleh kawan-kawan Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM) dalam diskusi kebangsaan pada 20 Juni lalu.
Sayang sekali, saya tidak bisa hadir dalam diskusi sangat penting itu. Namun, dari pemberitaan sejumlah media online, diantaranya kompas.com, saya bisa menangkap beberapa poin penting diskusi tersebut.
Setidaknya ada dua pola yang diidentifikasi sebagai de-Sukarnoisasi Jilid 2. Pertama, arus deras politik identitas yang mengedepankan perbedaan suku, agama dan ras (SARA), termasuk di dalamnya gerakan-gerakan yang menentang Pancasila.
Kedua, adanya fitnah yang selalu mengaitkan usaha pemerintahan Jokowi menjalankan gagasan Sukarno, seperti Revolusi Mental, dengan PKI. Termasuk tuduhan bahwa Presiden Jokowi adalah PKI.
Saya setuju dengan garis besar kesimpulan itu. Namun, bagi saya, setelah runtuhnya Orde Baru, identifikasi terhadap de-Sukarnoisasi tidak bisa hanya melihat “ancaman luar”. Sekarang perlu mewaspadai de-Sukarnoisasi dari dalam. Saya menyebutnya: de-Sukarnoisasi gaya baru.
Tidak bisa dipungkiri, setelah Orde Baru tumbang, ada kerinduan terhadap Sukarno dan ajarannya. Terutama karena Indonesia pasca Orba tidak juga membaik. Malahan, akibat tekanan kuat neoliberalisme, negara ini terperangkap dalam situasi yang mirip dengan zaman kolonial: tidak berdaulat secara politik, tidak berdikari di lapangan ekonomi, dan kehilangan kepribadiannya sebagai sebuah bangsa.
Penyebab terbesarnya adalah kepemimpinan politik yang bermental “jongos” di hadapan kuasa modal dan negara-negara yang disebut imperialis. Mereka menjadikan negara dan perangkat-perangkatnya sekedar sebagai pelayan kepentingan modal asing.
Soal naik daunnya gelora Sukarno ini, intelektual liberal sekelas Rizal Mallarangeng pun mengakuinya. “Tampaknya Bung Karno dan Pancasila belakangan ini memperoleh sebuah relevansi baru, a new lease of life,” tulis Risal di qureta.com (31/5/2017).
Gelora baru Sukarno ini punya daya pikat politik. Tidak heran, banyak yang mendadak Sukarnois. Bahkan tidak sedikit politisi maupun organisasi politik yang mengadopsi gaya Sukarno dan jargon-jargonnya.
Masalahnya, seringkali muncul jurang lebar yang memisahkan antara narasi dan praksis. Retorika dan praktek saling punggung-memunggungi. Pada tahap itulah retorika, bahkan sebuah teori, akan kehilangan rohnya.
Jadi, pertama, ancaman de-Sukarnoisasi gaya baru bisa berasal dari tokoh atau gerakan politik yang sekedar menjadikan Sukarno dan ajarannya sebagai “barang dagangan politik”, sekedar untuk meraup suara dan dukungan rakyat di Pemilu.
Yang kedua, bahaya ‘patungisasi” Sukarno dan ajarannya.
Dalam banyak kejadian, banyak pemimpin revolusioner dibuatkan patung, dielu-elukan, dibuatkan mitos-mitos, sekedar untuk mengobati kerinduan pengikutnya. Tetapi perjuangan, cita-cita politik dan ajarannya pelan-pelan dikubur.
Jangan sampai Bung Karno dibuat demikian. Patungnya dibuat dimana-mana, dielu-elukan, dipuja-puji, kata-katanya dijargonkan setinggi langit, makamnya diziarahi, tetapi ajarannya membeku bak fosil karena tidak ada usaha “memudakannya” sesuai perkembangan zaman.
Ketiga, bahaya inkonsistensi “rezim Sukarnois”.
Terus terang, ketika Jokowi-JK mengadopsi Trisakti sebagai visi politiknya, saya termasuk orang yang bertempik sorak-sorai kegirangan. Bayangkan, setelah hampir setengah abad dicampakkan, akhirnya Trisakti kembali menjadi visi ber-Negara.
Tidak hanya Trisakti, Jokowi juga mengibarkan tinggi-tinggi Pancasila 1 Juni 1945 dan Revolusi Mental.
Karena itu, kita patut berterima kasih kepada Jokowi, karena telah mengembalikan tiga gagasan besar Sukarno (Pancasila, Trisakti dan Revolusi Mental) dari wacana yang dipinggirkan menjadi wacana Negara.
Nah, karena banyak mengadopsi gagasan Sukarno, tidak sedikit yang menyebut pemerintahan Jokowi sebagai “rezim Sukarnois”. Apalagi, PDI Perjuangan—partainya anak-anak biologis Sukarno—menjadi pendukung utama pemerintahan ini.
Bahaya terbesarnya adalah inkonsistensi.
Gembar-gembor ekonomi berdikari, tetapi bergantung pada utang luar negeri dan investasi asing. Bicara kemandirian ekonomi nasional, tetapi abai melindungi dan memperkuat industri nasional, dan justru membuka lebar-lebar pintu untuk liberalisasi perdagangan.
Jangan sampai hal itu terjadi pada pemerintahan Jokowi. Karena itu, pemerintahan Jokowi harus terus dikawal dengan kritik, agar dia tidak lupa dengan janji politiknya. Dia harus terus diingatkan, bahwa kekuasaannya bukan hanya pertaruhan dirinya dan Yusuf Kalla, tetapi juga nama besar Sukarno dan ajarannya.
Keempat, bahaya Sukarnois cita-rasa Orde Baru.
Ini yang paling berbahaya: mendaku Sukarnois, tetapi praktek bertindaknya justru mirip Orde Baru. Harus diingat bahwa Orde Baru adalah antitesa dari Sukarno.
Saya sangat menyesalkan ketika Jokowi mengeluarkan kata “gebuk”, sebuah kata yang genealoginya hanya digunakan oleh rezim otoriarian macam Orde Baru. Selain mengesahkan aksi “ekstra-yudisial” terhadap mereka yang dicap anti-Pancasila, kata-kata itu tidak pantas diucapkan oleh rezim yang dilahirkan oleh cucuran keringat dan tetesan darah pejuang reformasi.
Saya kira, re-Soehartoisasi tidak bisa dilihat hanya pada upaya sebagian orang menjadikan Suharto sebagai Pahlawan Nasional dan mengelu-elukan “masa keemasan” Orde Baru. Tetapi juga setiap tindakan politik yang terpapar penyakit orde baru: anti terhadap kritik dan kebebasan berpendapat.
Dan penghianatan terhadap Sukarno dan ajarannya yang paling keras adalah: menista dan menindas kaum Marhaen. Jadi, jika mengaku pengikut Sukarno, tetapi menista dan menindas kaum marhaen, maka bisa dipastikan dia adalah Sukarnois gadungan.
Mardika Pradipta, Berdikari Online - Berpikir Maju